Waktu merangkak lebih lambat menuju tengah malam. Derasnya hujan perlahan mereda setelah mengguyur kota sejak tadi sore. Dalam hening, Jordi mengendap-endap keluar dari rumahnya yang berada di dalam gang sempit.
Ibu Jordi yang kebetulan terbangun untuk mengambil minum, menyadari gelagat putranya. Ia mengurungkan niatnya pergi ke dapur, kemudian menghampiri Jordi yang sedang membuka pintu.
"Jordi, lu mau ke mana malam-malam gini? Tuh lihat! Udah jam sebelas malam," tanya ibu Jordi sesekali melirik jam dinding.
"Jordi mau beli rokok dulu ke depan, Ma. Soalnya dari tadi susah tidur," dalih Jordi.
"Oh." Ibunya Jordi mengangguk. "Ya udah. Tapi jangan kelayapan ke mana-mana, ya. Sekarang udah musim begal."
Jordi mengangguk. "Iya, Ma. Jordi bisa jaga diri, kok."
Selepas Jordi meninggalkan rumah, wanita itu berjalan ke dapur dan mengambil segelas air putih. Setelah meneguk air minum sampai habis, ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di benaknya. Gemuruh firasat buruk mengenai nasib si bungsu seakan mengusiknya di kala sunyi.
Alih-alih mencari Jordi ke luar, wanita itu menarik napas dalam-dalam sampai kegelisahannya mereda. Diam-diam, ia berharap si bungsu segera pulang.
Sementara itu, Jordi yang sudah dijemput oleh Dewa di pinggir jalan, bergegas menghampiri kawannya itu. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di belakang Dewa. Semilir angin malam kian menusuk tulang tatkala pemuda itu melajukan motornya lebih kencang.
Setibanya di rumah mewah yang merupakan kediaman Sahar Muzakir, kedua pemuda yang sudah memakai masker sebagai penyamarannya, memanjat pagar dengan hati-hati, kemudian mendarat secara mulus di pekarangan. Sejak dilatih oleh orang-orang berpengalaman di organisasi rahasia, mereka semakin lihai menyusup ke dalam kediaman target. Maka tak heran, jika Dewa dan Jordi bisa bergerak cepat, hingga mampu menembus rumah dari seorang petinggi partai politik.
"Lo masih inget di mana si Sahar nyimpen flashdisk-nya?" bisik Jordi sembari mengendap-endap di dalam ruangan berukuran sangat luas yang begitu gelap.
Dewa mengangguk. "Kita cari ruang kerjanya."
Secepat kilat, keduanya menelusuri setiap ruangan di dalam rumah. Merasa tak puas mencari di lantai bawah, keduanya beralih menaiki tangga. Barangkali ruang kerja Sahar berada di atas, pikir Dewa.
Ketika melintasi sebuah kamar, seorang gadis yang baru saja hendak pergi ke dapur, tak sengaja memergoki kedua pemuda itu. Dewa segera menyadari posisinya dan Jordi tidaklah aman. Saat gadis yang merupakan putri bungsu Sahar akan menjerit, Dewa dengan cekatan segera membekap mulutnya, kemudian memegangi kedua tangan gadis itu di belakang.
"Jangan berteriak atau nyawa lo melayang," bisik Dewa mengancam gadis itu.
"Tunjukin tempat kerja Sahar sekarang juga," timpal Jordi.
Merasa ketakutan, gadis yang memiliki tahi lalat di bawah mata kirinya itu, mau tidak mau menunjukkan ruang kerja sang ayah. Benar saja, letaknya berada tak jauh dari kamar itu.
Setibanya di ruang kerja targetnya, Jordi langsung membuka pintu, disusul oleh Dewa yang menyeret putri bungsu Sahar. Pemuda itu menggeledah semua lemari dan laci meja. Ia masih ingat betul flashdisk berwarna hitam dengan ukuran cukup kecil yang pernah ditunjukkan oleh Sahar di depan bos-nya.
Cukup lama mencari, akhirnya Jordi mendapatkan flashdisk berisi data-data kerahasiaan organisasinya. Bisa gawat kalau sampai publik mengetahui isi dari benda itu. Organisasi yang dinaungi oleh seorang mantan perwira pertahanan negara itu, tidak akan beroperasi lagi menghabisi para tikus rakus berkedok pendukung rakyat jelata.
"Zahra! Zahra!" Suara seorang wanita terdengar dari luar ruangan.
Jordi buru-buru memasukkan flashdisk itu ke saku celananya, sedangkan Dewa memandang rekannya itu dengan mata membelalak. Jordi mengisyaratkan lewat gerakan kepalanya untuk melepaskan gadis yang sedang mereka sandera itu.
Dewa melepaskan putri Sahar dan berkata, "Jangan coba-coba memberitahu keberadaan kami. Kalau tidak, kami tidak akan segan-segan membantai keluarga lo."
Dengan gemetar, perempuan yang diketahui bernama Zahra itu mengangguk pelan. Dengan gemetar, ia berjalan menuju pintu, kemudian menyembulkan kepala, memandang sang ibu yang sedang mencarinya di luar ruangan.
"Eh? Ada apa, Ma?" tanya Zahra, disertai senyum hambar.
"Ngapain kamu di ruang kerjanya Papa?" tanya wanita yang biasa dipanggil Bu Wilda itu dengan mengernyitkan kening.
"Ng ... a-anu ... a-aku lagi nyari dua benang merah di ruang kerja Papa," jawab Zahra terbata-bata.
Sejenak, Bu Wilda termenung mendengar jawaban putrinya. "Dua benang merah?"
Zahra mengangguk. "Benang merah itu harus segera diputus."
Menyadari ucapan Zahra merupakan sebuah kode yang pernah disampaikan kepada kedua putra-putrinya sejak Sahar Muzakir dihabisi, Bu Wilda bergegas pergi menelepon seseorang. Sementara itu, Zahra menutup kembali pintu, memandangi Jordi dan Dewa secara bergantian.
"Sudah pergi?" tanya Dewa.
Zahra mengangguk. Jordi segera keluar sambil menyingkirkan putri bungsu Sahar dari depan pintu. Sementara itu, Dewa menyusul Jordi dari belakang, matanya memandang waspada ke arah Zahra yang masih terdiam di dalam ruang kerja Sahar.
Meyakini situasi rumah masih kondusif, maka bergegaslah dua pemuda itu menuruni tangga. Akan tetapi, belum sempat mereka keluar dari rumah itu, semua lampu mendadak menyala. Jordi dan Dewa terkesiap, melihat satu per satu orang berseragam kepolisian dengan senjata api bermunculan dari segala penjuru.
"Angkat tangan!" seru komandan dari orang-orang bersenjata api itu.
Jordi menyerahkan flashdisk dari saku celananya ke tangan Dewa seraya berbisik, "Pastikan benda ini sampai ke tangan si Bos."
"Tapi, kenapa lo kasih ini ke gue? Kita bakal keluar dari sini barengan, kan?" lirih Dewa dengan gemetar.
"Salah satu dari kita emang harus mati, Wa," cetus Jordi. "Dalam hitungan ketiga, kita lari ke arah yang berlawanan."
Sembari mengangkat kedua tangan secara perlahan, Jordi memulai hitungannya. Dewa yang masih merasa gentar untuk berpisah dari rekannya, berusaha menguatkan hati demi menjaga kerahasiaan organisasinya.
Pada hitungan ketiga, Jordi segera berlari, mengalihkan perhatian para pemegang senjata api. Sementara itu, Dewa mempercepat langkah ke arah mereka pertama kali menyusup.
Saat berhadapan dengan salah satu pemegang revolver, ia langsung menendang tangan orang itu hingga senjatanya terlempar ke lantai. Secepat mungkin, Dewa meraih revolver itu, kemudian menembak beberapa orang yang berusaha menghadangnya untuk meninggalkan kediaman Sahar.
Sementara Dewa berhasil melarikan diri, Jordi justru sudah terkepung di area dapur. Ia segera mengambil pisau, lalu melemparkannya ke arah orang-orang yang mengepungnya. Pisau itu tepat mengenai bagian dada salah satu dari anggota kepolisian.
Sang komandan menembak ke arah betis Jordi, tapi sayang, pelurunya meleset. Jordi mencari jalan keluar dari kepungan orang-orang itu. Ia berusaha meraih pintu menuju halaman belakang rumah.
Alih-alih berhasil keluar dari dapur, pemuda itu diberondong peluru hingga terkapar di lantai. Seorang komandan menghampirinya, lalu membuka masker yang menutup hidung dan mulut Jordi.
"Katakan! Apa tujuan sebenarnya kamu datang kemari?!" tanya komandan berkumis tebal itu pada Jordi.
"Aku ingin membantai semua keluarga Sahar Muzakir, mereka tidak berhak untuk hidup," jawab Jordi menatap nyalang pada sang komandan pasukan, sambil sesekali meringis memegangi dadanya yang terkena peluru.
"Apa alasannya kamu ingin membantai mereka?" Komandan semakin penasaran.
"Aku ingin membalaskan dendam atas kematian ayahku dan mengeruk semua kekayaan Sahar," dalih Jordi, bermaksud menyelamatkan Dewa agar tak diserang lagi oleh keluarga para petinggi yang telah menghabisi Pak Guntur.
Merasa keterangan yang diperolehnya sudah cukup, sang komandan pergi mendatangi pemilik rumah. Sementara itu, dua anak buahnya menjaga Jordi yang sudah sekarat bermandikan darah di sekujur tubuhnya.
Seulas senyum tergambar di bibir pemuda dengan bekas luka di pipinya itu. Ia merasa bangga, dapat menyelamatkan kerahasiaan oraganisasi dan hidup Dewa pada akhir hayatnya.
Berselang beberapa menit, sang komandan datang bersama Bu Wilda dan Zahra ke dapur. Tak ketinggalan, putra sulung Sahar yang bernama Anwar, juga ikut menyaksikan kematian Jordi.
"Katanya dia berniat untuk membantai keluarga kalian dan mengeruk semua harta benda yang almarhum Pak Sahar miliki," kata sang komandan.
Zahra dan Anwar mengangguk takzim. Bu Wilda memperhatikan orang yang sudah tak bernyawa itu, tanpa berkedip sedikit pun. Hatinya masih merasa sangsi, bahwa putra dari anggota intel yang pernah dihabisi suami dan kawan-kawannya sudah tewas di tangan polisi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments