Pulang ke Rumah

Gita tercenung sejenak di tepi jalan, melihat banyaknya angkutan kota yang berseliweran dengan bangku penumpang rata-rata terisi penuh.

"Udah lama gue gak liat angkot banyak dan jadi primadona di jalanan," gumamnya sambil tersenyum.

Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang penting.

"Ongkos!" pekiknya tertahan.

Gita panik ketika memeriksa saku baju seragamnya yang ternyata kosong, lalu ia meronggoh saku rok dan menghela napas lega, karena menemukan selembar uang sepuluh ribu rupiah di dalamnya. Sepuluh ribu rupiah pada masa itu sudah cukup untuk membayar tarif angkutan kota untuk pelajar seperti dirinya.

Dengan percaya diri ia lalu menstop sebuah angkutan kota dengan perpaduan dua warna hijau, terlihat lembut namun juga cerah.

"Bismillah." Gita pun menaiki angkutan yang menuju area tempat tinggalnya tersebut.

Di dalam angkutan kota, gadis itu duduk di kursi tambahan dekat pintu. Perkataan Gio tetang aroma dirinya yang tak sedap, membuat Gita sadar diri untuk tidak berdekatan dengan penumpang lainnya. Lagipula, duduk di dekat pintu membuat gadis itu bisa menikmati  segarnya angin saat mobil tersebut melaju.

Gita mengamati para penumpang yang saling mengobrol, ada juga yang tengah khusyuk membaca komik. Pemandangan tersebut menerbitkan rasa haru dan rindu, karena beberapa tahun selanjutnya, ketika ponsel pintar sudah menjamur ... perilaku semacam itu akan menjadi pemandangan langka.

Termasuk eksistensi moda kendaraan umum merakyat itu sendiri.

"Dek, Kamu sekolah di Pelita?" tanya seorang wanita 40 tahunan berlogat Jawa yang duduk di dekat Gita.

Wanita itu memakai kaos dan rok panjang, dengan kain batik tersampir di pundak. Gita melihat sekilas bakul jamu di dekat kaki wanita berkulit legam itu, lalu mengangguk.

"Itu sekolah gedungnya bagus, tapi sayang ... ada hantunya! Hiiiy!" Wanita bersanggul itu bergidik.

"Hantu? Hantu apa ya ... Mbok?" tanya Gita penasaran.

Penumpang lain yang ada di sana pun ikut memasang telinga, karena tertarik dengan penuturan wanita pedagang jamu keliling tersebut.

"Masa sih, Kamu gak tau soal itu, beneran sekolah di sana, gak?" Mbok jamu sangsi, sambil menilik penampilan Gita yang tampak kumal.

Gita memutar bola matanya kesal, lalu menunjukkan bet sekolah di lengan kemejanya.

Mbok jamu menyeringai tanpa merasa bersalah, namun kini tampak percaya bahawa Gita adalah siswi SMA Pelita. Ia pun mulai bercerita.

Kejadiannya adalah pada sebuah sore menjelang maghrib dan langit tampak mendung. Saat itu mbok jamu tengah melintasi SMA Pelita, menuju area pemberhentian angkutan kota, tempat tadi Gita menaiki kendaran umum ini.

 Area di sekitar terlihat sepi sebagaimana sore hari biasanya di area SMA Pelita, yang memang jauh dari pemukiman penduduk. Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba ada suara yang seperti memanggil dirinya dari arah gerbang.

Mbok jamu ragu dan berhenti melangkah untuk memastikan pendengarannya. Lalu ... saat menoleh, mbok jamu melihat seorang gadis melambaikan tangan padanya dari tengah-tengah lapangan. Rambut panjang gadis itu tampak berantakan dan menutupi sebagian wajahnya.

"Meski rasanya agak aneh ada anak murid jam segitu di sana, tapi saya tetap berniat mau nyamperin. Kali aja dia mau beli jamu. Eh tapi, waktu saya mau masuk ke sekolah, ternyata gerbangnya udah digembok!" Mbok jamu menepuk paha Gita kencang, hingga ia meringis.

"Te-terus gimana Mbok?" tanya Gita yang mulai terbawa cerita wanita itu.

Mbok jamu yang merasa ditanggapi semakin semangat bercerita.

"Ya saya bingung, gerbang udah dikunci tapi kok ada orang di dalem. Barangkali ada pintu lain, saya coba cari di sekitar sana. Nah waktu lagi nyari jalan masuk itu, terus saya denger teriakan kenceng. Saya kaget dong. Buru-buru saya balik lagi ke gerbang buat cek anak cewek itu. Tapi ... pas saya lihat ke dalam lagi, dia udah gak ada!"

"Ya udah pindah posisi kali Mbok," tukas Gita, mengusir kemungkinan mistis dari cerita itu.

Mbok jamu berdecak lalu melanjutkan, "Setelah itu, pas banget ada tukang batagor lewat. Saya minta dia manjat pagar, buat ngecek ke dalam. Lalu katanya emang gak ada siapa-siapa di dalam."

Gita menelan ludah, membayangkan ada makhluk halus bergentayangan di tempat ia bersekolah membuatnya merinding. Kemudian saat baru saja gadis itu ingin bertanya lebih lanjut, mbok jamu mengetuk kaca angkot dengan kencang.

"Bang kiri, Bang!" seru mbok Jamu seraya mengangkat bakul berisi botol-botol kaca yang sudah kosong.

Lalu, tanpa peduli wajah Gita dan para penumpang lain yang masih penasaran dengan ceritanya, wanita itu membayar ongkos dan angkutan kota itu pun melaju meninggalkannya.

