Kian nampak menegang sesaat, namun tak ada yang menyadari itu, termasuk Felice.
"Apa yang kau rencanakan?" Kian menatap Felice sengit. Ia juga mendorong perempuan itu agar menjauh darinya.
Felice terkekeh. "Sederhana saja, aku ingin kau menuruti wasiat Daddy. Kau harus menjagaku, namun ... dengan menjadi kekasihku." Ujarnya dengan tersenyum miring.
Kian yang mendengar itu langsung berdecih, apa maksud dari ucapan tak berbobot itu? Tak ada yang bisa menggantikan posisi Liliane di hatinya, sekalipun jalang kecil ini.
"Mustahil!" seru Kian. Dia berjalan kembali ke mejanya.
"Keluar dari sini!" Kian kembali berseru, namun Felice tetap tak berpindah seincipun dari tempatnya berdiri.
Hal itu tentunya membuat emosi Kian kembali meledak, tetapi sebelum tuannya membunuh Felice, Adam segera menyeret perempuan itu keluar dan menyerahkannya pada pengawal yang berjaga untuk membawanya pergi.
"Sialan kau, Kian! Kupastikan secepatnya kau akan menyetujui permintaanku!" seruan Felice terdengar sebelum Adam menutup pintu ruang kerja Kian rapat.
Kian nampak mengurut keningnya, rasa pening di kepalanya seakan ingin membuatnya memaki semua orang.
"Aku tak akan pernah menyetujui permintaan jalang kecil itu, Adam. Jangan pernah mencoba membujukku!" Kian sudah memperingati Adam, bahkan sebelum pria itu membuka mulutnya.
"Mohon maaf, tuan. Namun, mengingat citra keluarga Marchetti yang baik dan harmonis di hadapan publik, alangkah baiknya jika tuan mempertimbangkannya lagi. Mengungkapkan siapa sebenarnya Nona Felice sepertinya hanya akan menghancurkan citra keluarga Marchetti di hadapan publik." Adam seolah tak peduli jika Kian akan menembak mati dirinya. Lebih baik dia mengatakan pendapatnya untuk mempertahankan keluarga Marchetti agar tidak tercoreng nama baiknya.
Jika kebenaran tentang Felice yang merupakan anak haram Massimo Marchetti, maka reputasi Marchetti & Co. Fine Wines & Dining mungkin akan hancur. Adam tak menginginkan hal itu terjadi.
Sementara itu, Kian nampak menggeram tertahan. Dirinya tak pernah menyangka akan ada hal seperti ini dalam satu hari hidupnya di dunia. Ia tak bisa membayangkan jika Liliane mengetahuinya, apakah gadis itu akan semakin membencinya? ah tidak, mungkin saja gadis itu sudah tak memedulikannya, mengingat bagaimana perbuatannya pada ayahnya kemarin.
"Baiklah. Kali ini aku menurut padamu." Putus Kian pada akhirnya. Dia menghela napasnya berat, seolah keputusan yang dibuatnya adalah keputusan paling besar yang pernah dilakukan olehnya.
Kian berbalik, menatap ke luar jendela ruang kerja. "Mengenai ..." Adam baru akan berbicara saat Kian sudah mengangkat tangannya untuk menghentikannya.
"Aku sedang tidak ingin mendengar hal lainnya. Katakan saja besok, jika tak terlalu mendesak." Ucap Kian setelahnya.
"Ini tentang Titanium Industries, Signore." Ucap Adam menginterupsi.
Meski sedikit malas, Kian akhirnya berbalik menatap Adam yang masih berdiri di tempat semula. "Katakan."
"Kita berhasil mengakuisisinya." Ucap Adam dengan tenang.
Sebuah senyuman terbit di wajah Kian. Titanium Industries adalah perusahaan peninggalan John, setelah berbagai negosiasi dan manuver bisnis. Perusahaan ini sebelumnya memiliki hubungan erat dengan keluarga Marchetti dalam bisnis keamanan dan teknologi. Keberhasilan akuisisi ini menandakan bahwa Kian semakin memperluas pengaruhnya, sekaligus semakin dekat dengan kebenaran tentang masa lalu John.
"Titanium memiliki banyak dokumen lama yang belum kita periksa. Jika ada bukti yang bisa membuktikan bahwa John dijebak, itu pasti tersimpan di sana." Lanjut Adam.
"John mungkin sudah mati di tanganku, tapi rahasianya belum. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku tahu siapa dalang sebenarnya." Respon Kian disetujui oleh Adam. Ia akan membantu tuannya untuk mencaritahu kebenaran yang sebenarnya. Dia hanya bisa berharap bahwa kebenaran yang mereka cari tidak membawa lebih banyak kehancuran.
"Pergilah. Kita bahas lagi besok," ucap Kian kemudian.
Adam menganggukkan kepalanya mengerti, kemudian berbalik pergi, membiarkan Kian menenangkan dirinya.
"Adam," panggil Kian saat Adam hendak membuka pintu ruang kerja.
"Cari tahu dimana keberadaan Liliane," pintanya dan diangguki oleh Adam.
"Baik."
Setelah pintu tertutup dari luar, Kian mengurut kembali keningnya. Pandangannya terlempar pada halaman luas di belakang mansion, ya setidaknya itu sedikit menghibur hatinya. Andai ... Liliane masih ada di sisinya, maka sebesar apapun masalah yang dihadapinya, ia tak pernah merasa risau.
'Only with you, I feel safe Liliane.'
Kata-kata itu sering ia layangkan dulu saat masih bersama Liliane. Sepertinya ia memang harus mencari keberadaan Liliane secepatnya.
Kian berdiri dan memutuskan pergi ke lapangan tembaknya. Dia meminta pengawalnya untuk menyiapkan papan tembak dengan foto Massimo di sana.
Dan dalam tiga jam kedepan, Kian menghabiskan waktunya dengan menembaki foto Massimo hingga dirinya merasa puas.
***
Tokyo, Japan
Suasana pagi di Tokyo yang mendung, mengundang siapapun untuk kembali terlelap. Namun, tidak dengan sosok gadis yang berlari ke kamar mandi setelah merasa ada yang tak beres dengan perutnya.
Rasa mual menjalar naik ke kerongkongan, kemudian terdengar suara gemuruh air dari wastafel dan samar-samar suara seseorang sedang mengeluarkan sisa makanan dari mulutnya.
Liliane, ia sudah merasakan mual hebat sejak tiga hari yang lalu. Tetapi dia masih tak mengerti apa penyebabnya. Pola makannya selalu teratur, tentu saja dia tak akan memiliki penyakit gastritis.
Gadis itu menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar mandi, menatap sayu dirinya yang pucat pasi dari cermin. Sejenak ia memejamkan matanya, berharap rasa mual itu segera hilang.
Tak lama, terdengar suara pintu kamar yang dibuka dari luar. Langkah kaki menyusul dan berhenti tepat di depan kamar mandi.
Suara ketukan pintu mulai menyapa telinganya. "Nona Yuri, ada teh jahe yang bisa nona nikmati untuk menghilangkan rasa mual. Nyonya Hana yang memintaku membawakannya untukmu."—itu suara Nanami, pelayan pribadi sekaligus pengawalnya di sini.
Liliane akhirnya memilih keluar. Nanami yang melihat wajah pucat Liliane, segera membantu memapah cucu dari tuannya itu.
"Apakah Nona baik-baik saja? Tuan Takeshi sudah memanggilkan dokter untuk Nona," suara Nanami kembali terdengar setelah Liliane duduk di ranjang. Nanami menyodorkan teh jahe atau Shōgayu¹ untuk Liliane.
"Aku akan baik-baik saja, Nanami. Jangan khawatir." Liliane mencoba menenangkan Nanami yang terlihat khawatir.
