Berkat seringnya memelototi denah bangunan lama sebagai panduan proyek renovasi SMA Pelita, Gita dapat dengan mudah mengetahui jalur menuju ruang OSIS.
Hal itu semakin membuat Yuli tak menyadari sosok lain dalam diri Gita tahun 2004, yaitu Gita yang terlempar dari tahun 2024.
Hanya saja ... pembawaan diri yang telah berkembang selama bertahun-tahun, sulit untuk kembali ke mode setelan pabrik Gita versi remaja.
Namun tampaknya perubahan karakter yang mendadak pada Gita itu, justru membuat Yuli terlihat senang.
"Git, kenapa Lo kalau sehari-hari gak mode sangar gini aja sih? Gue yakin Karen dan geng-nya gak bakal berani ngerjain Lo!" tutur Yuli sambil mengejar langkah Gita.
Gita menatap Yuli sekilas dengan sudut matanya tanpa berhenti melangkah.
'Masalahnya, gue udah lupa gimana caranya bersikap kayak diri gue yang lama. Tapi gue juga gak tertarik buat dibully lagi kayak dulu,' batin Gita.
"Gimana? Ayo dong, tunjukkin sisi lain diri lo ini, Git! Selain gak bakal dibully, gue yakin banget Gio juga bakal tertarik sama lo!"
Gita berhenti melangkah dan berkacak pinggang. Matanya menyipit.
"Lo ... kenapa bisa menyimpulkan kalau gue minat sama Gio, deh?" selidik Gita.
Yuli mendengus.
"Tau dong! Gue ini pernah liat Lo diem-diem ngirim sketsa si Gio ke redaksi mading sekolah pake nama palsu, dan sketsa karya lo bikin fans Gio heboh plus kepo maksimal buat cari tau identitas si pembuat sketsa!"
Gita melongo, ia benar-benar lupa momen memalukan ketika ia jatuh cinta saat SMA.
"Hahaha, pasti Lo gak nyangka kan, kalau gue tau rahasia lo," ujar Yuli bangga.
"Yul, Lo nge-fans sama gue ya?" Gita jadi curiga.
"Dih ge-er! Gue tuh care sama Lo, meski susah banget buat bisa deket sama lo di kelas."
"Lo kasian sama gue gegara jadi korban bully?" tanya Gita, sebenarnya dia tak suka dikasihani.
"Iya. Wajar kalo gak cuma gue yang kasian sama lo, temen-temen yang lain juga. Tapi ragu buat maju, karena dari diri lo sendiri kayak ga mau menerima bantuan ataupun kehadiran orang lain," ujar Yuli panjang lebar.
Gita terperangah. Ia tak menyangka teman-temannya saat SMA dahulu, ternyata peduli padanya. Ia jadi ingat kalau dirinya memang agak menjaga jarak dari orang lain.
Gita berdehem.
"Oke. Mulai sekarang, yang akan ada si SMA Pelita bukan lagi Gita yang korban bully, tapi Gita yang sangar. Puas Lo Yuli...?" deklarasi Gita seraya menaik turunkan alisnya.
Yuli mengacungkan jempolnya sambil tersenyum senang.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan menuju ruang OSIS yang terletak di salah satu bangunan yang memuat ruang-ruang kegiatan ekstrakurikuler.
***
"Dikunci gak?" tanya Yuli.
Mengingat semua siswa sedang belajar di kelas, Yuli rasa pasti tak ada orang di ruang OSIS itu.
Gita kemudian mencoba membuka pintu kayu geser itu, dan tak berhasil.
Saat Yuli berpikir misi mereka gagal, tiba-tiba ia melihat Gita berjongkok dekat pintu dan menggeser pot bunga. Kemudian gadis itu berusaha membuka sebuah bata tempel di sana.
"Lo ngapain Git? Nyari telor cicak?" tanya Yuli heran.
Gita mendecih sebal, dan tetap melanjutkan aksinya sampai....
Krek.
Bata itu tercongkel dan menampilkan lubang pada dinding, membuat Yuli terperangah.
"Wow, tau dari mana Lo ada tempat rahasia di situ? Padahal kan Lo bukan anak OSIS!" seru Yuli heboh.
Sttt!
Gita menyuruh Yuli untuk diam. Lalu, dengan santainya Gita kemudian mengambil sebuah kunci dari dalam sana dan menutup lubang itu kembali seperti sedia kala.
Meski penasaran, Yuli menahan diri untuk tidak menginterogasi Gita saat ini juga.
Gita menyembunyikan senyumnya, tentu saja ia tau soal tempat rahasia itu. Karena saat hendak mengganti fasade bangunan organisasi siswa ini, sang tukang yang bertugas membobok tembok terkejut mendapati sebuah kunci di sana.
Tukang bangunan itu melapor pada Gita yang memang salah satu orang bertugas mengawasi proyek. Gita awalnya bingung, namun akhirnya mencoba menggunakannya, untuk membuka pintu di dekat tempat penemuan kunci, dan ternyata berhasil.
Klek!
Anak kunci berputar, lalu Gita menggeser pintu itu hingga terbuka dan memasuki ruang OSIS tersebut.
Yuli mengatur napasnya, ia merasa gugup. Seolah tengah melakukan tindak kriminal karena memasuki ruang OSIS yang terkunci tanpa izin pengurusnya.
Sedangkan Gita cuek saja melenggang di dalam ruangan yang seperti sebuah kantor namun dengan furniture kayu sederhana seperti yang ada di ruang kelas pada umumnya.
Bedanya, di sini terdapat lemari arsip dan sebuah komputer.
"Di mana lukisannya?" tanya Gita.
Yuli mengangkat bahu. "Gue gak tau, cuma denger Karen nyebut-nyebut lukisan di ruang OSIS aja. Lo sendiri inget sesuatu gak soal itu?"
Gita duduk di salah satu meja di sana dan berpikir, sayangnya ia tidak terlalu ingat soal itu.
'Apa yang dilakukan oleh diri gue di masa lalu soal sebuah lukisan ya? Gue harus lihat dulu lukisannya, mungkin akan ada ingatan yang muncul,' pikir Gita dalam diamnya.
Gita bertutur, "Iya bener gue suka melukis, tapi gak tau apakah yang dimaksud sama Karen itu adalah lukisan gue atau bukan, dan kenapa dia harus marah soal lukisan?"
"Lo melukis di buku sketsa lo kan? Coba cek ulang aja mungkin ada petunjuk, gimana?" usul Yuli sambil duduk di salah satu kursi kayu.
"Buku gue di kelas, males ah balik ke kelas dulu. Rambut dan baju gue kotor gini, lagian nanggung banget udah bolos malah masuk kelas di tengah pelajaran," tolak Gita.
Yuli terkekeh, dia benar-benar suka dengan sisi lain Gita ini.
Gita mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja kayu. Ia memang melukis di buku sketsa dengan jenis kertas yang bisa digunakan untuk cat air, dan seingatnya ia tidak melukis di tempat lain.
"Kalau lukisan gue ada di sini, berarti ada kertas yang disobek dari buku dan disimpan di sini. Kenapa harus disobek, dan kenapa bisa ada di ruang OSIS? Apa hubungannya juga sama Karen? Hah! Gue gak ingat. Apa coba tanya Gio?"
"Iya ya, Gio kan ketua OSIS." Yuli mengangguk setuju.
"Ada apa nyebut-nyebut nama saya? Dan kalian ... gimana caranya bisa masuk ke sini?" tanya Gio yang tiba-tiba masuk ke ruang OSIS.
Yuli langsung berdiri dari kursi pengurus OSIS dan ketar-ketir takut menerima hukuman akibat menyelinap ke wilayah Gio.
Ia melirik Gita, dan matanya membulat melihat Gita acuh saja dengan kehadiran Gio.
"Oh, halo Gio. Maaf ya, kami masuk gak bilang dulu, darurat soalnya," tutur Gita sambil turun dari meja dan menghampiri Gio yang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Sedarurat apa sampe menyusup ke ruang kerja OSIS?" tanya Gio dingin.
Gita tak gentar, ia malah merasa lucu dengan Gio. Bila bagi Yuli sosok Gio penuh wibawa, tapi bagi Gita, Gio hanya seorang bocah SMA yang merasa dunianya diusik.
"Kita ngobrol sambil duduk ya," ujar Gita lalu balik badan dan duduk di salah satu kursi.
Gio masih tak bergeming, ia sedikit tersinggung karena Gita tak nampak bersalah oleh tegurannya barusan.
"Duduk," titah Gita menunjuk sebuah kursi tepat di sebelahnya.
Yuli mengamati interaksi dua orang di hadapannya dengan perasaan ganjil, namun ia tak protes dan hanya kembali duduk untuk menyimak obrolan Gita dan Gio.
Mendengar Gita berani memerintahnya, Gio membuang napas kasar namun tetap duduk di kursi yang ditunjuk Gita.
"Oke jelasin!" titah Gio dengan dingin.
Gio yang izin di tengah pelajaran, tadinya berniat ke ruangan OSIS ini untuk mengambil marker miliknya yang hendak ia pakai, tapi melihat situasi bersama dua gadis ini, Gio sangsi akan bisa kembali lagi ke kelas dengan segera.
"Gue mau nanya serius," tanya Gita menatap lurus netra Gio.
"Lo tau soal lukisan di ruangan ini?" tanya Gita to the point.
Gio mengangkat alisnya. "Lukisan itu? Atau yang itu?" tanya Gio sambil menunjuk lukisan Cut Nyak Dien dan R.A Kartini secara bergantian.
Gita memutar bola matanya dan berdecak kesal. Memang tidak ada yang salah dengan respon Gio, tapi bukan itu jawaban yang ia inginkan.
"Bukan itu, tapi lukisan yang bisa bikin siswa bermasalah jadi ngamuk dan membully orang, ada gak lukisan kayak gitu di sini?" tanya Gita lagi, kini dengan lebih rinci.
Gio melempar pandangannya ke arah pintu.
"Oh ... jadi Kamu tadi dibully Karen gara-gara lukisan di ruangan ini?" Gio mengambil kesimpulan dengan kalem.
"Nah, itu tau. Eh tapi, Lo selama ini tau kalau Gita dibully?" tanya Yuli yang mulai kembali santai.
Yuli jadi kesal karena ketua OSIS ternyata tahu ada siswa yang dibully tapi tidak memberi tindakan apapun.
"Saya baru tau tadi, dan saya udah berencana bawa kasus pembulian ini ke rapat OSIS nanti," tukas Gio.
"Oke balik lagi ke soal lukisan," ujar Gita, "jadi ada ya, lukisan yang tadi gue bilang?"
Gio tak menjawab, lelaki tinggi itu malah berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari arsip. Di sana, ia mengambil sebuah map dan memeriksa isinya sekilas, lalu kembali menghampiri Gita dan berdiri di hadapan gadis itu.
"Ini. Ini punya Kamu, kan?" tanya Gio retoris seraya menyerahkan map berwarna orange tersebut.
Gita mengambil map dari Gio, perasaannya mendadak menjadi tidak enak, kepalanya terasa pening.
Gita memejamkan mata dan mengatur napasnya, seolah bersiap untuk sesuatu yang membutuhkan kekuatan mental.
"Bismillah," lirihnya, kemudian memulai membuka map.
Sreeet.
Map itu pun terbuka.
Terpampang di hadapan Gita, isi map tersebut yang merupakan tumpukan kertas sketsa. Di bagian paling atas, sebuah lukisan dengan warna merah dan hitam ... memenuhi penglihatan gadis itu.
Lukisan itu membuat Gita mual.
Gio pun duduk kembali di kursi sebelah Gita, menatap gadis berwajah ayu itu lekat.
"Gita ... lukisan-lukisan ini, Kamu yang kasih sendiri ke saya. Kamu lupa?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
novi
kira² kalo alurnya udh di ubah di masa lalu, bakalan ngaruh ga ya ke masa depan gita? dia ini bakalan balik lagi atau bakalan tetap melanjutkan dirinya di masa laku sampai ke masa depan lagi? atau ada misi tersendiri mangkanya dia balik ke masa lalu?
2025-03-20
2
gaby
Ko Gita aneh ga inget apa2 tentang masa2 Sma. Padahal usianya 37th bukan usia lansia yg mulai pikun. Kecuali kejadian wkt dia usia 5thn wajar kalo lupa. Ini kejadian wkt SMA loh, masa iya lupa sama skali
2025-04-12
1
Nurhasanah Nurhasanah
hayang uing mah balik deui kitu teh eung.
2025-04-12
1