"Astaga..." gumam Sean perlahan sadar. "Sean! Apa kau baik-baik saja?" tanya Jiali yang menjaganya.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Sean lemah. Perlahan ia mengubah posisinya menjadi duduk. "Kau dan Joy terkena serangan seorang pria asing" jawab Jiali memberitahunya.
"Astaga, Joy! Di mana Joy? Bagaimana keadaannya?!" tanya Sean panik. "Dia masih belum sadar" jawab Jiali menoleh pada sebuah sudut.
Sean turut menoleh dan mendapati Joy terbaring di sana. "Aku payah sekali, aku membiarkannya terluka" gumam Sean menunduk dalam.
"Tenang saja, dia baik-baik saja sekarang" ujar Jiali terkekeh. "Ange di mana?" tanya Sean penasaran.
"Ange? Bocah bermata emas itu?" tanya Jiali memastikan. Sean mengangguk. "Dia diwawancara Daisuke untuk memberi kesaksian terkait pria tadi" jawab Jiali segera.
"Sean..." Joy bergumam pelan namun matanya masih terpejam. Perlahan matanya terbuka. "Astaga, di mana ini?" tanya Joy setelah ia tersadar.
"Rumah sakit. Apa luka yang kau terima masih perih?" tanya Jiali memastikan. "Seharusnya luka yang kuterima adalah luka dalam" jawab Joy lemah.
"Tenang saja, aku sudah mengetahuinya tadi" ujar Jiali seraya tersenyum. "Terimakasih, dokter" gumam Joy menatap gadis itu.
Beerapa saat setelahnya, Arabella tiba di rumah sakit. Namun karena masih ada beberapa pemeriksaan, Sean dan Joy terpaksa absen keesokan harinya.
"Aku... menghajar pria itu?" gumam Sean terkejut setelah mendengar penjelasan Joy mengenai apa yang dilihat Joy malam itu.
"Seluruh tubuhmu dipenuhi aura biru. Kau sangat berbeda dari awal" jawab Joy membenarkan.
Sean tertegun mendengarnya. Perlahan, beberapa hal yang tidak ia ketahui tentang dirinya mulai muncul.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Aku pergi ke toilet sebentar" Sean beranjak dari tempat tidurnya perlahan. "Berhati-hatilah" pesan Joy tahu maksud kepergian temannya itu.
Sean mulai berjalan dengan tatapan kosong. Ia melewati beberapa lorong, dan baru saja berpapasan dengan orang-orang yang menatapnya aneh.
Hingga langkahnya terhenti ketika, "Astaga... lagi-lagi murid Marito terkena masalah? Dia tidak kapok, yah? Menurutku di antara semua muridnya, hanya Zoe yang jadi berhasil. Orang tua bocah berbakat itu seharusnya tidak menitip putra mereka pada Marito. Dia itu membawa kesialan bagi banyak orang"
Sean mematung mendengarnya. Kini ia memikirkan Marito. Perkataan menyakitkan itu, membuat sesuatu di hati Sean bergejolak.
"Aku juga heran dengan jalan pemikiran orang tuanya. Kenapa mereka tidak menitipkannya pada orang seperti Chloe yang lebih kuat? Pada dasarnya dia itu perempuan, kastanya akan selalu berada di bawah laki-laki sekalipun dia sangat kuat"
Sean mengepal tangannya menahan amarah.
"Aku hanya sebagai saja pendengar tidak terima guru digosipkan pada hal tidak baik. Bagaimana jika aku menjadi guru sendiri? Mendengar percakapan dua perempuan yang membicarakannya dan bahkan aku tidak tahu apakah dia lebih baik dari guru sendiri"
Sean mengerutkan keningnya. Ia berusaha menahan amarah yang timbul di hatinya. Dia harus menahan diri, jika tidak nama Marito akan semakin jelek.
"Jika kalian hanya membicarakan hal tidak penting, lebih baik pulang saja. Kalian senang sekali membicarakan hal buruk tentang orang lain!"
Sean bisa mendengar seseorang membantah mereka dengan sangat ketus. Suara itu asing di telinganya.
"M-Maaf, nona. Kami akan kembali bekerja"
Sean memperhatikan kepergian dua perempuan tadi. Tampaknya mereka bekerja sebagai perawat di rumah sakit. "Sean" panggil seseorang mengejutkannya.
Ia berbalik badan. "Oniisan?"
Beberapa saat,
"Jadi kau sudah tahu citra Marito yang buruk?" tanya Daisuke setelah mendengar keluhan bocah yang kini ia bawa dengan kursi roda.
"Mereka seharusnya menyadari kontribusi besar yang guru lakukan!" ketus Sean kesal. "Manusia memang begitu, bocah. Mereka akan memandang buruk seseorang ketika ia melakukan satu kesalahan, dan mereka akan melupakan seribu kebaikan yang telah ia lakukan untuk mereka"
Sean tertegun mendengar ucapan itu. "Mereka mengira Marito hanya menikmati sihir mata barunya, dan berpikir bahwa Marito menjalani hidup tanpa rasa bersalah yang mendalam" gumam Daisuke terkekeh.
"Apa kesalahannya sebesar itu? Sampai banyak orang menyudutkannya?" tanya Sean dengan ekspresi murung. Daisuke diam beberapa saat.
Namun ia tersenyum. "Ia hanya bersikap ceroboh" jawab Daisuke terkekeh.
Suasana kembali diam. "Ahk iya. Oniisan bilang, skor oniisan dan guru tidak berbeda jauh. Apa kalian masuk akademi di tahun yang sama?" tanya Sean penasaran.
"Tidak, aku setahun lebih awal masuk akademi" jawab Daisuke segera. "Lalu kenapa oniisan menyebut kalian lima besar?" tanya Sean terheran.
"Itu hanya lima besar skor tertinggi di lulusan kami" jawab Daisuke terkekeh. "Begitu ternyata" gumam Sean akhirnya hal yang membuatnya penasaran kini terjawab sudah oleh penjelasan singkat Daisuke.
"Oniisan, apa yang harus kulakukan agar citra guru membaik?" tanya Sean ragu. Daisuke terkejut mendengarnya. Pemuda itu kembali tersenyum simpul.
"Cukup dengan kau rajin belajar, lulus dalam waktu singkat, dan melatih bakatmu, itu sudah membangun citra baiknya"
Sean menatap Daisuke tertegun. Setelahnya ia tersenyum antusias. "Akan kubuktikan!"
Sorenya, Sean dan Joy berpisah. Mereka dijemput, setelah surat pernyataan mereka dirawat jalan diberikan. "Besok-besok, jangan bepergian di malam hari tanpa orang dewasa yang menemanimu" pesan Marito membawa Sean pulang.
Bocah itu tampak masam karena gurunya memaksanya menggunakan kursi roda. Sejujurnya kaki Sean tidak sakit, tapi sepertinya Marito tidak mau bocah itu hilang dari pandangannya.
"Aku lupa belum mengucapkan terimakasih pada Ange" gumam Sean baru ingat. "Besok di akademi kau bisa mengatakan hal itu padanya" saran Daisuke segera.
Namun berbeda dengan Daisuke yang biasa-biasa saja mendengar nama Ange, Marito sebaliknya.
Sean tentu semakin penasaran. Rahasia apalagi yang belum ia ketahui?
Malamnya, suasana rumah dinas terasa lengkap. Tidak ada yang bekerja sampai larut malam. Semua bisa beristirahat dengan tenang malam itu.
"Jangan terlalu lama" pesan Marito mengetahui Sean yang akan belajar malam itu. "Baik" sahut Sean.
"Akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak malam ini" gumam Chloe menuju kamarnya. "Jiali, apa yang kau lakukan?" tanya James terheran ketika Jiali tampak mengotak-atik sesuatu.
"Aku akan melanjutkan rajutan syalku sejenak" jawab Jiali masih sibuk mencari syal yang sudah setengah jadi ia rajut. "Hoam" gumam Daisuke menguap.
"Selamat malam semua" pesan Daisuke menuju kamarnya. "Aku juga mau tidur, rasanya sangat melelahkan" Zoe mengekori Daisuke.
"Baiklah, sepertinya aku juga butuh istirahat setelah beberapa hari tidak tidur" gumam Marito menuju kamarnya. Setelah Marito berlalu, "Wajar saja dia mengantuk sekali.. dia sering tidak tidur lebih dari 2 hari," gumam James terkekeh.
"Kau ingin merajut syal merah itu untuk siapa?" tanya James sangat penasaran. "Seseorang" jawab Jiali sibuk merajut syal tersebut.
"Katakan saja! Apakah aku?"
"Tidak"
"Daisuke?"
