Bu Wilda menyeruput kopi dari cangkirnya, sambil menikmati suasana sendu hujan pagi hari di halaman belakang. Dari dalam rumah, muncul seorang wanita berpenampilan meriah dengan perhiasan emas di tangan, leher, serta telinganya.
Anggota dewan yang kerap berdandan tebal dan mencolok itu memiliki nama lengkap Melinda Alicia Pasaribu, teman baik Sahar Muzakir. Ia duduk di kursi sebelah meja Bu Wilda, dengan raut wajah cemas yang begitu kentara.
"Wilda, apa betul rumah kau ini sudah dimasuki anak si intel itu?" tanya Melinda dengan logat bataknya yang begitu khas. Suaranya menggelegar seperti petir di tengah hujan.
"Bisa nggak, sih, kamu pelankan suara sedikit? Bisa gawat nanti kalau ketahuan sama orang rumah," tegur Bu Wilda memelototi tamunya.
Melinda mengangguk setuju. "Coba kau ceritakan kejadiannya gimana," ujarnya penasaran, dengan suara yang lebih pelan.
Bu Wilda menguraikan kembali peristiwa yang terjadi semalam. Tak lupa, keterangan yang didapat oleh polisi pun dipaparkannya secara gamblang.
"Apa kau serius kalau pemuda yang menyusup ke rumah kau ini anak si intel?" tanya Melinda merasa sangsi.
Bu Wilda mengangguk cepat, seraya berkata, "Aku yakin kalau yang tewas semalam itu bukan anak si intel, melainkan pemuda yang berhasil kaburlah orangnya."
"Kenapa kau masih saja paranoid, Wilda? Bocah ingusan itu mana mungkin berani macam-macam sama kita." Melinda menampik.
"Nggak ada yang nggak mungkin, Mel. Suamiku saja dihabisi oleh seorang pemuda sampai meregang nyawa," sanggah Bu Wilda. "Aku yakin, anak si intel pasti bersekongkol dengan teman-temannya buat menghabisi kita satu per satu."
Melinda tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Bu Wilda. "Mustahil! Apa kau lupa kalau anak si intel itu masih SMP waktu bapaknya dihabisi? Pasti sekarang usianya sama dengan anak kau yang bungsu itu."
Bu Wilda mengembuskan napas berat, mendelik pada Melinda. "Bagaimanapun juga kita harus tetap waspada. Kalau saja si Agus orang suruhanku berhasil menghabisi bocah itu, kita nggak perlu terus-terusan khawatir dengan pembalasan Tuhan."
"Jadi, kau takut karma? Di dunia ini, karma tidak berlaku buat orang berduit macam kita," bantah Melinda memandang lekat-lekat wanita di sebelahnya.
"Tapi tetap saja, kita nggak boleh terlalu larut dalam kenyamanan. Buktinya nggak ada angin nggak ada hujan, suamiku dibunuh di pinggir jalan," ketus Bu Wilda, menatap lurus ke depan. Diseruputnya lagi kopi yang masih tersisa sampai habis, lalu menaruh kembali cangkir kosong ke meja.
"Barangkali suami kau memang sudah berbuat ulah sama geng motor, makanya dibegal di pinggir jalan," ucap Melinda menduga-duga.
Bu Wilda mengedikkan bahu. Rasa waswas terhadap pembalasan dendam putra Pak Guntur terus saja bergemuruh di dalam dadanya. Sungguh, ia tak tahu-menahu bahwa suaminya punya urusan lain yang tak kalah berbahaya, yakni berusaha mengungkap bukti kekejaman sebuah organisasi rahasia asuhan seorang mantan perwira.
Sementara itu, suasana temaram begitu pekat tatkala Jordi dikebumikan. Rintik-rintik air yang jatuh dari langit, seakan berpadu dengan isak tangis ibu serta saudara-saudara perempuan dari pemuda itu. Sungguh, ibu Jordi menyesal tak menghiraukan firasatnya semalam. Jika saja ia mencegah putranya pergi keluar, mungkin tragedi memilukan ini mustahil terjadi.
Selesai acara pemakaman, orang-orang yang mengantar kepergian Jordi segera kembali ke rumah masing-masing. Pun dengan ibu dan saudara-saudara perempuan Jordi, yang tak bisa berlama-lama untuk berada di depan pusaranya akibat hujan semakin deras.
Adapun Dewa yang semalam melakukan operasi bersama Jordi, hanya bisa termenung di depan pembaringan terakhir sahabat karibnya. Hatinya semakin terpukul, setelah mengetahui pemuda itu memberi keterangan, bahwa ia bermaksud membantai keluarga Sahar dan mengeruk harta kekayaan sang petinggi partai.
Dengan langkah gontai dan kepala tertunduk, Dewa meninggalkan area pemakaman. Sesekali ia mengusap air mata yang sudah bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Ketika tiba di depan gang menuju rumah Jordi, tampak seorang pria gagah memakai jaket kulit dan berpayung hitam sedang berdiri di dekat motornya.
"Bos?" Dewa terperangah tatkala mendekati pria berbadan lebih tinggi darinya itu.
Mendengar suara Dewa, pria bernama lengkap Franky Christian Mandagi itu menoleh. "Sudah selesai berkabungnya?"
"Bos, kenapa nggak mampir ke rumah Jordi dulu?" Dewa balik bertanya.
