Penuturan Yuli yang diiringi suara tawa cempreng gadis itu, membuat Gita mengernyit heran.
Gita mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, kemudian berlari-lari ke halaman di depan gedung empat lantai.
Gita berpikir keras, memeriksa fakta yang dapat terindera olehnya: Bangunan sekolah SMA Pelita dengan model lama, bangunan empat lantai tanpa tanda-tanda keberadaan balkon yang ia desain, juga ... halaman berlantai batu tempatnya terjatuh.
"Ini semua terlalu bersih, bahkan gak ada tumpukan matrial seperti yang gue inget," desis Gita menatap lokasi perletakan semen, split, dan lainnya, yang kini kosong.
Yuli yang mengikuti Gita masih terheran-heran dibuatnya, baginya hari ini Gita tampak sangat aneh.
"Gak! Ini gak mungkin!" seru Gita kala ia menatap cermin full body di salah satu dinding.
Cermin itu biasa dipakai para siswa sebelum melewati meja piket, untuk memeriksa sendiri kelengkapan seragam mereka.
Gita mendekati cermin itu, mengamati pantulan dirinya. Di sini, dengan pencahayaan dari matahari yang benderang, tampak dengan jelas sosok gadis berambut panjang dengan wajah manis berpipi sedikit chubby. Beberapa jerawat berpencar di wajah kuning langsat yang kulitnya masih sangat kencang.
Gita menelan ludah.
Kini matanya turun mengamati seragam yang ia kenakan, sebuah detail menjelaskan pada otaknya, jika yang dipakainya kini bukanlah pakaian pinjaman, melainkan miliknya sendiri.
"Anggita Putri," lirih Gita, mengeja bordiran nama yang terjahit rapi pada kemeja putihnya.
Gita menutup mata, mencoba kembali mencerna situasinya kini.
Seolah sebuah suara spontan memenuhi pendengarannya, lagu itu ... lagu almarhum penyanyi legendaris tanah air.
"Kamu masih anak sekolah, datang ke mari ...."
***
"Udah bangun?" tanya Yuli sambil menarik kursinya mendekat ke bed.
"Gue di mana?" Gita mengerjapkan mata, dan segera duduk.
Yuli mengambilkan Gita segelas air putih yang tersedia di nakas, samping bed. Menyodorkannya pada Gita dan langsung diteguk sampai tandas.
"Di UKS. Tadi tiba-tiba lo pingsan pas lagi ngaca, emang Lo segitu syoknya liat muka sendiri ya, Git?" Yuli terkekeh.
"Ye ngajak ribut ni bocah," desis Gita gemas.
Yuli tampak terkejut, "Waw, Lo bisa berkata kasar?"
Gita merasa heran dengan reaksi gadis di sampingnya ini tapi tak mau ambil pusing.
"Aduh!" Gita meringis akibat nyeri yang kembali menyerang kepalanya.
"Sakit ya? Tadi Lo pas jatuh langsung ke lantai, soalnya gue telat nangkep. Maaf ya." Yuli menangkupkan dua tangannya di depan wajah.
"Lo nyebelin gini ya makanya sampe diiket di gudang tadi?" Gita memicingkan matanya, mengamati gadis berkulit tan yang tampak seperti keturunan India itu.
Lagi-lagi Yuli terlihat kaget, pasalnya Gita yang ia kenal tidak bisa bicara segamblang ini.
Gita menyentuh wajahnya lagi dan meraba keberadaan jerawat di sana.
"Lo ... siapa nama Lo? Oh ... Yuli," jawab Gita sendiri melihat name-tag gadis itu.
Gita menoleh ke jendela, terlihat beberapa siswi melintasi ruang UKS sambil cekikikan, tangan mereka membawa tabloid yang dahulu pernah ia gemari.
"Sekarang tahun berapa?" tanya Gita lagi, rasanya sudah lama ia tak melihat remaja berwajah tanpa make-up dan berseragam dengan sopan, sesuai aturan sekolah.
"Tahun 2004, kan tadi gue udah bilang. Kenapa? Lo mau pura-pura amnesia lagi?" Yuli menyilangkan lengannya di depan dada.
'2004 ... Hah, pantes aja sekolah ini kelihatan jadul, sekaligus familier,' batin Gita.
Gita menghela napas kasar. Setelah melihat tampilan dirinya yang masih remaja di cermin tadi, Gita sedikit percaya jika ia kembali ke masa lalu meski hal itu belum bisa diterima oleh logikanya.
"Gue ... gue anak sekolahan ini, bener kan, ya? Kelas berapa?" selidik Gita.
Yuli mengangguk. "Kelas 2-10."
Gita menelan ludah. 'Itu kan kelas gue dulu waktu SMA, gue duduk di—'
"Kita sekelas!" seru Yuli cepat.
Gita kembali meneliti dengan seksama wajah Yuli. "Gue temen lo?" tanya Gita sangsi, ia tak begitu ingat dengan wajah Yuli meski tidak juga dibilang asing.
Yuli tampak mengigit bibir bawahnya, ragu. Sebenarnya mereka satu kelas sejak kelas dua ini.
Tapi ... Gita itu agak pendiam dan duduk sendirian di tengah-tengah kelas. Mereka nyaris tidak pernah mengobrol. Di kelas pun Gita terlihat lebih suka sibuk sendiri dan jarang berinteraksi dengan teman-teman yang lain, sampai akhirnya menjadi objek perundungan geng Karen.
"Iya kita sekelas, tapi jarang ngobrol. Karena— Eh! Tunggu! Kenapa gue harus menjabarkan hal-hal yang udah jelas, sih?" protes Yuli.
Gita meringis, bingung tentang bagimana dia harus menjelaskan jika dirinya ini adalah wanita berusia 37 tahun yang kembali ke masa lalu, dan tidak semua hal di masa ini masih teringat dengan jelas olehnya.
"Iya-iya gue paham, gue tau kok kalau gue ini korban perundungan karena karakter gue yang ... kurang bisa berkomunikasi, malas bersosialisasi, pendiam dan penyendiri," ujar Gita mendeskripsikan dirinya saat SMA.
Yuli mengangguk, memang Gita seperti itu, namun bagian 'pendiam' sepertinya harus ia coret karena sejak tadi Yuli merasa Gita itu agak cerewet bahkan galak.
'Kok bisa ya selama ini dia diem aja di kelas dengan sifat asli yang bawel dan judes gini?' batin Yuli.
Gita perlahan bisa mengingat Karen dan teman-teman penindas dirinya, mungkin karena tempat kejadiannya mendukung, Gita jadi teringat kembali manusia-manusia dalam kenangan pahitnya tersebut.
Ironisnya justru mereka yang pertama kali ia temui saat kembali ke masa ini. Selain itu dia jadi ingat kembali pada Gio.
"Giordano Afandi," lirih Gita terbayang wajah tampan yang dulu merupakan salah satu crush atau pada tahun ini disebut dengan 'gebetan'.
"Ciye nyebut-nyebut ketua OSIS segala, gue sekarang makin yakin Lo gak amnesia," goda Yuli.
Gita mencebik.
"Oh iya, tadi kenapa Lo diiket di gudang?" tanya Gita penasaran, dalam ingatannya justru dirinya yang terkurung di sana bersama ular berbisa.
Yuli menggaruk kepalanya yang tak gatal, sebenarnya ia tadi sempat berusaha membela Gita yang tengah dirundung oleh Karen dan kawanannya. Tapi dirinya malah mendapat tuduhan-tuduhan aneh dan dikurung di gudang akibat dianggap tidak mau menjawab pertanyaan Karen.
"Tuduhan ... aneh?" Yuli terperangah, ia sempat lupa akan hal yang membuat Gita dirundung.
"Git, Lo pernah melakukan hal yang merugikan Karen gak?" selidik Yuli.
Gita menggeleng. 'Gue gak inget, woy! Udah lama banget kali!' jerit hatinya meronta.
"Lo tau sesuatu tentang lukisan di ruang OSIS?" tanya Yuli yang sekilas mendengar hal itu disebut oleh Karen.
Gita menelengkan kepalanya. "Lukisan di ruang OSIS?" tanya Gita membeo.
'Lukisan apa ya? Seinget gue, dulu gue suka melukis sih, tapi buat hobby aja,' batin Gita.
"Lukisan apa ya?" tanya Gita lagi.
"Ye ... dia balik nanya." Yuli berdecak.
Gita kemudian turun dari bed dan mencari-cari sepatunya.
"Kita ke ruang OSIS! Gue harus tau lukisan apa itu!" seru Gita sambil mengenakan pantofel hitamnya.
Yuli menggaruk kepala, ia benar-benar takjub melihat perubahan sikap Gita yang beberapa jam lalu seperti lemah tak berdaya, tapi kini memancarkan aura yang kuat.
"Oke. Ayo! Hore ... kita bolos dua mata pelajaran!" seru Yuli, seraya menggandeng Gita ke luar dari UKS.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Anyelir
kak maaf terindera itu maksudnya gimana ya?
2025-04-06
1
Iris
jadi kangen masa SMA /Silent//Silent/
ceritanya baguss.. ayo lanjutkan karyanyaaa
2025-03-10
2
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
horeeee
2025-03-19
1