Gita menelan ludah saat sebuah ingatan melintasi kepalanya. Dia mengerjapkan mata, dan dahinya berkedut-kedut akibat berusaha menahan pusing.
Menyerah. Gita akhirnya memilih untuk berbaring.
Namun, penglihatannya tampak bergelombang seolah menatap fatamorgana, sehingga ia harus berpegangan pada sandaran kursi untuk menuju tempat tidur.
"Apa gue migrain ya? Masa inget masa lalu bikin sakit kepala sebelah, sih? Eh atau ini vertigo?"
Gita lalu menekan saklar lampu hingga kegelapan menyelimutinya. Konon kata artikel yang pernah gue baca, kalau sakit kepala, harus berada di ruangan gelap biar agak enakan.
Perlahan, ia pun merebahkan diri di atas kasur, dengan tangan tetap menggenggam secarik kertas berisikan tulisan tangan Denting Hening, hingga membuat kertas itu lecak dan sedikit lembab oleh telapak tangannya yang berkeringat.
"Gue harus tetap memengang benda penting ini, supaya terkoneksi dengan ingatan diri gue di masa ini," gumamnya seraya memejamkan mata. *Astaghfirullah ...*sakit banget kepala gue.
Arus dan gelombang ingatan itu pun datang semakin intens, menerpa ... menariknya ke dalam gulungan ombak kenangan.
Membuat Gita merasa pusing, sesak, serta diliputi kebingungan.
Dahinya berkeringat, padahal kipas angin dalam kamarnya telah berputar dengan kecepatan maksimal.
Perlahan, arus memori itu pun mereda, terurai dan berpencar. Meninggalkan dirinya di dalam sebuah ruangan dengan meja dan kursi, namun terlihat lengang. Tinggal seorang saja yang tengah duduk sendirian di dalamnya.
"Itu kan, gue? Gue yang masih SMA," gumam Gita, dengan suara mengambang di udara.
Gita melihat dirinya yang lain itu, tengah duduk di kursi dengan urutan berbeda dari biasanya. Ruangan itu pun tidak terlihat seperti ruang kelas satu yang ada dalam ingatannya.
"Ah ... ini ruang ujian rupanya, ini ujian kenaikan kelas," gumam Gita yang melihat kertas berisi nomor ujian yang menempel di atas meja.
"Alhamdulillah, selesai juga ujiannya, mumpung kelas udah sepi. Gue mau baca majalah, ah!"
Gita menoleh ke arah suara, yaitu pada Gita belia yang tengah duduk di sana. Ia ingin mendekat dan menyapa. Tapi nalurinya berkata, jika saat ini ... dirinya hanyalah sebentuk 'kesadaran lain' dalam memori yang ia saksikan.
Dengan kata lain, Gita belia tersebut, tak dapat melihat apa lagi berbincang-bincang dengan dirinya.
"Gue ikuti aja dulu ingatan ini, mungkin berkaitan dengan majalah lama dan kertas yang gue temukan," ujar Gita dengan suara yang lagi-lagi bagai mengambang di udara.
Berada dalam ruang memori ini, membuat Gita kembali mengingat, bahwa penulis cerita bersambung bernama Denting Hening di majalah Ceritaku adalah orang yang sama dengan penulis berbakat SMA Pelita yang sempat disebutkan oleh Yuli tadi siang.
"Hah! Rupanya, dulu gue justru langsung kenalan sama si Denting ini setelah upacara bendera yang dibilang sama si Yuli itu. Hadeh ... sepikun itu ya rupanya gue, sampe gak inget pernah ketemu langsung dengan penulis pavorit gue." Gita terkekeh menertawakan kelemahan ingatannya sendiri.
Tiba-tiba Gita belia menutup majalah yang ia baca, dan menoleh ke arah jendela, di mana seseorang tengah melintasi lorong di depan kelas itu.
"Kak Denting!"
Gita belia berseru seraya beranjak dari tempat duduknya, lalu bangkit dan berlari kecil menuju pintu dengan antusias.
Di sana, seorang gadis cantik dengan mata sayu dan tinggi semampai, melambai pada Gita belia. Seulas senyum di wajahnya menambah pesona sang penulis muda.
"Ah iya benar, itu dia Denting Hening. Ternyata benar gue kenal sama dia, keren juga kenal sama author terkenal. Tapi kok bisa bisanya gue gak inget," gumam Gita dengan rasa bangga, haru, sekaligus rindu.
Gita kembali memperhatikan interaksi Gita belia dan Denting di pintu kelas. Mereka tampak akrab dan tengah terlibat percakapan seru, sayangnya pembicaraan mereka sama sekali tidak terdengar oleh Gita.
"Mungkin ... ini obrolan yang gak terlalu penting ya, makanya gue gak bisa denger. Gue rasa yang bisa gue denger adalah hal yang bisa diingat oleh diri gue yang lain." Gita melayangkan dirinya ke dekat kedua orang itu.
Kemudian, Gita belia terlihat mengatakan sesuatu sambil menunjukkan majalah Ceritaku pada Denting, tepat di halaman yang memuat karya gadis cantik itu. Penulis muda tersebut tersenyum dan mengangguk, lalu mengeluarkan secarik kertas serta puplen dari dalam sling bag yang tersampir di pundaknya.
"Oh, iya gue jadi inget momen ini! Gue minta dia kasih catatan dan tanda-tangan buat kenang-kenangan. Mungkin kalau gue udah punya ponsel berkamera, bakalan minta foto bareng," celoteh Gita sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kayak lagi nonton film bisu aja, gak ada suaranya," tukasnya lagi seraya terkikik geli.
Tak lama setelah itu, Denting pun pergi meninggalkan Gita belia yang menatap dengan mata berbinar bahagia. Tapi anehnya perasaan Gita sendiri mendadak menjadi tidak enak.
Gita belia membuka lipatan kertas yang tadi ditulis oleh Denting dan tampak terkejut, rupanya pulpen Denting tertinggal dan berada di dalam lipatan kertas tadi.
Gita belia ingin memanggil, tapi seniornya tersebut sudah berjalan cukup jauh dan mulai berbelok ke arah lain.
Akhirnya, Gita belia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kelas. Dengan tergesa-gesa, ia merapikan tas serta majalahnya. Sebelumnya, tak lupa ia selipkan kertas berharga berisi tulisan tangan idolanya itu ke dalam majalah. Lalu, sambil membawa pulpen milik Denting, ia pun berjalan cepat ke arah sang kakak kelas berjalan tadi.
Gita mendadak gugup.
"Tung - tunggu! Kenapa ... kenapa dada gue jadi berdebar-debar makin kencang gini?" tanya Gita tanpa seorang pun mendengarnya.
Gita merasa nyeri di dadanya ketika Gita belia berlari kecil di koridor demi mengejar sosok Denting Hening.
Kemudian, di kelokan yang sepi, Gita belia berhenti karena melihat punggung Denting. Ia pun memanggil gadis itu dengan semangat,
"Kak Dent—!!"
"Lari!" jerit Gita melihat hal yang terjadi di depan matanya.
Namun—
BRAK!
Ketika Gita ingin berlari meraih Denting, Gita belia justru memundurkan langkahnya dan menabrak tumpukan kursi kayu tak terpakai.
Gita dapat merasakan dirinya yang masih belia begitu terkejut dan ketakutan, tubuh gadis itu terlihat gemetar. Lalu ... berlawanan dengan keinginan Gita dewasa, Gita belia berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan peristiwa yang terjadi di sana.
"Bodoh!" umpat Gita sambil membuka matanya.
Air mata mengalir dari sudut-sudut matanya yang nanar menatap kegelapan kamar.
Ia kembali. Kesadaran Gita telah kembali pada raganya yang terbaring di dalam kamarnya yang gelap.
Ingatan terakhir tadi begitu menyesakkan. Hingga Gita menarik dirinya dari sana sekuat tenaga. Ia merasa ... malu, bodoh dan hina.
"Ternyata ... gue dulu pernah menyaksikan hal kayak gitu," gumam Gita sambil menekan dadanya yang terasa nyeri.
"Kak Denting ... maaf Kak, maafin diri gue yang pengecut ini," isak Gita dengan air mata yang masih deras menganak sungai di pipinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
gaby
Apa denting korban pelecehan guru yg ganteng itu?? Aq lupa siapa namanya, yg ngancem Gita pas dia lg ga sadarkan diri.
2025-04-12
1