"Tidak"
"Marito? Dia sahabatmu, sudah pasti dia"
"Salah"
"Heh? Kalau begitu Zoe!"
"Kurang tepat"
"Apa? Artinya Sean! Sejak bocah itu di sini, dia jadi orang favoritmu bukan?"
"Benar, tapi bukan dia orangnya"
James menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Karena sama-sama berprofesi sebagai dokter, James banyak curhat dan bercerita pada Jiali.
Begitu juga sebaliknya. Apalagi masalah percintaan, James akan sering bertanya pada Jiali mengingat sahabatnya tersebut seorang gadis feminim.
Jika berbicara soal percintaan pada Marito yang juga perempuan, itu hanya membuang waktu. Gadis itu sangat cuek pada masalah percintaan.
"Chloe?" tanya James hampir melupakan nama Chloe. Jiali tidak menjawab. "Dia bukan?!" tanya James lagi menjadi lebih antusias.
"Kecilkan suaramu! Kau bisa membangunkan yang lain!" pekik Jiali panik. "Hahaha. Ada perihal apa kau memberikan syal tersebut?" tanya James penasaran.
Jiali menghela nafas. "Dia itu sering flu. Aku akan menghadiahkan syal ini"
James menatap Jiali tertegun. "Jia, kau sedang... jatuh cinta bukan?" tanya James tanpa sadar. Jiali menatap James terkejut dengan pipi memerah.
"Akhirnya! Berjuanglah! Kau harus merebut hatinya!" tutur James lebih antusias.
Jiali tersenyum lembut. "Aku tidak akan melakukan banyak hal, karena melihatnya bisa tersenyum itu sudah lebih dari cukup"
James tertegun mendengarnya. "Kenapa kau berpendapat seperti itu?" tanya James terheran. "Mengingat dia seorang intelijen, dan aku seorang dokter di instansi militer... kecil kemungkinan untuk memikirkan hal romantis" jawab Jiali bangkit, ketika ia mulai merasa ngantuk.
James menatap punggung Jiali. "Baiklah, aku akan mendukung segala keputusanmu dan menghargainya" gumam James paham maksud gadis itu.
"Tolong jangan beritahu padanya"
"Tentu saja, nona"
Di kamar Marito, "Siapa di jendela?" gumam Marito terbangun dari tidurnya.
Ia mendapati ada suara ketukan di jendelanya. Gadis itu membukanya segera. "Eh? Ritter?" gumam Marito terkejut mendapati seekor burung hantu sedang terbang dengan sebuah surat di kakinya.
Beberapa saat,
"Boulevard memang menyusahkan" gumam Marito mulai membuka surat yang dibawa burung itu.
Halo, Leon !
Sebelumnya terimakasih karena kau sudah dengan sigap mengerjakan 'misi' dariku. Baguslah jika kau sudah tahu aku masih hidup. Tapi kau salah, aku hidup sendiri. Aku juga terkejut ketika tahu kau memiliki seorang murid sekarang. Tidak salah jika banyak orang menjulukimu sebagai Harimau Biru, kau benar-benar ganas dan menakutkan seperti Harimau.
Aku sudah membaca laporanmu. Ahk ya, terimakasih sudah merawat Ritter saat ia di sana. Tampaknya burung hantu kesayanganmu ini semakin gemuk. Terkait laporanmu, aku mengapresiasi kerja kerasmu. Kau menyelesaikannya dalam waktu singkat.
Namun ada hal lain yang juga harus kau awasi secara berkala, Leon. Terkait muridmu dari klan Fawn itu. Ritter menangkap energinya di sekitar Panzer kemarin. Aku tidak tahu apakah dia masih di sana. Dia tidak hanya dicari negaramu, tapi juga De Oranje.
Aku hanya khawatir dia akan melakukan serangan. Hanya dengan mengeluarkan 10% kemampuannya, dia bisa membuat Panzer rata seorang diri. Itu menakutkan. Jangan khawatir, aku akan membantumu mencari informasi keluarganya.
Terimakasih sudah membantu. Jaga kesehatanmu dan jaga Ritter selama di sana !
^^^Salamku,^^^
^^^Boulevard^^^
Marito menyimpan surat itu segera. "Malam ini aku akan beristirahat, besok barulah kita mencarinya" Marito kembali ke ranjangnya.
"Kau pasti sangat ketakutan di luar sana, Ainsley"
...****************...