"Tadi saya sudah bertemu ibunya Jordi dan turut berbelasungkawa," jawabnya. "Sekarang, kamu ikut saya. Ada hal penting yang perlu dibicarakan."
***
Hujan mulai mereda tepat pukul satu siang. Sinar mentari begitu terang, menyibak awan hitam yang perlahan beralih menuju tempat lain.
Karmina bergegas mampir ke rumah pamannya yang menekuni ilmu silat dan kebatinan. Namanya Zulkifli Maulana Hasan, akrab disapa Cing Kipli oleh keponakan-keponakannya. Siang itu, kebetulan sekali adik Pak Rohman yang gemar memakai setelan kaos oblong dan celana kampring itu, terlihat sedang nongkrong di teras rumah sambil menggosok-gosok batu akik biar laku keras di pasaran.
"Assalamualaikum, Cing Kipli. Serius amat bersihin batu akiknya," sapa Karmina, sambil melepas sandal dan duduk di sebelah pamannya.
"Wa alaikum salam. Iya, nih, mumpung Cing lagi kagak ada kegiatan, jadi bersihin batu akik," tutur Cing Kipli, meniup batu akik dan menggosoknya kembali. "Tumben lu kemari. Ada perlu ape?"
"Gini, Cing. Mina pengen belajar silat sama Cing Kipli. Barangkali Encing mau luangin waktunya sebentar buat ngajarin Mina," ucap Mina, melirik pada pamannya sambil mengusap-usap lengan, merasa sungkan.
Cing Kipli menaruh batu akik dan lap, seraya memandang Karmina dengan kening mengernyit. "Lu serius mau belajar silat?"
Karmina mengangguk cepat. "Iya, Cing. Mina pengen belajar silat biar nggak diusilin terus sama temen-temen di sekolah," terangnya.
"Lah? Emang temen-temen lu suka mukulin di sekolah?" tanya Cing Kipli tercengang.
"Ya ... namanya juga sekolah elit, Cing, isinya kebanyakan orang kaya. Nggak heran kalau ada yang belagu, nginjek-nginjek orang miskin kayak Mina," jawab Karmina merasa rendah diri.
"Kalau gitu, lu pindah sekolah aja biar kagak diusilin," usul Cing Kipli.
"Kagak bisa, Cing," keluh Karmina.
Cing Kipli mengerutkan dahi.
"Mina masuk ke sana mati-matian pakai jalur prestasi biar dapat beasiswa. Mina pengen belajar yang bener biar kagak dikawinin sama duda," jelas Karmina memandang pamannya.
Cing Kipli mengangguk takzim. "Kalau gitu, kenapa lu kagak jadi orang kaya aja? Kan enyak sama babe lu doyan ngomongin duit," selorohnya.
"Cing ini gimana, sih? Enyak sama Babe cuma doyan ngomongin duit doang. Giliran nyari penghasilan ke luar, mereka malah ngeluh mulu kayak yang kagak bersyukur," sungut Karmina, mendengkus sebal.
"Nyak sama babe lu tuh emang aneh, ya. Duit, duit, duit mulu. Padahal kalau orang pinter bersyukur dan percaya sama rezeki yang dikasih Tuhan, nanti juga harta dunia mah nyamperin sendiri," kata Cing Kipli terkekeh-kekeh.
Mendengar petuah bijak sang paman, Karmina mengangguk takzim. Diliriknya lagi Cing Kipli seraya bertanya, "Jadi, gimana nih? Cing mau ngajarin Mina silat kagak? Entar kelamaan nongkrong di mari bukannya dapet pahala malah ngumpulin dosa gara-gara ngomongin Nyak sama Babe."
"Kalau gitu, ya udah. Ayok!" ajak Cing Kipli, beranjak dari teras, disusul dengan Karmina yang mengikutinya berjalan menuju pekarangan rumah.
Diajarinya sang keponakan tekhnik dasar silat, mulai dari memasang kuda-kuda hingga cara memukul dan menendang. Sesekali Cing Kipli berkacak pinggang sambil memutar bola mata tatkala memperhatikan gerakan silat yang ditiru oleh Karmina. Tampaknya ia cukup sebal, sebab gadis berambut pendek itu kelihatan lunglai, bahkan tak bertenaga saat memperagakan jurus silat.
"Lu itu serius nggak, sih, pengen belajar silat?" omel Cing Kipli.
"Serius, Cing," jawab Karmina yakin.
"Kalau gitu pake tenaga dong! Yang semangat! Bayangin kalau di depan lu itu ada orang yang paling nyebelin dan bikin lu gedeg sampe ubun-ubun!" ujar Cing Kipli bersungut-sungut.
Karmina mengangguk, lalu menarik napas dalam-dalam. Diulanginya lagi gerakan silat yang diajarkan Cing Kipli, sambil membayangkan wajah Gracia. Kali ini, tendangan dan pukulan gadis berambut pendek itu lebih bertenaga dari sebelumnya.
Keseriusan Karmina dalam berlatih silat semakin menjadi, terlebih saat teringat pada Dewa yang menyangsikan kemampuannya dalam bertarung. Tekadnya menunaikan amanat dari orang tua sang ketua OSIS kian kuat saja. Karmina ingin membuktikan, bahwa dirinya lebih tangguh dari yang orang lain kira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments