Karmina menggigil hebat tatkala mulai terlelap. Sosok Bu Dahlia muncul dalam mimpi gadis itu dengan keadaan menyedihkan. Wajahnya pucat pasi dengan tatapan mata begitu sayu dan kosong. Yang tak kalah mengerikan, masih terdapat bekas tebasan pisau di lehernya, bahkan darah segar tampak mengucur dari luka menganga.
"Karmina ... Karmina ...," panggil wanita itu dengan suara lemah dan parau.
Sekujur tubuh Karmina bergidik ngeri mendengar namanya disebut-sebut oleh wanita itu. Dengan perlahan, gadis itu mundur, berusaha menjauhi sosok mengerikan yang melangkah gontai ke arahnya.
"Kenapa kamu menjauh? Sini! Kemarilah!" ujar Bu Dahlia melambaikan tangan.
Karmina terus saja mundur, hingga terhenti oleh seseorang di belakangnya. Ketika menoleh, tampak pria dengan wajah rusak dan sekujur tubuh bersimbah darah. Sontak, Karmina terkesiap, lalu berlari sambil menjerit sekeras-kerasnya.
"Tak usah takut, Karmina. Kami orang tua Dewa," ujar Bu Dahlia.
Sejenak, Karmina tertegun. Ia kemudian berbalik badan, matanya memandang waspada ke arah dua makhluk mengerikan di hadapannya.
"M-Mau apa kalian nyariin saya?" Karmina bertanya dengan suara gemetar dan napas tersengal-sengal. Kakinya seakan berat untuk melangkah mundur tatkala arwah pasangan suami istri itu mendekatinya.
"Kami mohon. Bantulah Dewa menghukum para pelaku yang sebenarnya. Dia berhak memperoleh keadilan," pinta seorang pria bersimbah darah, yang merupakan ayah dari Dewa. Namanya Pak Guntur.
"Keadilan macam apa yang kalian maksud? Bukannya Dewa sudah membunuh pelakunya?" tanya Karmina, matanya membelalak semakin lebar.
"Tidak. Yang sudah diseret ke neraka hanya antek-antek saja, bukan pelaku utama," jelas Pak Guntur, tatapannya begitu tajam seolah menyiratkan amarah terhadap orang yang ia bicarakan.
Bu Dahlia memegang lengan Karmina seraya berkata, "Apa pun yang terjadi, tolong lindungilah putra kami. Dengarkanlah keluh kesahnya agar dia tidak kesepian."
Bergetar tubuh Karmina dipegang oleh tangan Bu Dahlia yang sangat dingin. Pak Guntur menepuk pundak Karmina, sehingga membuat jantung gadis itu berdebar lebih kencang.
"Kami mohon dengan sangat. Hanya kamu satu-satunya orang yang dapat memberi petunjuk agar Dewa dapat menggulingkan iblis berwujud manusia dari takhtanya," pinta Pak Guntur dengan wajah memelas.
Genggaman pasangan suami istri yang telah berpindah ke alam baka itu, membuat Karmina tak bisa berkutik. Gadis itu hanya terdiam tatkala tangan mereka semakin mencengkeram di bagian lengan dan bahunya. Hingga pada akhirnya, gadis itu perlahan mulai terjaga ketika sang adik berusaha membangunkannya.
"Mpok ... Mpok!" panggil Jayadi sembari menggoyang-goyang tubuh kakaknya.
Seketika, Karmina bangkit dan terduduk dengan mata membelalak. Napasnya terengah-engah. Saat menyentuh bagian pelipis, ia mendapati keringat dingin tengah mengucur di sana.
Seiring kesadarannya terkumpul penuh, Karmina merasakan ngilu di lengan kanan dan pundak kirinya. Ditatapnya Jayadi sambil meringis kesakitan.
"Lu abis ngapain gue, ha? Tangan sama pundak Mpok sakit nih," keluh Karmina sambil sesekali memijat bahu dan lengannya secara bergantian.
"Gue nggak ngapa-ngapain, kok. Dari tadi cuma goyang-goyangin badan Mpok doang biar bangun," jawab Jayadi dengan lugunya.
Dari arah kamar, Bu Lela datang menghampiri kedua putra putrinya di ruang depan. Sambil mengucek mata, wanita itu duduk di sebelah Karmina.
"Ada apa nih? Malem-malem bukannya tidur, malah ngobrol. Bukannya besok kalian harus sekolah?" ucap Bu Lela, lalu menguap.
"Ini, Nyak, si Empok. Tidurnya kagak tenang sampe gue kebangun denger dia ngigau nggak jelas," terang Jayadi menunjuk kakaknya.
Dengan dahi berkerut, Bu Lela menoleh pada Karmina. "Abis mimpi apaan lu sampai ngigau segala? Lu punya utang di sekolah sampai kebawa ngimpi?"
"Enggak, kok, Nyak," jawab Karmina. Merasa risi dengan kehadiran sang ibu, ia mendorong Bu Lela dari sampingnya. "Udahlah, nggak usah dipikirin. Mending Nyak tidur lagi sonoh!"
"Iya, iya. Nyak tidur lagi nih," kata Bu Lela beranjak dari kasur busa Karmina, lalu melenggang menuju kamar.
Adapun Jayadi, masih menatap heran sang kakak. Ditepuknya pundak Karmina, dengan tatapan nanar tanpa berkedip sedikitpun.
"Mpok habis mimpi apaan emang? Cerita dong sama Yadi," ujar Jayadi.
"Lu pengen tau?"
Jayadi mengangguk cepat.
"Empok mimpi dikejar dedemit!" bisik Karmina dengan kedua mata melebar dan alis terangkat.
"Serius, Mpok?" Mata Jayadi ikut membulat mendengar ucapan sang kakak.
Karmina mengangguk pelan. "Lu pengen tau apa yang dilakuin dedemit itu?"
"Apaan?"
"Dedemit itu nyemplungin elu ke Kali Ciliwung gara-gara makan duit haram hasil judi bola!" jelas Karmina menekankan ucapannya.
"Ah, yang bener, Mpok? Jangan-jangan Mpok lagi ngibul nih." Jayadi menampik, merasa tak yakin dengan ucapan sang kakak.
"Serius amat lu. Namanya juga mimpi," kilah Karmina.
Jayadi mendengkus sebal, kemudian kembali ke kasurnya dan berbaring. Adapun Karmina, termenung sejenak memikirkan mimpinya sesaat yang lalu. Melindungi Dewa dan membantunya menggulingkan iblis berwujud manusia, Karmina benar-benar tak paham dengan maksud dari perkataan kedua orang tua ketua OSIS itu.
***
Farhan mulai menyelidiki kasus kematian ibunya Dewa. Ia menelusuri berbagai petunjuk yang mengarah pada pelaku. Beberapa warga sekitar kediaman rumah Dewa ditanyainya, berharap ada yang mengenal pembunuh Bu Dahlia.
Merasa kurang puas dengan informasi yang didapat, Farhan mendatangi ketua RT dan RW setempat. Dengan segala keramahtamahan, pria itu berkunjung ke rumah ketua RW.
"Pak, saya datang kemari ingin menanyakan perihal rekaman CCTV. Barangkali Bapak bisa menunjukkan saya rekaman saat malam Bu Dahlia meninggal," tutur Farhan, mengungkapkan maksud tujuannya.
"Tentu saja. Mari ikut saya!" ajak ketua RW.
Sambil berbincang ringan, Farhan menanyakan beberapa hal penting mengenai kasus yang pernah terjadi di lingkungan sekitar. Rupanya setelah sekian tahun kondisi lingkungan kondusif, baru kali ini terjadi lagi tindakan kriminal. Dua hari sebelum tragedi terbunuhnya Bu Dahlia, salah satu rumah warga sempat kemasukan maling. Beruntung, saat itu juga penduduk sekitar bergerak cepat, jadi si pencuri dapat segera ditindak.
Setibanya di rumah salah satu warga, Farhan dan ketua RW dipersilakan masuk. Tanpa banyak basa-basi, ketua RW menyampaikan maksud dari kedatangan mereka ke sana. Si pemilik rumah mengerti, lalu mengajak kedua tamunya menyaksikan rekaman CCTV di ruangan khusus.
Diperhatikannya rekaman CCTV itu oleh Farhan dengan saksama. Tampak seorang pria turun dari motor pada pukul sepuluh tepat. Suasana gang sudah sepi, sehingga orang di dalam rekaman video itu dapat melancarkan aksinya dengan leluasa. Farhan memperhatikan gerak-gerik pria yang sedang menggunakan topeng itu, sampai video berakhir di sebuah belokan dengan area cukup luas.
"Sepertinya dia pelakunya," gumam Farhan.
Ketua RW menoleh pada Farhan dan berkata, "Memangnya ciri-ciri pelakunya memakai topeng, Pak?"
Farhan mengangguk. "Dari keterangan yang saya dapat dari Dewa, sih, seperti itu."
"Apa kita perlu menanyakan hansip yang berkeliling malam itu? Siapa tahu Pak Farhan bisa mendapatkan informasi yang lebih akurat." Si pemilik rumah memberi saran.
"Apa mungkin malam itu hansip melihat orang ini?" tanya Farhan merasa sangsi.
"Kita coba tanyain dulu aja," ujar ketua RW.
Farhan mengangguk. "Apa saya boleh meminta rekaman video CCTV ini untuk penyelidikan lebih lanjut? Saya butuh informasi lengkap untuk menangkap pelaku."
"Tentu saja, silakan," kata ketua RW dengan senang hati.
Setelah menerima rekaman video CCTV, Farhan bersama ketua RW bergegas menuju rumah hansip. Kebetulan sekali, mereka bertemu dengan seorang pria berkulit sawo matang yang biasa memakai kaos oblong serta celana hijau hansip. Mereka duduk sejenak di pinggir warung kopi sambil memesan minuman dan gorengan.
"Pak, saya mau tanya, apa pada malam itu Bapak melihat ada orang yang mencurigakan? Orang itu pakai topeng yang terbuat dari bahan rajut," tanya Farhan.
Pria berkulit sawo matang itu termenung sejenak, mengingat kembali peristiwa pada malam Bu Dahlia terbunuh. Cukup lama ia berpikir, hingga akhirnya terhenyak tatkala memorinya berhasil menangkap sebuah kejadian penting.
"Kalau tidak salah, malam itu saya lihat ada orang yang jalannya tergesa-gesa sambil memasukkan sesuatu ke saku jaketnya. Dia sesekali menoleh ke belakang, kayak lagi dikejar seseorang," jelas si hansip.
"Apa Bapak ingat ciri-cirinya kayak gimana?" tanya Farhan, menatap wajah pria di hadapannya lekat-lekat.
"Badannya tinggi dan agak gemuk. Kalau nggak salah lihat, ya, tangannya kayak ada bercak darah gitu. Waktu saya tanya, dia nggak menggubris sama sekali," tutur pria berkulit sawo matang itu.
Farhan mengangguk takzim seraya berkata, "Terimakasih atas keterangannya, Pak. Kalau gitu, saya pamit dulu."
"Lalu, gimana dengan kopinya, Pak?" tanya ketua RW memandang Farhan yang beranjak dari tempat duduknya.
"Batalkan saja pesanannya. Saya harus segera kembali ke kantor," ujar Farhan, sembari melenggang meninggalkan warung kopi.
Dirasa semua informasi penting yang didapatnya sudah cukup, Farhan meneliti kembali keterangan-keterangan dari para saksi dan video CCTV. Bersama kedua temannya, Farhan memperhatikan video rekaman itu berulang-ulang, sampai salah satu dari mereka menyadari satu hal tatkala melihat wajah pelaku.
"Kayaknya gue pernah lihat orang itu, tapi di mana, ya?" celetuk salah satu pria berseragam polisi.
Farhan terhenyak, kemudian menoleh pada temannya. "Lo tau orang ini?"
"Kalau nggak salah, waktu masa kampanye dulu, gue pernah lihat orang ini sama salah satu petinggi partai yang nyalonin diri jadi anggota dewan," jawab temannya sembari mengingat-ingat kembali suatu peristiwa beberapa tahun ke belakang.
Mendengar penuturan temannya, Farhan mulai menemukan titik terang. Ditatapnya pria berseragam kepolisian itu seraya bertanya, "Apa mungkin orang ini masih ada kaitannya sama Sahar Muzakir?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments