"Aduuuh ...! Sakit, Be!" pekik Karmina memecahkan kesunyian malam, sambil mengerang kesakitan saat diurut bahunya oleh ayahnya, Pak Rohman.
"Tahan dikit nape? Lu itu ada-ada aja, di sekolah bukannya belajar yang bener, malah nyari ribut," ujar Pak Rohman, sambil menekan ibu jarinya pada bagian bahu Karmina yang dipukul oleh Dewa.
"Mina kagak nyari ribut, Be. Si Ketos duluan yang nantangin Mina buat mukul dia," sanggah Karmina sambil meringis sesekali.
"Tapi tetep lu ladenin, kan? Ketos di sekolah lu cewek apa cowok?" tanya Pak Rohman, memijit-mijit bahu putri sulungnya.
"Cowok, Be," jawab Karmina.
Pak Rohman menepuk bahu Karmina dengan keras, hingga putrinya itu menjerit sekencang-kencangnya.
"Sakit, Be! Ya elah ...." Karmina mengeluh seraya mengusap-usap bahunya.
"Makin lama lu makin aneh, ya. Cowok tuh dipacarin, bukan diajak gelut!" gerutu Pak Rohman.
"Dianya yang pengin gelut duluan kok," jelas Karmina.
Dari arah dapur, Bu Lela muncul membawa nasi beserta lauk pauknya untuk makan malam. Melihat putrinya yang kepayahan memegang bahu, wanita itu duduk sebentar mengusap bahu Karmina.
"Udah agak mendingan belom?" tanya Bu Lela.
"Belom, Nyak. Babe ini kalau mijitin kagak kira-kira, ye," keluh Karmina memasang raut memberengut.
"Heh, Mina. Gini-gini juga tangan Babe ini ajaib! Lihat aja besok! Lu pasti sembuh." Pak Rohman menyela, merasa bangga atas kemampuan dirinya dalam memijat.
"Itu kalau sembuh. Kalau kagak, Mina bolos sekolah aja dah," kata Minah mendelik.
"Ngapain bolos, Mina? Lu tuh cuma sakit bahu doang, bukan lagi sakaratul maut," kata Bu Lela sambil beranjak dari hadapan Mina dan suaminya, lalu melangkah ke dapur untuk mengambil piring.
"Mina udah muak, Nyak. Saban hari dikerjain mulu sama si Gracia and the genk. Belom lagi si ketos nyebelin, bukannya ngajarin beladiri, malah ngajak berantem. Kayaknya orang-orang di sekolah udah kagak waras," tutur Karmina sambil memijat-mijat bahunya.
"Lu kali yang kagak waras. Orang tuh kagak bakal punya masalah kalau kagak nyari gara-gara duluan," tuduh Pak Rohman, alih-alih membela putrinya.
"Iya, kali." Karmina termenung, lalu menatap ayahnya yang buta dengan kesal. "Lagian, Babe nih, kenapa ngasih nama jadul sama Mina? Mana kagak ada kepanjangannya lagi, Karmina doang. Jadinya Mina diledekin terus sama Gracia."
"Ya ... Gimana, ya? Soalnya waktu lu lahir, yang ada di otak Babe cuma lagu Karmila. Tadinya lu mau Babe kasih nama itu, tapi Babe mikir-mikir lagi," ungkap Pak Rohman.
"Kalau mikir-mikir lagi, kenapa kagak kasih nama yang lebih keren, Be? Kayak Jessica, Catherine, atau Patricia. Kan kalau nama Mina agak kerenan, nggak bakal dikatain jadul sama orang-orang usil," rajuk Karmina mendengkus sebal.
Di tengah-tengah percakapan mereka, Jayadi menyelonong masuk ke kontrakan. Matanya langsung tertuju pada ayam goreng masakan ibunya.
"Widih ...! Tumben Nyak masak ayam goreng," decaknya sambil mengusap-usap perut.
"Nyak habis gajian, itung-itung syukuran sebulan sekali bisa makan enak. Biar kagak makan tahu, tempe, sama telor melulu," sahut Bu Lela, sambil menaruh piring di dekat sebakul nasi dan lauk pauk.
Jayadi menyengir, lalu menoleh pada sang kakak yang cemberut. Disikutnya Karmina seraya bertanya, "Lu kenape, Empok? Kok mukanya kusut gitu? Noh, lihat! Ada ayam goreng tuh!"
"Empok lu lagi bete. Dia kagak terima dikasih nama Karmina sama Babe," jawab Bu Lela, sambil mengambil nasi dan sepotong ayam goreng untuk suaminya.
"Terus, Empok pengennya dikasih nama apa?" tanya Jayadi dengan kening mengernyit.
"Pengen dikasih nama Jessica katanye," jawab Pak Rohman.
Seketika, Jayadi tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban ayahnya. "Ya elah, Empok! Mana ada orang kere macem kita namanya Jessica. Kecuali kalau Empok mau jadi biduan dangdut, terserah mau pake nama panggung apa aje," kelakar sang adik yang berbadan kurus itu.
"Lagian, nama Karmina juga bagus, kok. Jarang-jarang tuh zaman sekarang ada cewek namanya Karmina," timpal Bu Lela.
Alih-alih meladeni ucapan ibu dan adiknya, Karmina yang baru saja selesai mengambil sepiring nasi dan ayam goreng, langsung melahap makanannya dengan kesal.
"Masih untung Babe ngasih lu nama Karmina. Coba kalau Karmila, Babe udah ketar-ketir dari dulu," tutur Pak Rohman sambil mengunyah makanan.