'Cerita itu kayaknya gak pernah gue denger, mungkin emang cuma si mbok jamu tadi yang ngalamin,' pikirnya.

***

Gita turun di pangkalan becak dekat terminal dan melangkah memasuki sebuah gang menuju pemukiman penduduk tempat tinggalnya.

Sesampainya di depan sebuah rumah berpagar biru, ia diam sejenak.

"Kalau ini tahun 2004, berarti 'dia' masih ada," gumamnya.

Lalu dengan hati berdebar ia membuka pagar.

Krieet.

Pagar besi berderit terbuka, lalu terdengar suara langkah kaki dan disusul pintu kayu yang dibuka.

"Kak Gita? Kok ... udah pulang aja?" sapa sebuah suara cempreng sepupunya, Tini.

Gita tak bisa menahan rasa sesak di dadanya melihat sosok Tini yang masih SMP tampak sehat dan ceria. Gita merindukan Tini. Karena sebelum ia jatuh dari balkon dan mendarat pada tahun ini ... sepupunya itu sudah tak lagi hadir mengisi hari-harinya.

"Kak Gita kenapa? Tumben peluk-peluk aku, jangan bilang lagi patah hati?" selidik Tini yang mendapat pelukan dari Gita.

Gita memeluk erat tubuh kurus Tini sambil menatap langit-langit teras, agar air matanya tidak tumpah. Ia sungguh amat rindu. Lalu, setelah mengatur gejolak dalam hatinya, akhrinya Gita mengurai pelukannya.

"Ibu dan ayah masih belum pulang?" tanyanya kemudian.

"Belum, kan masih siang. Nah Kak Gita kenapa udah pulang? Kakak bolos?" tanya Tini lagi.

Gadis kelas tiga SMP itu melihat jam dinding yang menunjukkan masih jam sebelas pagi, sedangkan dirinya memang hari ini tidak masuk sekolah karena tadi pagi dia mersa sakit perut akibat nyeri datang bulan.

Tini menatap Gita yang membawa map di tangannya. Dia merasa heran karena Gita pulang dengan baju kotor dan tanpa membawa tas.

"Tas Kakak mana? Kakak dirampok?" selidik Tini.

"Enggak ... tas aku ada di sekolah, nanti dibawain sama Yuli," jawab Gita sambil melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah.

"Yuli?" Tini mengangkat sebelah alisnya.

"Iya temen satu kelasnya kakak," jawab Gita singkat lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa ruang tamu.

Mata Gita menelusuri ruang-ruang dalam rumah orang tuanya ini, banyak hal masih tetap sama hingga nanti ia sudah berkepala tiga, kecuali warna cat rumah yang sering berganti setiap menjelang lebaran.

Senyum Tini terbit kala mendengar Gita memiliki seorang teman di kelasnya.

"Kenapa Kamu senyum-senyum?" tanya Gita, padahal ia sangat senang bisa melihat senyuman sepupunya itu.

"Aku seneng Kak Gita punya temen, sejak beberapa bulan belakangan, Kakak keliatan agak beda soalnya," tutur Tini dengan binar bahagia.

"Beda gimana?" Gita menaikan kedua alisnya.

Tini sebetulnya senang tiba-tiba Gita jadi banyak bicara lagi padanya, tapi sepertinya kakak sepupunya ini harus melakukan hal yang lebih penting terlebih dahulu.

"Kak mending Kakak mandi dulu deh," cengir Tini, sambil memberi kode agar Gita manoleh ke arah cermin di sampingnya.

Saat melihat pantulan dirinya yang tidak karuan, barulah Gita teringat kembali akan alasannya membolos dan pulang ke rumah.

***

Gita merebahkan diri di kamarnya yang sederhana dengan nuansa biru muda. Ia sudah segar dan bersih setelah mencuci bersih rumbut dan seluruh badan.

Seperti ruangan lain di rumah ini, kamarnya pun tampak tak jauh berbeda, kecuali sebuah benda di meja belajarnya. Tidak ada komputer dengan spesifikasi tinggi yang biasa ia gunakan untuk membuat gambar rancangan bangunan di sana, melainkan sebuah benda klasik berwarna abu-abu.

Mata gadis itu berbinar. Ia beranjak dari kasur dan duduk di kursi belajarnya yang saat ini masih terbilang baru.

Perlahan ... jemarinya menyentuh benda abu-abu di mejanya itu, sebuah radio-tape, dengan barisan kaset pita beberapa band yang populer pada masa ini.

"Ya ampun ... udah lama banget baru nemu kayak ginian lagi!" seru Gita sambil terkikik senang.

Tok. Tok. Tok!

Pintu kamar Gita diketuk.

"Masuk Tin!" seru Gita, karena ia yakin tak ada orang lain selain mereka berdua di rumah.

Tini pun masuk ke kamar Gita sambil senyum-senyum, ia merasa senang bisa mendengar suara ceria sang sepupu.

Gita merasa heran karena Tini tampak seperti sudah merindukan dirinya, padahal justru Gita yang sudah bertahun-tahun tidak melihat sepupunya itu. Gadis yang kembali remaja itu mengira-ngira apakah hal itu berkaitan dengan pernyataan Tini tentang dirinya yang berubah.

'Gue agak lupa ... apa dulu sempet ada perubahan dalam karakter gue saat SMA, semoga Tini bisa memberi beberapa informasi,' pikir Gita.

***

Terpopuler

Comments

novi

novi

/Sob//Sob//Sob/

2025-03-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!