Usai salat subuh tadi pagi, Gita kembali mengunci diri dalam kamar. Perasaannya masih tidak karuan sejak mengingat kembali kejadian yang menimpa Denting beberapa tahun silam— yang sebenarnya baru terjadi beberapa bulan lalu di tahun 2004 ini.
Bahkan Gita kembali menangis saat rasa bersalah itu menyerang. Seandainya gue saat itu gak lari, mungkin keadaannya akan berbeda.
"Kak Gita, bangun Kak! Sekolah," panggil Tini sambil mengetuk pintu kamar Gita.
Gita yang masih bergelung dengan selimut beringsut untuk bangun, dan bergegas ke arah pintu. Tapi kemudian ia ragu meraih handle pintu kayu tersebut, kala menatap pantulan dirinya di cermin. Duh, kalau Tini liat mata gue sembab gini, dia pasti khawatir.
Gita pun kembali ke tempat tidurnya dan duduk di sana. "Iya, Tin. Nanti aku siap-siap. Kamu berangkat duluan aja!" seru Gita.
"Oh ... ya sudah. Aku duluan ya kalau gitu, kebagian jadwal piket hari ini soalnya," ujar Tini yang masih berdiri di balik pintu.
"Iyaaa, yang rajin piketnya, yaaa!" balas Gita.
"Kakak baik-baik aja kan? Kakak enggak lagi sakit, atau ... atau takut ketemu tukang bully di sekolah, kan?" tanya Tini khawatir, sebab Gita tak kunjung membukakan pintu.
"Iya Tin. Tenang aja, udah gak ada yang berani ganggu aku di sekolah. Aku cuma masih ngantuk tadi malem nonton maraton drakor," jawab Gita asal.
"Ooh ... yaudah deh Kak, aku berangkat ya. Paman dan Bibi udah berangkat duluan tadi. Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumussalam," jawab Gita.
Gadis berseragam putih dan biru itu lalu beranjak dari kamar Gita dengan perasaan bingung sekaligus lega. Lega karena kakak sepupunya itu tidak ada yang mem-bully, sekaligus bingung dengan kegiatan Gita semalam. Apa itu marathon drakor? Nonton lomba lari, gitu?
Setelah terdengar pintu ruang tamu ditutup. Gita menyadari sesuatu. "Hahaha, ya ampun ... tahun ini kan masih awal-awal hallyu. Tini yang sukanya anime dan telenovela, mungkin gak terlalu familier dengan drama Korea yang disiarin di TV nasional. Duh kasian Tini pagi-pagi gue bikin bingung."
Gita kembali merebahkan diri dan berguling-guling di kasurnya. Di tahun ini, belom populer nonton streaming lewat platform daring. Kudu sewa DVD kalau mau nonton marathon, dan di rumah ini bahkan gak ada alatnya. Heum ... dulu hiburan gue apa ya? Ah iya! Gue juga dulu suka ke rental komik.
Mumpung di tahun 2004 rental komik masih bertebaran, gue akan manfaatkan sebaik-baiknya. Hahaha. Hm ... nanti gue ajak Yuli ah.
Mengingat rental komik, membuat kekalutan Gita berkurang, meski di dalam pikirannya masih ramai oleh beberapa potong ingatan yang telah muncul kembali.
"Ayo berangkat ke rental komik! Eh ke sekolah!" serunya semangat.
***
Hari ini Gita bisa belajar serta beraktifitas dengan damai di dalam kelas. Perlakuan Karen dan Ara padanya kini tidak sebar-bar dahulu. Meski mereka masih memasang wajah sangar dan mangumpat sambil lalu pada Gita, tapi tidak berbuat lebih dari itu. Sedangkan Risa lebih sering membuang muka atau pun menghindari Gita.
Para gadis labil yang sebelumnya seolah tak kenal rasa takut itu, merasa kehilangan kekuatan. Guru BK sudah mengabari para orang tua kasus pembullian Gita, dan para gadis perundung itu telah mendapat teguran dan hukuman dari orang tua masing-masing, belum lagi masih ada sanksi yang menanti untuk mereka nikmati dan pasti terjadi.
Sedangkan untuk orang tua Gita sendiri, Gita meminta pada para guru, agar dirinya saja yang nanti mengabari. Gadis itu ingin menyampaikan berita perundungan dirinya dengan cara yang tidak membuat kedua orang tuanya itu terlalu khawatir.
"Eh Git, Lo beneran mau ketemuan sama penulis itu?" tanya Yuli di jeda pergantian jam pelajaran.
Gita membuang napasnya dan menatap lurus pada netra Yuli.
"Kalau gue bilang 'iya', emang Lo beneran mau nganterin gue ketemuan sama dia?" Gita bertanya balik.