"Lah? Emang kenapa kalau si Empok namanya Karmila?" tanya Jayadi mengerutkan dahi.
"Babe takut empok lu jadi sasaran predator. Dengerin aja nih potongan lagunya. Kau berulangtahun ... Kutuang minuman ke dalam gelas. Pada saat itu ... kutahu usiamu baru sebelas," tutur Pak Rohman seraya menyanyikan lagu Karmila dengan suaranya yang sumbang.
Jayadi terperangah. "Nah! Iya, ya. Takutnya si Empok malah puber sebelum waktunya. Hoouwow Karmina ... Hoouwow Karmina," timpalnya meledek sang kakak.
Saking dongkolnya mendengar celotehan ayah dan adiknya, Karmina semakin cepat melahap makanan sampai habis. Adapun Pak Rohman, melanjutkan makan sambil sesekali bersenandung menyanyikan lagu kesukaannya, Karmila.
***
Pagi-pagi sekali, sebelum keluarga Pak Rohman bersiap-siap untuk melakukan aktivitas masing-masing, TV sudah lebih dulu dinyalakan oleh Jayadi. Sebuah kabar duka mengenai kepergian seorang petinggi partai bernama Sahar Muzakir, ditayangkan dalam acara berita.
Pak Rohman duduk di depan TV menyimak berita dengan saksama, ditemani Jayadi yang sedang melahap sarapan paginya. Adapun Karmina yang baru saja selesai memakai seragam, berjalan ke ruang depan, ikut menyaksikan berita.
Ditatapnya foto pria yang terpampang di layar televisi, sampai ia teringat pada seseorang. Setelah merasa yakin, bahwa pria bernama Sahar itu tidak lain adalah orang yang diterawangnya kemarin, Karmina berteriak histeris.
"Kenape, Mina?" tanya Pak Rohman celingukan.
Karmina menghampiri sang ayah, lalu menepuk bahunya. "Be, lihat, Be! Itu orang yang Mina lihat kemaren di seberang jalan. Mina udah tau duluan dia bakalan mati!" jelas Karmina dengan antusias, menunjuk-nunjuk ke arah televisi.
"Maksud lu apa nyuruh-nyuruh Babe lihat ke TV? Lu ngeledek Babe yang kagak bisa ngelihat, gitu?" sungut Pak Rohman berang.
Karmina terhenyak, menatap ayahnya yang memakai kacamata hitam. Sambil menyengir, ia berkata, "Hehe ... Maaf, Be. Mina kagak ada maksud ngeledek kok. Suer!"
Pak Rohman menepuk jidat. Jayadi hanya menggeleng, sambil melengos ke dapur membawa piring bekas sarapannya.
"Tapi Mina serius, Be. Kemaren lihat itu orang di seberang jalan. Mina lihat orang itu bakal mati di tangan orang-orang kagak dikenal," tegas Mina meyakinkan.
"Terus, Babe harus gimana? Ngasih duit jajan lebih banyak ke elu karena pinter ngeramal orang, gitu?" seloroh Pak Rohman.
Karmina termangu.
"Lu itu kalau pinter ngeramal, harusnya kayak si Yadi tuh, bisa ngehasilin duit," celetuk Pak Rohman. "Kalau perlu, jadi dukun aja sekalian biar cepet kaya. Jangan bisanya nyusahin orang tua mulu."
"Iya, Be. Mina ngerti kok," lirih Karmina, berlalu dari hadapan sang ayah.
Seiring mentari kian tinggi, Karmina pergi ke sekolah menggunakan angkot. Sepanjang jalan, ia memikirkan kilasan peristiwa yang dilihatnya kemarin siang.
Terlihat jelas dari penerawangannya, bahwa salah satu pelaku pembunuhan Sahar Muzakir merupakan ketua OSIS di sekolahnya. Namun, berita di TV yang mengabarkan bahwa pria berpakaian necis itu telah menjadi sasaran anak geng motor, membuat Karmina merasa sangsi.
Setibanya di sekolah, Karmina melihat-lihat ke sekelilingnya. Kedua matanya seolah sedang mencari seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan. Benar saja, Dewa tak terlihat pagi itu.
Menjelang siang, tepatnya saat jam istirahat tiba, Karmina berniat mencari Dewa ke kelasnya. Ketika hendak menyusuri koridor, tak sengaja ia mendengar percakapan antara dua anggota OSIS.
"Ketos nggak masuk hari ini. Kayaknya banyak murid yang bakal berbuat seenaknya," kata seorang siswa berseragam rapi, sambil melenggang menuju ruang guru.
"Lu kira sekolahan kita ini kota Gotham, apa? Ketos cuma nggak masuk sehari doang, kondisi masih kondusif. Lagian, mau sampai kapan kita ngandelin Bang Ketos? Inget, dia itu bukan Batman!" sanggah temannya.
"Gue, sih, ngerasa nggak enak hati aja. Udah tenang-tenang sekolahan kita ini, kagak ada ribut-ribut antarsiswa. Giliran Bang Ketos kagak masuk, entar kita nemu kasus baru. Mana gue kagak bisa berantem kayak Bang Ketos," keluh siswa itu merasa gelisah.
Mendengar percakapan keduanya, Karmina merasa yakin, bahwa ada hal janggal pada ketua OSIS. Keraguannya akan penglihatan masa depan mengenai kematian Sahar Muzakir pun perlahan memudar. Karmina perlu mencari tahu kehidupan pribadi Dewa lebih lanjut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments