Tragedi

Calabria, Italy

Liliane sedang mematut dirinya di depan cermin kamar. Ia mendengar dari pelayan pribadinya—Serena yang mengatakan bahwa Kian akan datang setelah kembali dari Roma.

Liliane senang bukan main, hari ini adalah ulang tahunnya, tentu saja Kian tidak melupakan harinya. Dalam diam Liliane sudah membayangkan betapa indahnya nanti jika Kian Marchetti menikah dengannya, mengucapkan janji suci mereka di altar, membangun sebuah keluarga yang hangat dan penuh cinta, kemudian menghabiskan masa tuanya bersama Kian Marchetti di sebuah pulau pribadi yang tenang dan damai. Ya, suatu saat nanti mereka pasti bisa melakukannya.

Tepat saat dirinya akan beranjak, tiba-tiba saja pintu kamarnya dibuka dari luar. Kian Marchetti datang dan tersenyum sekilas sebelum menabrakkan dirinya pada Liliane. Bibir keduanya bertautan seolah saling melepas rindu. Malam itu mereka berakhir di ranjang Liliane.

Kamar Liliane bernuansa klasik seperti ruang tidur putri-putri kerajaan, ditambah dengan lilin yang menghangatkan ruang kamarnya menambah rasa panas yang menyelimuti kedua insan tersebut. Liliane resmi melepas keperawanannya pada seorang Kian Marchetti dengan sukarela dan kesadaran penuh.

"Aku mencintaimu, Kian Marchetti," ungkap Liliane bersamaan dengan rasa hangat yang perlahan melebur dalam dirinya. Kian menebarkan benihnya dan diterima dengan baik oleh Liliane.

Tak ada respon dari Kian setelah ungkapan cinta darinya. Liliane mendongak, menatap wajah tampan Kian dari dekat. Ia dapat melihat bagaimana peluh membasahi dahi Kian dan napas lelaki itu yang terengah-engah selepas percintaan mereka berakhir.

Ini aneh, biasanya Kian akan dengan mudah mengutarakan cintanya pada Liliane. Atau dia akan membalasnya dengan sebuah kecupan di dahinya. Namun, malam ini Kian hanya menatapnya dengan sorot mata yang tak pernah Liliane pikir akan mendapatkannya.

Kebencian, dendam, kecewa, sakit, dan ... Liliane sampai tak bisa membayangkan apa saja yang membuat Kian sampai menatapnya dengan semua tatapan menyedihkan, tapi di satu sisi sangat mengerikan hingga membuat tubuh Liliane tanpa sadar bergetar takut.

Sosok Kian yang malam ini bersamanya tidak pernah dia temui selama dia mengenal Kian. Lelaki itu selalu menatapnya teduh atau penuh cinta. Tak pernah sekalipun dia menatap Liliane dengan tatapan lainnya.

"Kian ..." panggil Liliane lirih setelah beberapa saat mata mereka bersirobok.

"Apakah kau bisa berjanji satu hal padaku?" tanya Kian dengan suara dinginnya.

Dengan ragu Liliane mengangguk patah-patah. "Aku tidak akan membunuhmu. Aku tidak berniat untuk melukaimu. Maka, setelah ini pergi jauh dari kehidupanku dan jangan pernah kembali atau menampakkan diri di depanku lagi, Signorina Lakovelli." Ucap Kian tak berperasaan.

Tubuh Liliane menegang. Dia perlu waktu hingga akhirnya menyadari semua ini bukan mimpi. Kian mengatakannya dengan jelas dan dalam kesadaran penuh. Ada sedikit harap untuknya, namun lelaki itu bahkan tidak mabuk lantaran memang mereka tak minum alkohol malam ini.

"Mengapa?" tanya Liliane dengan sedikit tergagap karena hampir menolak menyadari sosok Kian yang menawan bisa berubah seratus delapan puluh derajat kebalikannya.

Manik mata hitam legam milik Kian menatapnya dengan sorot yang tajam dan mengintimidasi. Liliane tahu, Kian tak akan mengatakan gurauan apapun setelah ini. Ia juga tak mengharapkan sebuah ucapan selamat ulang tahun. Namun, ia perlu tahu hal yang membuat Kian berlaku begini padanya.

"Karena aku membencimu." Ucap Kian dengan penuh penekanan.

Hati Liliane mencelos. Untuk kali ini saja, tidakkah ada ucapan yang lebih menyakitkan dari ujaran kebencian Kian padanya? Kekasihnya, lelaki yang amat dicintainya dan digadang akan menjadi suaminya ... Liliane tak pernah tahu bahwa hidup bisa seperti gurauan.

Berbarengan dengan itu, pintu kamar Liliane dibuka dengan paksa oleh seseorang dari luar. Liliane reflek mendorong tubuh Kian yang sejak tadi masih berada di atasnya. Namun, Kian tetap mempertahankan posisinya tanpa bergeser sedikitpun.

Detik berikutnya sosok John Lakovelli muncul dari sana dengan penampilan yang berantakan. Ada banyak darah di kemeja putihnya. Bahkan, dia juga datang dengan membawa pistol di tangannya. Raut wajahnya terlihat panik, tapi ketika melihat keberadaan putrinya yang baik-baik saja membuat sebuah kelegaan muncul di matanya.

Hal itu tak berlangsung lama, ketika dia melihat sosok yang berada di atas putrinya, pistol di tangannya kembali terangkat.

"Daddy ..." ucap Liliane dengan lirih. Dia tak tahu situasi apa yang sedang terjadi di sini. Kian yang berubah dan John yang berantakan. Apa yang membuat dua lelaki itu bisa seperti ini?

"Jangan lakukan apapun pada putriku, Kian!" seruan John Lakovelli terdengar seperti sebuah permohonan. John tak berdaya sekarang.

Dan seolah waktu tak membiarkan Liliane untuk memikirkan semuanya, gerakan tangan Kian yang amat sangat cepat bergerak mengambil sesuatu di balik bantalnya, dan seketika terdengar suara tembakan yang amat keras.

Liliane memejamkan matanya. Tidak, dia hampir saja menangis dan tak berani membuka matanya. Tetapi yang pasti dia berhasil menahan jeritannya. Ini kali pertama dirinya mendengar suara tembakan dari jarak dekat. Siapa yang menekan pelatuk itu? Siapa yang tertembak? Apakah Kian tertembak? Tapi dia tak merasa tubuh Kian tersentak atau mungkin jatuh lemas karena tertembak.

Apakah ayahnya yang tertembak? Setelah pertanyaan itu terlintas di kepalanya, Liliane dengan segera membuka matanya. Dia mendapati Kian yang masih memegang sebuah pistol. Entah darimana lelaki itu mendapatkannya. Tatapan Kian lurus ke depan, seolah itu adalah targetnya.

Rasa panik menyelimuti hati Liliane. Darahnya berdesir, menjalar perlahan dari kaki Liliane sampai ke puncak kepalanya. Dengan gerakan kaku, Liliane menoleh ke arah yang dipandang oleh Kian.

Naas, ayahnya ... John Lakovelli sudah ambruk di lantai kamarnya dengan sebuah peluru yang menembus dada kirinya. Ayahnya merenggang nyawa di hadapannya, di ruangan kamarnya, dan dalam kondisi yang tragis.

Wajah Liliane pucat pasi. Keringat dingin menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaimana dia dapat mencerna semua ini. Bagaimana respon yang benar dengan melihat kejadian kekasihmu yang menembak mati ayahmu di hadapanmu? Bahkan ... for the god sake, Kian melakukannya pada saat miliknya saja belum keluar dari dalam Liliane. Lelaki di hadapannya ini sungguh kejam, tak berperasaan, licik, menjijikan, dan demi Tuhan—

Liliane bergeming sesaat sebelum akhirnya mengatakan. "Aku lebih membencimu, Kian Marchetti."

"Itu bagus."[]

Terpopuler

Comments

putrie_07

putrie_07

/Cry/😭😭😭😭😭😭😭😭sesak

2025-03-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!