Dendam Dewa

Setelah jam pelajaran terakhir selesai, Karmina datang ke ruang OSIS untuk mencari tahu alamat rumah Dewa. Seorang perempuan yang merupakan sekretaris OSIS, tampak ketus menyambut Karmina di ambang pintu.

"Mau ngapain lo ke sini?" tanya sekretaris itu dengan sombongnya melipat tangan.

"Gue mau nanya alamat rumahnya Ketos," jawab Karmina dengan sungkan.

"Ngapain? Lo mau sok-sokan deketin Dewa? Dia nggak suka sama cewek lemah kayak lo," cela gadis yang diikat kuncir kuda itu.

"Gue nggak ada niat deketin dia kok. Gue cuma mau ngasih buku pelajaran yang gue pinjem sama dia tempo hari," dalih Karmina.

"Oh, gitu. Bentar, ya, gue ambil kertas sama pulpen dulu," ucap sekretaris OSIS itu masuk ke dalam ruangan.

Berselang beberapa menit kemudian, gadis itu kembali pada Karmina, sambil menyerahkan secarik kertas berisi alamat rumah Dewa. Dengan mata berbinar-binar, Karmina menerima alamat rumah sang ketos dan berterimakasih banyak pada sekretaris OSIS.

Berhasil mendapatkan alamat rumah Dewa, Karmina bergegas pergi menuju kediaman sang ketua OSIS dengan menaiki angkot. Selama di perjalanan, ia tak berhenti berdoa, berharap dapat menemukan lelaki itu secepatnya.

Setelah menemukan sebuah gang yang namanya tertera dalam secarik kertas pemberian sekretaris OSIS, Karmina segera turun dari angkot. Ditelusurinya gang sempit itu, hingga menemukan area yang cukup luas di dalamnya. Sesekali, ia bertanya pada warga sekitar, sambil menunjukkan alamat yang tertera pada secarik kertas pemberian sekretaris OSIS.

Cukup jauh Karmina melangkah dari jalan raya, akhirnya menemukan rumah yang dimaksud. Kediaman Dewa terbilang lebih luas dari kontrakan tempat tinggal Karmina. Rumahnya dicat putih, dengan kombinasi cokelat tua pada pintu dan kusen jendelanya.

"Eh, elo. Ngapain kemari?" tanya Dewa yang baru saja pulang membeli batu asahan, mengejutkan Karmina dari belakang.

Karmina yang terperanjat, segera menoleh pada Dewa. "Ini ... gue ke sini mau ada perlu sama lo," jawabnya terbata-bata.

"Oh, kirain kangen berantem lagi. Yuk, masuk!" ajak Dewa, berjalan lebih dulu dari Karmina. Karmina mengikuti Dewa dari belakang.

Ketika masuk ke ruang tamu, tampak seorang wanita berambut pendek beranjak dari kursi sambil terbatuk-batuk menyambut keduanya. Karmina segera mencium tangan wanita itu sebagai tanda penghormatan kala pertama kali bertemu.

"Kamu temannya Dewa, ya?" tanya wanita yang tidak lain merupakan ibu dari Dewa.

"Iya, Bu. Nama saya Karmina," jawab Karmina memperkenalkan diri.

"Dewa, ambilkan segelas air putih untuk teman kamu ini," panggil ibunya Dewa.

"Iya, Bu," sahut Dewa dari arah dapur.

Ibu Dewa begitu senang melihat kedatangan teman putranya. Sambil menunggu putranya mengambilkan air minum, wanita itu berbincang-bincang ringan dengan Karmina.

Berselang beberapa menit, Dewa datang ke ruang depan sambil membawa nampan berisi dua gelas air putih. Setelah menyuguhkan minuman untuk ibu dan Karmina, Dewa duduk di kursi.

"Mau ngomongin apa lo ke sini? Apa lo mau nyeritain kalau bokap gue bangkit dari kubur?" tanya Dewa dengan ketus.

"Dewa, kamu bisa ramah sedikit nggak sama temen kamu?" tegur ibu Dewa menyikut anak semata wayangnya.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya bisa maklum," sanggah Karmina, dengan sungkan.

Dewa mendelik acuh tak acuh.

"Oya, kamu mau ngomongin apa sampai repot-repot datang ke sini?" tanya ibunya Dewa.

"Begini, saya cuma pengin tahu, kenapa Dewa nggak masuk sekolah, Bu," jawab Karmina, diselingi senyum kecil.

"Emangnya lo nggak lihat? Nyokap gue lagi sakit. Gue harus ngerawat nyokap biar cepet sembuh," sungut Dewa memelototi Karmina.

Ibu Dewa memukul paha putranya seraya menatap sinis. "Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya biasa aja? Lagian, Mama baik-baik aja, masih bisa masak sama sapu-sapu. Emangnya kamu, bangun siang langsung bersihin parang," ketusnya.

Mendengar ucapan ibunya Dewa, Karmina mengernyitkan kening. "Bersihin parang?"

Dewa dan ibunya terkesiap, tatkala menatap Karmina. Mendadak, ibu Dewa gelagapan ketika hendak beralibi.

"B-Begini, Karmina, m-maksudnya ... Dewa tuh habis bersihin rumput di halaman kemarin. Parangnya belum dicuci," jelas ibu Dewa terbata-bata.

Karmina menyipitkan mata, memandang Dewa dengan tatapan menyelidik. Lelaki itu hanya mengusap tengkuk sambil mengalihkan pandangan ke segala arah.

"Bersihin rumput atau ... melenyapkan Sahar Muzakir?" tanya Karmina, memperhatikan Dewa tanpa berkedip.

"Sahar Muzakir? S-Siapa dia? Gue nggak kenal," kelit Dewa tergagap-gagap.

"Nggak usah bohong deh. Emangnya lo nggak nonton berita tadi pagi? Atau minimal baca kabar di sosmedlah," desak Karmina, merasa belum puas.

"Gue beneran nggak tau!" sungut Dewa berusaha meyakinkan Karmina.

"Terus, kenapa hari ini lo bangun kesiangan? Pasti lo semalam abis ngeroyok orang. Iya, kan?" cecar Karmina semakin menuntut.

Merasa semakin terpojok, Dewa beranjak dari tempat duduk dan menarik tangan Karmina. Alih-alih menuruti kemauan Dewa, Karmina melepaskan genggaman lelaki itu dengan kasar.

"Kenapa? Jadi, bener, lo udah menghabisi Sahar Muzakir? Parah lo, ya! Di sekolah, lo berlagak kayak pahlawan, giliran di luar malah bertingkah jadi berandalan," cerocos Karmina menunjuk-nunjuk wajah Dewa.

"Bisa diem, nggak? Lo tuh nggak tau apa-apa! Jadi, jangan asal nuduh gue gitu aja!" bentak Dewa dengan kedua mata membelalak lebar-lebar.

Karmina mendengkus sebal, lalu mengalihkan pandangan pada ibunya Dewa. Ia benar-benar tak habis pikir dengan sikap tenang wanita itu, yang seolah tak tahu-menahu perihal kelakuan putra semata wayangnya.

"Bu, emangnya Ibu nggak tahu kalau Dewa udah berbuat kejahatan?" tanya Karmina dengan alis saling bertaut.

"Ya, saya tahu. Saya tahu sejak lama Dewa mengincar seseorang," jawab ibunya Dewa beranjak dari kursi, menghampiri Karmina.

"Terus, kenapa Ibu diam aja? Setidaknya Ibu bisa larang Dewa atau gimana, gitu?" gerutu Karmina merasa gemas.

"Buat apa? Biarkan Dewa melampiaskan dendamnya," ujar ibunya Dewa menepuk bahu Karmina.

Semakin merasa ganjil, Karmina menggeleng cepat. "Ini nggak benar, Bu! Kalau kalian ngerasa dizalimi, seharusnya lapor polisi. Ini negara hukum!"

"Nggak usah banyak cincong, lo! Mendingan sekarang lo pergi dari sini! Nggak ada gunanya lo ikut campur urusan keluarga gue!" hardik Dewa menyeret Karmina keluar rumahnya.

"Kalau gitu, gue bakal laporin kalian ke polisi," ancam Karmina menggeram.

Dewa melepaskan genggaman tangannya, lalu mendesah lemah. Ditatapnya Karmina dengan lesu, sambil tersenyum getir.

"Lo mau laporin gue? Silakan! Gue nggak takut. Emangnya lo punya bukti apa kalau gue pelakunya?" lirih Dewa.

Tertegun Karmina dengan pertanyaan Dewa.

"Lo nggak usah sok-sokan jadi pembela kebenaran, deh, kalau nggak tahu faktanya. Cukup diam dan nggak perlu ikut campur urusan orang. Lo bisa, kan, bersikap nggak peduli sama orang lain?" imbuh Dewa, menatap sinis pada Karmina.

"Tapi tetep aja ini nggak bener!" bantah Karmina bersungut-sungut.

Dewa mendorong Karmina keluar dari rumahnya, lalu membanting pintu di depan wajah gadis itu. Adapun Karmina, dengan kecewa meninggalkan kediaman sang ketua OSIS.

Sebelum berjalan semakin jauh dari rumah Dewa, sesekali Karmina menoleh ke belakang. Ketika mengedipkan mata, sekelebat bayangan tragedi mengerikan terjadi di dalam rumah itu. Sontak, Karmina terhenyak untuk sesaat, sebelum akhirnya menutup mata kembali.

Dalam penglihatannya, Karmina melihat seorang pria memakai topeng datang mengetuk pintu. Tatkala pintu dibuka oleh seorang wanita berambut pendek, pria bertopeng itu merangsek masuk ke rumah Dewa. Sebuah pertarungan sengit terjadi di dalam kediaman sang ketua OSIS.

Cukup lama kedua laki-laki itu bertarung, ibunya Dewa yang berniat melerai mereka, tiba-tiba lehernya terkena tebasan senjata tajam dari pria bertopeng. Melihat sasarannya meleset, orang misterius itu langsung kabur meninggalkan pisau di rumah Dewa.

Menyaksikan tewasnya ibu Dewa dalam penerawangan, membuat Karmina meneteskan air mata. Tangisan gadis itu semakin menjadi tatkala Dewa memeluk tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa.

Ketika membuka mata, Karmina segera mengusap pipinya yang terasa basah. Awalnya, ia berbalik badan untuk kembali ke rumah ketua OSIS. Akan tetapi, setelah mengingat kembali perlakuan kasar Dewa, Karmina mengurungkan niatnya.

"Udahlah ... bukannya Dewa bilang, kalau gue harus bersikap nggak peduli? Mending gue pulang aja daripada ngurusin orang dableg kayak dia," gumamnya, sembari melenggang pergi meninggalkan gang, meski dadanya masih terasa sesak akibat sebuah prediksi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!