Kedatangan Murid Baru

Franky sedang termenung di ruangan depan, memandangi foto keluarga kecilnya yang terdiri dari istri serta dua anak laki-laki seusia Dewa. Terlintas di benaknya rasa rindu pada mereka. Akan tetapi, sikap keluarga besar dan sang istri yang tak sudi menerimanya kembali, membuat pria berusia empat puluh lima tahun itu enggan menginjakkan kaki ke kampung halaman di Manado.

Setelah dipecat secara tidak hormat dari TNI angkatan darat, ia memilih menetap di Jakarta dan tinggal di sebuah rusun. Tuduhan berupa pengkhianatan pada negara yang dilayangkan oleh seorang pendengki dalam angkatannya, mau tak mau harus diterima secara lapang dada. Memang, ia sudah berusaha meyakinkan semua orang bahwa dirinya sekadar mengobati anak seorang pemberontak di Papua, tapi tetap saja, alibinya dipatahkan dengan mudah oleh foto-foto yang diberikan oleh si pendengki sebagai bukti.

Kendati demikian, pengabdian Franky pada negara tidaklah padam. Dengan uang tabungannya yang masih tersisa, ia membentuk sebuah organisasi rahasia yang terdiri dari para mantan perwira kepolisian maupun TNI. Dibantu oleh beberapa oknum dari berbagai instansi yang membenci ketidakadilan para penguasa, Franky mendapatkan asupan dana untuk membeli senjata dan mencukupi kebutuhan hidup anak-anak buahnya, termasuk Dewa.

"Saya mau pulang," cetus Dewa tatkala memasuki rumah Franky pada suatu sore. Ia baru saja pulang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler karate di sekolah.

Franky menaruh bingkai foto keluarganya, kemudian beranjak dari kursi dan menghampiri pemuda itu. "Mau apa pulang ke rumah? Ibu kamu udah nggak ada, anak buah dari salah satu pembunuh ayah kamu juga masih mengawasi rumah itu. Apa kamu mau mati sebelum dendam kamu dituntaskan?"

Dewa mendengkus. "Bagaimapun juga, rumah itu tetaplah milik saya. Banyak kenangan tersimpan di sana. Yang benar saja, saya harus terbunuh hanya karena ingin kembali ke rumah? Apa Bos nggak bisa ngebantu saya buat nyingkirin mata-mata kiriman keluarga Sahar?"

"Sebaiknya tunggu sampai seminggu lagi. Nanti juga mereka bosan sendiri," ujar Franky dengan santainya.

"Gimana kalau ternyata mereka nggak pergi? Apa saya harus tinggal di sini selamanya? Ayolah!" rutuk Dewa kesal.

"Memang, apa salahnya kamu tinggal di sini lebih lama? Kamu itu anak buah saya, sudah saya anggap seperti anak sendiri," tutur Franky menepuk pundak Dewa.

"Tapi tetap saja, Bos ini atasan saya. Nggak enak kalau saya berlama-lama tinggal di sini," sanggah Dewa.

Franky mengembuskan napas berat. "Kamu nggak perlu sungkan. Saya pastikan kamu aman untuk saat ini. Jika sampai seminggu ke depan mereka belum pergi, maka kita akan siapkan rencana baru untuk mengalihkan perhatian mereka."

"Seandainya saja data-data itu nggak pernah jatuh ke tangan Sahar, mungkin hidup saya masih tentram sampai saat ini. Bahkan Mama dan Jordi nggak perlu sampai berkorban nyawa demi mengamankan flashdisk itu," ketus Dewa mendelik.

"Itulah risiko menjadi anggota organisasi ini. Jika sampai rahasia kita bocor ke publik, bukan saya dan kamu saja yang dihukum, melainkan donatur dari oknum kepolisian, TNI, bahkan KPK juga pasti akan diadili. Apa kamu senang jika negara ini masih dipimpin oleh para pejabat rakus yang gila harta?" jelas Franky, kemudian berlalu menuju dapur.

Dewa menyusul Franky dari belakang seraya berkata, "Kalau begini jadinya, saya menyesal telah bergabung dengan organisasi Anda. Saya bergabung dengan organisasi ini untuk membalaskan dendam kematian ayah saya, bukan menjadi pembunuh bayaran."

Franky tersenyum sambil menuangkan air ke dalam gelas. "Dasar anak muda, pikirannya suka angin-anginan," umpatnya, kemudian berbalik badan menghampiri Dewa. "Bukankah Sahar juga termasuk salah satu dari kelima dalang pembunuhan ayah kamu? Apakah dengan menghabisi Sahar saja, kamu sudah merasa puas? Masih ada empat orang lagi yang belum menerima hukumannya," ucapnya, seraya menyerahkan air minum pada sang anak buah.

Tertegun Dewa tatkala menerima segelas air putih dari bosnya. "Tapi saya nggak sanggup kalau harus dimata-matai hanya karena kematian Sahar."

"Kalau begitu, silakan menyerah saja. Lupakan pembalasan dendam kamu dan hiduplah di panti asuhan seperti kebanyakan yatim piatu yang kita santuni setiap tahun," ujar Franky melipat kedua tangannya.

Dewa mengernyitkan kening. "Saya nggak selemah itu! Nggak gampang buat saya lupain dendam atas kematian ayah saya. Para bedebah itu harus dihukum!"

"Oke ... Jadi, itu artinya kamu masih belum mau menyerah. Benar begitu, kan?" Franky memandang Dewa lekat-lekat.

Dewa mengangguk cepat.

"Maka tetaplah berjuang bersama saya sampai titik darah penghabisan. Menggulingkan para petinggi tidak semudah membalikkan telapak tangan, Dewa. Perlu rencana dan intrik yang dipikirkan matang-matang. Jika kamu kalah cerdik, bukan dendam kamu yang tuntas, justru nyawa kamu yang dihabisi," jelas Franky. "Lagipula, apa kamu nggak kasihan sama paman kamu--Guruh? Dia juga sama-sama ingin membalaskan kematian kakaknya, ayah kamu. Hanya saja, dia terkendala karena masih terikat dengan angkatan TNI."

Mendengar penjelasan atasannya, Dewa mengusap muka. Sembari melirik Franky, ia mengangguk pelan, tanda masih setia bergabung dengan organisasi itu. Adapun Franky, tampak semringah mendapati api dendam masih menyala di mata anak buahnya.

***

Karmina tertegun memandang seorang perempuan yang melenggang dengan angkuh, memasuki kelasnya tatkala jam pelajaran pertama dimulai. Diperhatikannya gadis yang memakai bando merah dengan rambut hitam legam terurai sampai pinggang. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Zahra Altafunnisa, siswi pindahan dari SMA favorit lain di kota Jakarta.

Setelah memperkenalkan diri, Zahra dipersilakan duduk di bangku yang kosong. Pandangan Karmina semakin intens tatkala gadis itu hendak melintas ke bangkunya. Tahilalat di bawah mata kiri murid baru itu, membuat Karmina menyipitkan mata.

Secepatnya, Karmina mengalihkan pandangan ke arah Gracia yang duduk di bangku cukup jauh darinya. Semburat kekesalan tergambar jelas di wajah gadis perundung itu ketika memandang Zahra yang baru saja duduk.

"Sok cantik banget murid baru itu. Emangnya dia siapa, sih? Lo tau nggak?" tanya Gracia pada teman sebangkunya, Fransisca.

Fransisca mengedikkan bahu sambil mencebik. "Gue juga baru lihat dia sekarang. Emang kenapa?"

"Kayaknya kita harus ngasih dia sambutan selamat datang. Siapa pun juga, nggak boleh ada yang berani melebihi gue," ketus Gracia mendelik ke arah Zahra.

Kegiatan belajar mengajar berlangsung begitu singkat, seiring dengan berjalannya waktu. Saat jam istirahat tiba, Karmina memutuskan meminjam buku ke perpustakaan untuk menyingkirkan rasa jenuh. Setelah gosip mengenai hubungannya dengan Dewa beredar liar, ia memutuskan untuk menjaga jarak. Pun dengan Dewa yang lama-lama merasa risi dianggap berpacaran dengan Karmina oleh semua siswa dan para guru.

Sementara itu, Gracia bersama kedua temannya beramah-tamah pada si murid baru. Diajaknya Zahra ke belakang sekolah, dengan dalih memperkenalkan suasana baru. Akan tetapi, setibanya di area belakang sekolah, gadis itu justru menjambak rambut panjang Zahra.

"Lepasin!" gertak Zahra berusaha memberontak.

"Gue nggak akan lepasin lo, sebelum lo bersikap sewajarnya aja di sekolah ini," geram Gracia memelototi Zahra.

"Gue udah bersikap wajar kok. Lo aja yang nggak suka sama gue," bantah Zahra, sembari meringis.

Gracia melepaskan jambakannya, kemudian mendorong gadis berambut panjang itu hingga tersungkur. Fransisca dan Evelyn terbahak-bahak menyaksikan penderitaan Zahra.

Evelyn menarik baju Zahra, hingga berdiri sejajar dengannya. Ditamparnya pipi murid baru itu, kemudian berkata, "Lo pikir sekolah ini punya bokap lo, apa? Lo tuh cuma murid baru, nggak usah belagu!"

Fransisca meludahi Zahra, sambil mendelik tajam. "Lo itu nggak beda jauh sama serangga menjijikkan kayak kecoak. Nggak ada cantik-cantiknya sama sekali," ejeknya sembari melepas bando merah gadis itu dan mematahkannya.

Berkaca-kaca mata Zahra mendapati bando kesayangannya dirusak oleh gadis berwajah oriental itu. Hatinya begitu perih tatkala benda pemberian sang ayah untuk terakhir kalinya, dipatahkan menjadi beberapa potongan. Gadis itu menangis tersedu-sedu, memungut bando merah yang dilemparkan oleh teman barunya.

Di tengah perundungan itu, Dewa sekonyong-konyong muncul menghampiri mereka. "Woy! Lagi ngapain kalian kumpul-kumpul di sini? Jangan bilang, kalau kalian lagi ngerjain orang baru!" tegurnya memelototi Gracia.

Menyadari situasi tidak kondusif lagi, ketiga gadis itu berlalu dari belakang sekolah tanpa menjelaskan apa pun pada Dewa. Sesekali, Gracia menoleh pada sang ketua OSIS sambil mengacungkan jari tengah.

Alih-alih membalas kelakukan Gracia, Dewa menghampiri Zahra yang sedang sesenggukan memegangi patahan bando di tangannya. "Udahlah, nggak usah ditangisin. Lo, kan, bisa beli lagi yang baru," ujarnya.

Zahra menyeka air matanya, lalu menoleh pada Dewa. "Tapi bando ini berharga. Ini pemberian terakhir dari bokap gue tiga hari sebelum dia meninggal," rengeknya.

Tertegun Dewa melihat wajah Zahra yang dirasa tak asing baginya. Setelah memperhatikan cukup lama, ia baru ingat, bahwa gadis itu merupakan putri dari Sahar Muzakir yang sempat disanderanya. Adapun Zahra, justru tersipu-sipu oleh Dewa yang terpaku menatapnya tanpa berkedip sedikitpun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!