"A-Ahk, aku hanya kebetulan lewat. Tapi sama-sama, dan terimakasih kembali" jawab Ange terkekeh ketika mendengar ucapan terimakasih dari kedua juniornya.
"Sebagai imbalannya, kami akan mentraktir dirimu makan siang" ujar Sean antusias. "Astaga, tidak perlu!" jawab Ange menghela nafas memaklumi.
Namun pada akhirnya, kedua juniornya memaksanya untuk makan siang bersama. "Heh? Bagaimana bisa kau keluar asrama di malam hari?" tanya Joy terkejut.
"Sttt" Ange tentu panik jika ada orang yang mendengar rahasianya. "Ya ampun, kau pasti melakukannya setiap malam" ledek Sean dengan ekspresi jahil.
Ange menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Habisnya di asrama itu kadang rasanya seperti tidak ada kehidupan" keluh Ange segera.
"Bagaimana bisa kalian tidak masuk asrama?" tanya Ange penasaran. "Kakak perempuanku mengajukan surat permohonan" jawab Joy segera.
"Lalu, Sean?" tanya Ange lagi. "Aku punya surat rekomendasi" jawab Sean menikmati makan siangnya.
"Keren sekali! Yang mempunyai surat rekomendasi itu hanya orang-orang yang pernah ikut misi militer, tahu!" ujar Joy terkejut mendengarnya.
"Aku pernah diajak guru mengerjakan misinya karena merengek" jawab Sean terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Gurumu pengertian sekali" puji Ange ikut tertawa kecil mendengarnya. "Sayangnya dia tertutup" jawab Sean menatap lurus.
"Beberapa anggota militer, khususnya anggota pasukan elite atau intelijen... pasti sifat mereka akan berubah, dari yang super ceria bisa jadi super dingin" ujar Joy tampak sudah terbiasa mendengar hal tersebut.
"Oh, ya? Bagaimana kau tahu?" tanya Ange terheran sambil ia menikmati makan siangnya. "Kakak jadi dingin sejak dia masuk pasukan khusus" jawab Joy seakan merenungi sesuatu.
"Sudahi saja. Jika kita makan siang dalam suasana aneh begini, pasti tidak menyenangkan"
Setelah makan siang, mereka melanjutkan kegiatan belajar. Sore harinya mereka kembali. Ada siswa yang kembali ke asrama, dan ada juga kembali ke rumah.
"Melelahkan, rasanya aku ingin sekali minum teh" keluh Joy berjalan dengan malas. "Tahan sebentar, rumahmu sudah semakin dekat" gumam Sean terkekeh.
"Kakakku sedang tidak di rumah, ayo minum teh" ajak Joy mendadak antusias. "Maaf, Joy. Sehabis pulang dari sini aku langsung latihan dengan guru" Sean menolak dengan sopan.
"Tampaknya kau sangat sibuk" gumam Joy memaklumi. Setelah beberapa saat perjalanan, mereka akhirnya berpisah satu sama lain.
Sean sebenarnya merasa lelah. Pelajaran hari ini benar-benar menguras tenaga berpikirnya.
"Aku pulang" gumam Sean memasuki rumah. "Selamat datang" sambut Zoe baru saja selesai mencuci alat-alat memasak.
"Di mana yang lain?" tanya Sean terheran dengan suasana sepi di rumah. "Kak Chloe dan kak James pergi mengirim surat. Oniisan dan kak Jiali pergi membeli beberapa bahan makanan yang sudah habis"
Sean meletakkan sepatunya pada rak. "Guru di mana?" tanya Sean teringat gurunya. "Di ruang perpustakaan" jawab Zoe mengeringkan alat-alat masak yang sudah ia cuci. "Pergilah berganti pakaian" perintah Zoe.
"Baik" gumam Sean berjalan menuju kamarnya. Sean menuju kamarnya dan mulai berganti pakaian. Ia meletakkan tas nya di atas meja.
Perhatiannya beralih pada sebuah bingkai foto berisi dirinya yang berpose dengan Marito.
"Citra... baik?"
Beberapa saat,
"Hoam" gumam Sean menguap. "Belum waktunya beristirahat, nak" ujar Marito baru saja tiba di ruang tamu. "Guru lama sekali, apa yang guru lakukan di sana?" tanya Sean terheran seraya mengeluh.
"Urusan pekerjaan" jawab Marito berjalan menuju laci. "Kau lapar? Makanlah terlebih dahulu" saran Marito membalut sebuah luka di tangannya.
"Tangan guru terluka?" tanya Sean terheran. "Hanya goresan biasa" jawab Marito dengan santai. Sean menghela nafas. "Aku tidak mau memuntah isi perutku, jadi aku rasa lebih baik latihan dulu"
Marito menatap kepergian Sean menuju halaman belakang. "Ada apa dengannya?" gumam Marito terheran. Beberapa saat setelahnya, Marito melatih Sean seperti jadwal biasa.
Muridnya kini berbeda, ia tampak serius. "Bawah !" batin Sean hampir berhasil menyerang bagian bawah. Namun, "Aduh!" gumam Sean merasakan sakit di punggungnya. Namun ia segera menghindar.
"Refleknya ?!" batin Marito terkejut. Sebuah serangan datang, dan Marito mengelaknya.
"Sepertinya pertarungan mereka sengit" ujar Daisuke di samping Zoe yang menonton. Zoe mengerutkan keningnya memperhatikan sesuatu.
"Sedikit lagi!" gumam Sean kesal ketika ia gagal menyerang gurunya. Bocah itu menangkis serangan gurunya. "Sepertinya kau tidak perlu belajar, tampaknya kau antusias untuk latihan seperti ini" ujar Marito menunjukkan mata biru menyala.
Sean bersiap. "Imunnya sama seperti Daisuke. Maka yang kulakukan adalah menguji seberapa besar energi dan stamina tubuhnya"
Marito kembali menyerang Sean. Bocah itu menyerang dan menangkis setiap serangan.
"Tekanannya besar sekali! Apakah guru..."
"Menggunakan sihir matanya, untuk menambah besar serangannya?!"
Bocah itu berhenti sejenak, sambil memperhatikan langkah Marito. Marito kembali menyerang.
"Apa yang dilakukannya? Kenapa dia justru hanya menangkis?" tanya Zoe terheran. "Dia pasti mencoba menghapal gerakan gurunya tersebut" jawab Daisuke tersenyum.
Setelah beberapa saat, "Dapat !" batin Sean menemukan bagian yang bisa ia serang. Ketika tangannya hampir sampai menyerang.
"Cepat sekali !" batin Sean terkejut ketika Marito berhasil menjatuhkannya.
"Masih butuh 100 tahun lagi agar kau bisa mengalahkanku, nak" Marito menahan bocah itu yang mencoba memberontak.
"Leon tidak boleh lengah, sepertinya bocah itu tampaknya semakin kuat" gumam Daisuke tersenyum misterius. "Mungkinkah ?!" batin Marito terkejut.
Sean terus mencoba melawan gurunya. Dan pada akhirnya. "Baiklah, aku... menyerah" Sean terkekeh.
Marito menghela nafas memaklumi. Ia melepas Sean. Dan matanya kembali seperti semula.
"Sudah, latihan hari ini cukup. Bersihkan dirimu dan segera istirahat" perintah Marito berjalan lebih dulu.
"Baik" gumam Sean menatap punggung gurunya yang semakin jauh dari pandangannya. "Kakek ?!" batin Sean terkejut ketika melihat bayangan orang yang begitu ia kenal. Ya, kakeknya- Earnest.
"Ada apa?" tanya Marito menyadari Sean yang justru terdiam di tempat. "A-Ahk, tidak ada" jawab Sean segera menyusul dan menyamakan langkahnya.
Malamnya, Sean sudah tertidur di kamarnya. Jiali masih asyik merajut, Chloe tidak pulang, James menginap di rumah Jane, Zoe juga sudah tidur, dan yang tersisa hanya Daisuke yang bersantai membaca buku.
"Apa dia sudah tidur?" gumam Daisuke beranjak menuju ruang perpustakaan. Marito pulang lebih awal hari ini, dan dia hanya berdiam diri di ruang perpustakaan. Begitu juga malam ini.
"Sehabis membersihkan diri dari keringat di tubuhmu, kau tidak memutuskan tidur?" tanya Daisuke memperhatikan Marito dengan beberapa buku berhalaman tebal, sedang menulis sesuatu.
"Aku sudah tidur nyenyak sebelumnya" jawab Marito tanpa menoleh. "Jiali juga masih merajut, aku tidak tahu untuk siapa ia berikan syal itu" gumam Daisuke duduk di sebelah Marito yang sibuk.