"Bagaimana kondisi Obaasan?" tanya Liliane yang mengingat tentang Hana, karena semalam neneknya itu mengeluhkan sakit kepala padanya.
"Nyonya Hana sudah membaik, setelah ini Nyonya akan melihat kondisi Nona." Jawab Hana dengan jujur.
Liliane hanya mengangguk mengerti.
Beberapa saat kemudian, Hana datang bersama Takeshi yang mendorong kursi rodanya. Mereka tak hanya berdua, di belakangnya terdapat seorang lelaki berpakaian dokter yang mengikuti langkah pasangan senja itu.
"Obaasan ... Jiisan ..." Liliane memanggil kakek dan neneknya dengan lirih.
Takeshi dan Hana menyunggingkan senyuman hangat. "Kami akan menemanimu, kami tidak akan pergi," ucap Takeshi menenangkan Liliane.
Dokter tersebut menyapa Liliane dan mulai melakukan pemeriksaan. "Halo, Yuri. Kudengar dari Tuan Takeshi, kau tidak lancar berbahasa Jepang, jadi aku memakai bahasa Inggris untuk menyapamu. Perkenalkan, aku Fujinaga Sakuya, kau bisa memanggilku Sakuya."
Liliane tersenyum ramah. "Halo, Dokter Sakuya. Mohon bantuanmu."
"Tentu saja, aku akan mulai memeriksanya ya ..."
Setelahnya Dokter Sakuya terlihat serius melakukan serangkaian proses pemeriksaan. Hingga ia menanyakan beberapa hal padanya.
"Apakah siklus menstruasimu teratur?" tanya dokter Sakuya seraya menatap manik mata Liliane.
Beberapa saat Liliane terlihat sedang mengingatnya, hingga mata hazel itu melebar. "Aku belum mendapatnya sejak tinggal di Jepang," ucap Liliane berbisik, nyaris tak terdengar.
Dokter Sakuya hanya tersenyum, kemudian mengangguk. "Apakah kau pernah melakukannya?"
Tubuh Liliane menegang, karena mendapat pertanyaan itu. Meski dokter Sakuya tidak mengatakannya secara gamblang, tapi Liliane mengerti inti dari pertanyaan itu.
Dengan rasa malu yang ia tekan mati-matian, Liliane mengangguk membenarkan pertanyaan dokter Sakuya.
"Baik, asal kau tahu dengan siapa kau berbuat, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Boleh bantu aku memeriksamu dengan melakukan tes kehamilan?" tanya dokter Sakuya seraya memberikan sebuah alat testpack² padanya.
Liliane mengangguk, namun dia tetap mencuri pandang pada nenek dan kakeknya yang masih setia menunggu di sofa kamarnya. Liliane bisa menangkap raut cemas dari keduanya. Rasa bersalah pun menelusup ke dalam hatinya.
Dengan dibantu oleh Nanami, Liliane melakukan tes kehamilan. Setelah menunggu beberapa menit, Nanami menyodorkan testpack itu padanya.
"Garis dua, Nona. Selamat atas kehamilanmu, Nona Yuri." Nanami memekik senang.
Dilihatnya satu per satu orang-orang di kamarnya. Takeshi dan Hana juga turut merasa bahagia atas kehamilannya. Namun, tidak dengan Liliane.
Dirinya menunduk dan mulai menangis terisak. Entah bagaimana nasibnya kedepannya, meski dirinya tahu Takeshi akan menjadi garda terdepan untuknya. Tetapi bagaimana dengan anaknya? Bagaimana jika suatu saat nanti Kian mengetahuinya?[]
***
¹Shōgayu : teh jahe tradisional yang dibuat dari parutan jahe, madu, dan air panas.
²Testpack : alat tes kehamilan yang saat ini sudah umum digunakan untuk mendeteksi kehamilan secara mandiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
putrie_07
y ampunnnn kasihannn
seruny......
2025-03-25
1