Yuli menggigit bibir bawahnya, dan bola matanya bergerak-gerak gelisah. Aduh gue jadi bingung gimana jelasinnya kalau penulis itu sebenernya—
Gita tersenyum simpul dan menepuk pundak Yuli. "Udah Yul, gak apa-apa. Gue ngerti kok," ujar Gita.
Yuli gelagapan. "Eh, bukan gitu. Gue gak keberatan lho beneran anterin lo ke kelas dia, tapi ... tapi gue—"
Kini Gita terkekeh, "Iya gue tau kalau Lo gak keberatan, Yul. Maksud gue, gak apa-apa ... kita enggak usah ke kelasnya. Toh dia juga gak ada di sana, kan?" tukas Gita, dengan perasaan pahit. Ya, Denting memang gak ada di kelasnya. Dia ... bahkan gak pernah menginjakkan kakinya di kelas tiga.
Yuli menelan ludah. "Lo ... tau soal itu?" tanyanya.
Gita menganggukkan kepalanya pelan.
"Syukur kalau gitu, gue sempet takut lo kecewa karena kak Denting udah pindah sekolah. Tapi gue mau usaha ngajak Lo ketemu temennya dia aja, biar temennya itu yang jelasin ke lo. Maaf ya," tutur Yuli.
Gita menautkan alisnya. *Meski gue tau Denting udah gak ada di Pelita, tapi gosip soal Denting yang pindah sekolah ini, justru gue lupa.*Kenapa yang beredar kabar tentang Denting malah kayak gitu ya?
Ah ingatan ini kenapa ga sekaligus muncul? Apa mungkin diri gue yang remaja ini trauma?
*Perasaan gue mengatakan Denting saat 'itu' dalam bahaya dan kondisinya saat ini enggak baik-baik aja, tapi informasi ingatan ini masih enggak lengkap.*Apakah Denting terluka atau dia sudah me—
"Eh iya, waktu kemaren di lapak majalah, bukannya Lo masih belom yakin soal si penulis itu kak Denting atau bukan?" tanya Yuli memecah lamunan Gita.
"Ah itu, eum ... gue baru inget kalau dia pakai nama pena yang sama dengan nama aslinya. Meski kalau di majalah namanya ditambahin Hening," tutur Gita.
Yuli menganggukkan kepalanya. "Oh gitu ternyata."
Gita tersenyum. Untung Yuli polos orangnya hehe. Lebih baik begini aja informasi yang dia tau untuk sementara waktu.
Seorang siswa berlari ke dalam kelas sambil berteriak heboh, "Guru matematika udah dataaaang!"
Seisi kelas pun langsung sibuk merapikan posisi mereka kembali. Begitu pula dengan Yuli. Meski gadis itu ingin duduk bersama Gita, namun Gita mengusirnya dengan alasan sudah membawa buku sendiri.
Gita pun menyiapkan peralatan belajar dan membuka buku miliknya. Kalau ada Yuli gue bakalan diajak ngobrol, padahal banyak yang harus gue pikirin.
Ingatan Gita belia mengambil alih tugas memikirkan pelajaran matematika, begitu pula saat mata pelajaran lainnya. Sehingga Gita 37 tahun itu, tak terlalu kepayahan mengikuti pelajaran SMA yang sudah banyak menguap entah ke mana.
Gita menyelesaikan soal matematika yang dituliskan oleh sang guru di white board, lalu ia membuka halaman kosong buku catatan dan mulai memetakan pikirannya tentang Denting.
Gadis yang hari itu menggelung rambut panjangnya, mulai menulis di atas kertas bergaris. Gue ketemu Denting di hari terakhir ujian dan Tomy mengatakan hal misterius tentang hari itu.
Saat ingatan tentang Denting mengalir, gue sama sekali enggak teringat tentang Tomy.
Mungkin dulu pun gue sama sekali gak kenal Tomy.
Tapi ... kenapa Tomy bisa tau ada sebuah kejadian di hari terakhir ujian? Apakah Tomy ada di sana dan kami melihat kejadian yang sama? Atau mungkin ... yang dimaksud oleh Tomy itu hal yang berbeda?
Gue harus pastikan hal ini ke Tomy, meski dia pasti bakalan jutek sama gue.
Sayangnya ... saat itu gue gak lihat orang yang nyerang Denting. Kehalangan pohon hias.
Tapi ... ada perasaan takut yang familier, mirip dengan yang gue rasakan saat melihat Rudi.
Hah! Bagaimana pun gue gak bisa asal tuduh, karena ini baru prasangka. Ingatan diri gue yang remaja ini belum terbuka sepenuhnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
gaby
Denting korban pelecehan oleh Rudi kah??
2025-04-12
1