"Kau tidak tidur? Besok pagi buta kau harus bergegas ke stasiun bukan?" tanya Marito terheran. "Tidak" jawab Daisuke mengambil salah satu buku.
"Buku... sejarah? Sebenarnya apa yang sedang kau susun? Kenapa kau tidak bertanya pada Shawn? Dia arkeolog seharusnya dia tahu" Daisuke terheran.
Marito adalah orang yang paling rajin membaca di antara mereka, tapi dia lebih sering membaca buku seputar ilmu sains, politik, dan buku berisi kritikan.
Dia tidak menyukai buku sejarah. Baginya buku tersebut hanya akan mempersulit akal sehatnya, karena menurutnya, sejarah dapat dikarang dan diputar balikkan.
"Hari ini aku mengirim surat balasan pada Boulevard"
"Apa?!"
Di sisi lain,
"Arie, kau tidak tidur? Sejak tadi kau hanya membaca" ujar Earnest memperhatikan ajudannya yang masih asik membaca buku.
"Aku menerima surat balasan, komandan" jawab Arie menoleh seraya memberikan sebuah amplop.
Earnest mengangkat sebelah alisnya. Ia menerima amplop tersebut dan membukanya.
Hi, Boulevard !
Sebelumnya terimakasih atas apresiasi, sekaligus laporan terbaru mengenai muridku. Aku akan menanganinya. Namun ada sesuatu yang perlu aku beritahu. Akhir-akhir ini beberapa raksasa datang menyerang ibu kota. Aku masih mengumpulkan informasi, karena raksasa itu terakhir kali muncul 11 tahun lalu. Sepertinya ini berkaitan dengan catatan rahasia milik kakak. Aku akan berusaha mengumpulkannya dan mengirimnya padamu.
Mungkin itu yang dapat kusampaikan. Tenang saja, aku sudah memberi Ritter bekal yang banyak. Tolong jaga dirimu, dan kuharap kita bisa bertemu.
^^^Salamku,^^^
^^^Leon^^^
"Kebiasaannya bertindak cepat dan teliti memang tidak berubah, tidak salah aku mengirim Sean padanya" ujar Earnest tersenyum senang setelah membacanya.
"Sean sepertinya berbahagia bersamanya. Bocah itu dijaga ketat olehnya" gumam Arie terkekeh dan menutup bukunya segera.
"Kenapa kau tidak mencoba menghubungi Daisuke juga?" tanya Earnest terheran. "Dia pasti sudah tahu dari Leon, hanya saja ada hal lain yang membuatku memilih untuk tidak menghubunginya" jawab Arie terkekeh. "Untung hanya mereka yang tahu nama pertamamu. Kadang aku takut Sean membocorkan identitas kita pada mereka"
Ya, Arie sebenarnya memiliki nama lengkap Boulevard Arie Fedde. Hanya saja, Marito dan Daisuke lebih sering mengenalnya sebagai Boulevard daripada Arie.
Sebaliknya, Sean sendiri tidak tahu nama depan pemuda itu bukanlah Arie. Dia lebih mengenalnya sebagai Arie, bukan Boulevard. Nama itu adalah nama yang ia gunakan dalam keperluan misi.
Itulah sebabnya, Arie yang selama ini mengirimkan surat melalui burung hantu yang diberi nama Ritter- yang usianya lebih tua dari Marito dan Arie.
Karena burung itu, sudah ada sebelum Marito lahir. Marito tentu terkejut mendapati burung itu masih hidup. Apalagi dia lebih terkejut Arie masih hidup.
11 tahun lalu, perang yang melanda Panzer membuat mereka terpisah. Marito mengira, Ritter si burung hantu jenius dan Arie si pengawal bayangan telah gugur. Nyatanya mereka berumur panjang.
"Komandan, apa kau benar-benar tidak ingin berjumpa dengannya?" tanya Arie penasaran. "Belum saatnya"
Mengapa Earnest tidak memberitahu identitasnya juga? Mengapa ia meminta Sean untuk menutupi identitas aslinya? Sebenarnya siapa Earnest yang kerap dipanggil komandan oleh Arie ini?
"Siapa tahu kau atau dia yang lebih dulu mati. Penyesalan datang di akhir" ujar Arie menyimpan buku yang sudah selesai ia baca.
Earnest menatap langit malam melalui jendela. Ia diam. Setelahnya ia tersenyum.
"Kelak dia akan tahu, entah bagaimana caranya. Sekarang, belum saatnya"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments