Tidak Menghargai!

"Lukisan-lukisan ini ... karya gue?" gumam Gita tak percaya.

Ia merasa takjub dengan hasil karya yang ia buat saat masih belia itu.

'Waktu gue SMA berbakat banget kayaknya di art. Tapi buat apa ya, dulu gue kasih lukisan sebagus ini ke si Gio?' batin Gita penasaran.

"Git," panggil Gio lirih.

Gita mendongak dan mendapati wajah Gio hanya berjarak sejengkal saja dari wajahnya. Gita menahan napas, jika saja jiwa remajanya masih di sini, mungkin saat ini dia sudah merona dengan degup jantung tak karuan atau melompat-lompat kegirangan.

Tapi kini ia hanyalah wanita 37 tahun yang tidak merasakan getaran lagi terhadap sosok belia lelaki di hadapannya, meski ia akui mungkin akan berbeda jika Gio yang di hadapannya ini adalah lelaki itu dalam versi dewasa dan sudah mapan secara finansial.

Gita mengerjapkan mata, menatap balik dua netra Gio yang berwarna kecoklatan. Sejenak lelaki berwajah tampan itu tampak gelagapan ketika pandangan mereka beradu, tapi beberapa detik kemudian, kening Gio mulai berkerut, dan cuping hidungnya berkedut-kedut.

"Kenapa?" tanya Gita melihat wajah Gio terlihat aneh.

"Kamu ! Kamu pulang gih, mandi!" seru Gio, seraya menjauhkan wajahnya dari Gita.

Hal itu dikarenakan ia tak tahan akan aroma rambut gadis itu yang masih berbau keringat campur jus alpukat dan susu cokelat.

Yuli yang tadinya berdebar-debar seolah akan menyaksikan adegan romansa, kini tak bisa lagi menahan tawanya, sedangkan Gita tampak agak tersinggung melihat Gio mengibaskan tangan seolah berusaha mengusir bau-bauan.

"Ck! Iya, nanti gue izin balik cepet aja deh sama guru," tukas Gita seraya memasukkan kembali lukisan-lukisan ke dalam map.

"Tapi tadi pak Rama mau ajak kita ngobrol sama guru Bimbingan Konseling, kan ... buat jelasin pembullian kita berdua. Emangnya Lo gak mau, Karen dan cewek-cewek jahat itu dihukum?" tanya Yuli.

"Itu ... kalian yakin mau bahas soal itu ke guru?" tanya Gio sangsi.

"Lo aneh, udah tau ada perundungan di sekolah, kok malah diem aja? Aplagi tadi Lo udah tau kalau Yuli dalam bahaya. Ketua OSIS macam apa Lo!" sinis Gita, membuat Gio tercekat.

Lelaki itu terperangah dan masih agak bingung dengan sikap kasar Gita yang ia kenal lembut, irit bicara dan baginya tampak elegan. Sebenarnya ia tadi berniat mencari orang lain yang bisa membatunya menyelamatkan Yuli, tapi belum juga menemukan bantuan, ia sudah keburu melihat pak Rama membantu gadis itu.

"Ish! Malah bengong, coba jelasin alasan kenapa Lo enggak menghukum Karen? Jangan-jangan ... Lo ada hubungan ya, sama si Karen?" Gita berkacak pinggang dan memasang wajah garang.

Gio membuang napas kasar, lalu angkat bicara, "Sebelumnya, dulu seseorang pernah bilang sama saya, kalau sebaiknya perundungan itu jangan diperpanjang, karena khawatir si perundung justru akan semakin bertingkah," tutur Gio.

Gita menggebrak meja, "What?! Orang gila mana yang ngelarang buat menegakkan keadilan soal perundungan?"

Gio memutar bola matanya kesal.

"Kamu Gita ... Kamu yang larang saya. Sejak awal melihat kamu dirundung, saya sudah mau bertindak, tapi Kamu larang karena kamu sudah takut duluan, kalau-kalau mereka malah makin membenci Kamu!" geram Gio.

Ketua OSIS itu sudah gerah dengan perundungan yang dilakukan oleh geng Karen pada Gita, padahal Gita merupakan teman sekelas mereka. Tapi kejadian yang  menimpa Yuli membuat Gio jadi punya alasan untuk menindak para gadis bar-bar itu, tanpa butuh izin Gita.

Gita membeku, ia tak menyangka dirinya yang dulu selemah dan sepengecut itu.

Prok ... prok ... prok!

Yuli bertepuk tangan sendiri, ia tiba pada sebuah kesimpulan mengenai hubungan Gita dengan Gio sang ketua OSIS.

"Oh ... jadi Lo suka sama Gio gara-gara pernah ditolongin ... ups!" Yuli menutup mulutnya yang didesain tanpa saringan.

Gita melotot pada Yuli, sedangkan Gio terlihat membuang wajahnya sambil menyembunyikan senyuman. Ia tak menyangka gadis yang ingin ia lindungi itu ternyata ada hati padanya.

Gio lalu berdehem dan melakukan senam muka selama beberapa detik untuk mengusir senyuman yang masih betah menghiasi wajah tampannya.

"Kalau Kamu mau kasus ini diangkat dengan serius, pasti saya akan usulkan sanksi tegas untuk Karen dan teman-temannya di rapat OSIS," tegas Gio.

"Oke. Gitu dong. Baru namanya ketua OSIS teladan, calon pemimpin masa depan." Gita tersenyum, dan menepuk-nepuk bahu Gio.

Ia bangga pada Gio belia yang ternyata bisa bersikap tegas tapi tetap mempertimbangkan pendapat orang lain.

Sedangkan Gio yang ditepuk bahunya, merasakan dirinya diapresiasi. Ada rasa senang yang agak sulit untuk dijelaskan, menelusup halus dalam benaknya.

'Kenapa rasanya jadi kayak anak buah yang dipuji sama bos?' batin Gio.

"Tapi gue tetep izin pulang aja deh, beneran ini lama-lama gak nyaman banget badan gue. Lengket," ujar Gita.

"Map ini gue bawa ya!" seru Gita memegang erat map berisi lukisan-lukisan buatannya.

"Eh, tapi kenapa Karen kesel sama gue gara-gara ini? Apa dia cemburu sama gue?" Gita melirik Gio.

Sedang yang dilirik tampak acuh, Gio sudah terbiasa sebenarnya menerima pernyataan cinta dari gadis-gadis SMA Pelita, tapi semua ditolak dengan halus.

Gio jadi mengingat-ingat, apakah Karen adalah salah satu dari mereka.

"Ya bisa jadi ya, mungkin Karen pernah liat interaksi Lo sama Gio dan berkaitan dengan lukisan itu," tutur Yuli.

"Hah dasar ABG, soal naksir-naksiran kayak gini aja sampe nyakitin orang lain, padahal cowok yang diributin cuek aja gini," gumam Gita sambil melangkah ke luar ruangan.

"Eh tunggu, siapa yang kasih izin buat ngambil lagi map itu?" cegah Gio.

"Kenapa ... Lo keberatan? Lukisan yang gue buat sepenuh hati buat Lo ini aja, ditinggal di ruang OSIS dan cuma simpen di lemari arsip. Enggak ada artinya kan buat seorang Gio?" serang Gita meradang, ia merasa kasihan pada dirinya sendiri di masa lalu.

Gio menegak ludahnya, ia tercekat. Memang, sekilas meletakkan pemberian pribadi dari seorang gadis seperti yang ia lakukan ini, mengesankan jika dirinya tidak menghargai usaha sang gadis.

"Saya ... punya alasan untuk itu!" tegas Gio, "Saya enggak bermaksud menyepelekan pemberian Kamu, Gita. Maafkan saya jika terkesan begitu di mata Kamu," lirih Gio kemudian.

Gita menaikkan satu sudut bibirnya. "Oke kalau gitu, ini cuma gue pinjem," tukasnya, lalu beralih pada Yuli.

"Yul, gue nitip tas dan tolong mintain izin ke guru kalau gue balik," tukasnya lalu ia benar-benar beranjak meninggalkan ruang OSIS.

"Weh bossy banget si Gita." Yuli geleng-geleng kepala.

Gio pun tak kalah takjub dengan perubahan sikap Gita tersebut.

Sedangkan Gita melenggang dengan santai menuju gerbang sekolah. Gita yang berusia 37 tahun adalah seorang arsitek yang sering bertugas di lapangan. Dia sudah biasa mempertahankan argumen desainnya dalam tim proyek dan juga sudah menjadi makannya sehari-hari untuk memeberi perintah dan arahan pada para staff di lapangan, termasuk para tukang.

Maka dari itu, ia sudah terlatih untuk bersikap tegas dan tidak lembek.

Sampai di gerbang sekolah, ia meminta izin pada guru piket untuk pulang cepat karena merasa tidak enak badan.

Melihat penampilan Gita yang tampak tidak baik-baik saja, membuat guru piket iba dan memberi izin gadis itu pulang.

Gita pun melangkah ke luar gerbang dan menelusuri gang depan sekolahnya. Tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman yang menelusup ke hatinya.

"Gue ... pulang ke rumah, di tahun 2004. Apakah gue bakalan ketemu dia?" gumamnya sendu.

***

Terpopuler

Comments

gaby

gaby

Gita sblm mengulang wkt, di usia 37thn dah nikah blm thor???

2025-04-12

1

🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

ya ampun seru banget/Coffee//Plusone/

2025-03-19

1

novi

novi

Bjir si yuli buka bukaan

2025-03-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!