"Owein jadi wali kelasmu? Ternyata komandan mendengarkan saranku" Daisuke tampak terkejut mengetahui siapa wali kelas Sean.
"Memangnya ada apa dengan guru? Joy bilang dia bisa mencium ada amarah besar pada dirinya" Sean tentu penasaran. Ia terus mengingat perkataan Joy.
"Joy? Joy Nicolo?" tanya James tidak asing. Sean mengangguk. "Dia dan kakak perempuannya punya bakat unik" Jiali tampak antusias membahas sahabatnya di masa akademi.
"Bakat unik?" tanya Sean penasaran. "Dia itu punya penciuman super tajam. Kau belum melihat Arabella. Dia bisa mencium aroma seseorang dari jarak 10 kilometer. Walau mereka sama-sama punya penciuman yang tajam, konsep mereka berbeda"
Marito menjelaskan hal tersebut sambil menjahit seragam Daisuke yang robek.
"Berbeda?" gumam Sean tambah penasaran. "Arabella bisa mencium aroma siapapun dan menghapalnya. Sementara Joy, dia mencium aroma dari emosi dan perasaan. Keduanya bisa digunakan untuk keperluan bertarung atau hal mendesak lain"
Sean merenung dan tampak berpikir. "Gunanya mencium aroma emosi dan perasaan dalam bertarung... untuk apa?" gumam Sean terheran.
"Dia menghapalnya seperti apa yang dilakukan Arabella. Dia bisa membedakan setiap emosi milik seseorang yang ia cium dengan cara tersendiri"
Penjelasan Zoe akhirnya membuat Sean paham. "Lalu mengapa Joy mengatakan guru Owein itu punya amarah?" tanya Sean terheran.
"Alasannya sama. Dia kehilangan banyak orang terdekatnya. Dulu saat berada di pasukan, dia sangat dingin dan terlalu keji. Kematian kakeknya yang membuatnya lebih mementingkan misi daripada teman-temannya. Dia depresi akut"
"Untung saja aku mengajukannya untuk jadi seorang guru dalam beberapa waktu ke depan, agar ia meninggalkan dunia yang mengotori tangannya"
Sean tertegun mendengarnya. Ketika di negeri lamanya, ia tidak pernah mendengar kisah-kisah tragis dalam perjalanan hidup seseorang.
"Guru, beberapa hal yang kuperhatikan dari kisah kalian... semua terdengar tragis. Kehilangan orang tua, orang terdekat, dan masih banyak lagi saat kalian menjadi anggota militer... bukankah itu, menakutkan?"
Marito menghentikan acara menjahitnya. "Tidak semua orang bergabung dengan kemiliteran akan menerima kematian orang terdekatnya"
Sean menatap gurunya bingung. "Sebagian besar dari kami dulunya berusaha keras diterima masuk akademi militer, agar kami bisa membalas dendam lama"
"Kami kehilangan banyak orang jauh sebelum kami bergabung militer, karena keadaan dunia yang tidak pernah damai"
Sean tertegun mendengarnya. "Bukankah kedamaian itu ada? Kenapa kalian tidak bekerja keras untuk itu saja?" tanya Sean terheran.
"Itu yang menjadi tugas utama kami selama mengemban tugas ini, bocah" jawab Daisuke terkekeh. Sean menatap Daisuke terheran.
"Kenapa semua bergantung pada militer? Seharusnya masyarakat juga harus ikut serta-"
"Jika kami saja tidak bisa, maka penduduk juga tidak mampu. Kami benteng negara, Sean"
Bocah itu terdiam menatap gurunya terkejut.
"Sejujurnya, aku sangat ragu kau menjadi bagian militer. Mengingat terlalu banyak bocah-bocah di bawah umur yang berkorban dan berakhir tragis"
Marito kini berjalan menuju Sean. "Militer tidak hanya sekedar kedamaian saja, nak. Ada banyak hal lain yang juga penting di dalamnya. Dan aku tidak bisa menyebut semuanya sekarang, tapi nantinya kau akan mengerti"
"Pada dasarnya, semua ingin memiliki hidup yang damai. Tapi kedamaian itu, tidak abadi. Dia akan pergi, jika kita tidak menghargainya"
Penjelasan itulah yang tidak lagi membuat Sean bertanya lebih lanjut. "Abadi?" gumam Sean menatap telapak tangannya terkejut.
"Kunci kedamaian, adalah dirimu sendiri" Marito menyentil kening bocah itu dengan pelan.
"Diriku.... sendiri?" gumam Sean terheran. "Suatu saat kau akan paham maksudku, setelah kau terjun langsung ke dunia militer"
Marito meninggalkan bocah itu termenung di ruang tamu. Malam itu, Sean tidak langsung tidur.
James dan Jiali mendadak ke rumah sakit. Chloe diberi misi mengawasi seorang mantan kriminal yang akan berangkat keluar kota. Daisuke dan Marito menghadap pada Theo untuk suatu hal.
Dan orang yang tersisa di rumah, hanya Zoe dan Sean.
"Kau belum tidur?" tanya Zoe duduk di sebelah Sean. Mereka berada di halaman belakang, memperhatikan bintang yang mereka sendiri tidak tahu seberapa besar ukuran dari bintang di sana.
"Aku masih butuh penyegaran otak" jawab Sean terkekeh. "Apa pelajarannya sulit?" tanya Zoe tertawa kecil memaklumi. "Seimbang, sulit tapi juga mudah" jawab Sean menghela nafas lelah.
"Mungkin kau harus sedikit bekerja keras. Ini termasuk dalam memperjuangkan citra guru yang cukup buruk sekarang"
Sean menatap Zoe terkejut. "Memangnya, guru punya.. masalah apa?" tanya Sean terheran.
Zoe menatap lurus ke depan. "Sejak 11 tahun lalu, namanya sudah jelek. Banyak orang mengetahui ia diamanahkan menjaga istri kepala militer kelima, namun ia gagal menjalankan misinya. Terlebih, anak dari kepala dan istrinya menghilang tanpa jejak"
Sean yang mendengarnya terkejut. "Bukankah guru banyak berkontribusi untuk negara? Mengapa mereka sekeji itu?!" gumam Sean kesal mendengarnya.
"Citranya semakin buruk, karena kepala militer keempat diam-diam mengangkatnya jadi kepala divisi utama 2 pasukan elite"
Sean terdiam mendengarnya. "Masalahnya banyak, Sean. Itulah kenapa, oniisan selalu menemaninya. Mentalnya tertekan" ujar Zoe memejamkan mata.
"Dari beberapa muridnya, hanya aku dan kau yang mungkin berhasil. Sisanya mati menjalankan misi, terpaksa dibunuh, dikembalikan pada orang tuanya, depresi, gila, dan... menjadi buron banyak negara"
Sean tentu sangat terkejut mengetahuinya. Bocah itu menunduk tidak percaya.
"Ujian hidupnya menurutku komplit. Orang tuanya meninggal ketika ia lahir, paman, guru, sepupunya dibunuh, rekan setimnya gugur, kehilangan dua keluarga, murid-muridnya banyak yang berakhir tragis, dan dicap sebagai produk gagal Panzer"
Ekspresi Zoe tampak marah. Namun Sean tidak bisa mengartikan maksud dari ekspresi itu.
"Jika kau memeriksa daftar bacaan bukunya di perpustakaan kota, kau akan terkejut. Banyak sekali buku-buku yang mengandung kematian dalam daftar bacaannya" ujar Zoe terkekeh.
"Kakak bisa tahu sedetail itu tentang guru, artinya dia bercerita padamu. Mengapa ia tidak terbuka padaku?" tanya Sean dengan ekspresi murung.
"Hahaha, kau salah" jawab Zoe merebahkan tubuhnya. "Eh?" gumam Sean terheran.
"Dia sendiri pasti pernah berkata padamu, bahwa dia orang yang pelit informasi. Sejak awal aku menjadi muridnya, aku sama sekali tidak pernah memiliki sebuah percakapan panjang dengannya. Percakapan paling banyak ia lakukan dengan muridnya yang menjadi buron" ujar Zoe terkekeh seraya menatap langit.
"Apa dia... nama belakangnya Lucas? Yang merupakan keturunan klan Fawn bukan?" tanya Sean penasaran. "Bagaimana kau mengetahuinya?" Zoe yang terkejut bahkan kembali mengubah posisinya menjadi duduk.
"Kak Chloe yang menceritakannya padaku" jawab Sean terheran. "Lihat, kau sendiri tahu informasi itu dari orang lain. Bukan dari mulut guru sendiri"
Sean tertegun. Ia baru sadar. Zoe benar.
"Sudahlah, masalah mengenai citra baik guru jangan terlalu kau pikirkan. Lebih baik, kau giat belajar dan kalau bisa usahakan lulus cepat" pesan Zoe kini bangkit berdiri. "Kak..." panggil Sean menghentikan langkah pemuda itu.
Zoe menoleh. "Terimakasih, aku akan membangun citra baik untukmu" ujar Sean tersenyum.
Zoe terdiam kaku. Ia melihat Mario dalam diri Sean.
"Aku akan membangun citra baiknya untukmu"
Zoe tersenyum. "Jangan begadang, besok aku yang akan mengantarmu" pesan Zoe tersenyum. "Siap!"
Zoe akhirnya menghilang.
"Hey, bocah !" Sean segera mencari sumber suara. "Siapa?" tanya Sean terheran. "Di belakangmu"
Mendadak latar tempat Sean berada kini berganti. Ia dikelilingi langit biru. "Basah?" gumam Sean bangkit berdiri ketika ia sadar, ia berada di atas air.
"Kau terkejut bukan? Saat ini kau berada di duniaku" Sean berbalik badan. Matanya melotot terkejut mendapati seekor burung phoenix raksasa di sana.
Burung itu sangat besar, mereka bagaikan batu kecil di hadapan gunung tinggi. Warna bulu burung itu biru, namun matanya tertutup. Bulu birunya berkilau bagaikan warna lautan samudra.
"K-Kau, siapa?" tanya Sean mundur beberapa langkah dengan ekspresi terkejut sekaligus takut.
"Malang sekali, tidak ada yang memberitahumu mengenai keberadaanku " ledek burung itu dengan nada mengejek.
Sean terus memperhatikan matanya. Mengapa burung itu menutup matanya.
"Kenapa aku bisa ada di sini? Mengapa kau bisa berbicara?" tanya Sean terheran. "Kau tidak perlu tahu namaku untuk saat ini, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu"
Sean diam memperhatikan burung phoenix raksasa di hadapannya. "Kelak suatu saat, berbagai masalah, orang-orang kejam nan keji akan berhadapan denganmu. Kau akan dihadapkan dengan berbagai kehilangan, dan kau harus siap menghadapinya"
Sean menatap burung itu terkejut. "Apa-apaan kau ini? Kau mau menakut-nakutiku untuk tidak melanjutkan pendidikanku di akademi militer bukan?!"
Sean kini memberanikan diri untuk melawan bocah itu. "Hahaha. Pendidikanmu tidak ada hubungannya denganku. Aku hanya memenuhi janjiku pada ayahmu, dan memastikan apakah kekuatanku digunakan dengan benar oleh gurumu itu"
Sean terdiam. Guru? Apakah maksudnya?
"Guru?" gumam Sean terheran. "Si Harimau Biru dari Sumatra" wajah Sean berubah marah. Ia tahu julukan itu diberikan kepada siapa.
Ia berlari ke arah burung itu dan hendak meninjunya. "Apa ini?!" gumam Sean terkejut ketika ia justru terpental. Ada sesuatu yang tidak terlihat membatasinya dengan burung itu.
"Tenanglah, bocah. Butuh 1000 tahun agar kau bisa mengalahkanku" ledek burung itu. "Cih" gumam Sean kesal. Entah kenapa, emosinya mulai naik turun.
"Gurumu itu payah sekali, seharusnya dia bisa menggunakan kekuatan asliku. Dia terus terbayang-bayang masa lalu itu, sehingga dia menggunakan kekuatanku untuk hal lain"
Sean mengerutkan keningnya. "Yang aku tahu, ayahmu itu seorang jenius. Lalu gurumu itu merupakan perempuan yang super jenius juga. Kurasa kau tidak akan membutuhkan waktu lama untuk menangkap maksudku" gumam burung itu lagi.
"Menangkap... maksudmu?" gumam Sean terheran sekaligus bingung. "Ketika kau berusia 15 tahun, baru kau akan mengerti maksudku. Cukup jalani, dan awasi"
Di sekitar burung itu asap terlihat dan ia mulai menghilang.
"Aku bisa membaca masa depanmu dari mata biru itu. Maka bersiaplah"
Sean tersadar. "Sudah... pagi?" gumam Sean menyadari sudah pagi, melaui cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela kamarnya.
"Apa itu mimpi? Terakhir kali aku duduk di halaman belakang" gumam Sean terheran.
"Sean, apa kau sudah bangun?" tanya seseorang memanggilnya. Pemilik suara itu ialah Daisuke.
"Ya, aku akan bersiap!"
......................
"Mimpi bertemu burung?" tanya Joy terheran. Siang itu mereka duduk di kantin, dan mereka menikmati makan siang setelah melalui jam belajar yang lama.
"Burung itu besar sekali! Matanya tertutup. Saat berbicara, dia tidak membuka matanya" Sean memberitahu ciri-ciri lain burung phoenix itu.
"Hmm" gumam Joy tampak berpikir. "Kau tidak memberitahu hal ini pada anggota militer di rumah? Maksudku, setidaknya pada gurumu saja"
Sean diam. Apa yang Joy katakan benar. Mengapa ia tidak bertanya pada Marito saja? Tapi aneh, dia justru ragu untuk menanyakan hal tersebut.
Sean menghela nafas. "Guruku super pelit informasi. Bahkan seputar kehidupannya saja aku tidak tahu" gumam Sean tampak lelah.
Joy tertawa kecil. Namun ia segera teringat sesuatu.
"Ahk, aku tahu!"
Sorenya ketika pulang. "Guru!" panggil mereka pada Owein yang berjalan menjauh dari kelas. "Joy, Sean.. ada apa?" tanya Owein berbalik badan dan menghentikan langkahnya.
"Apa guru punya waktu?"
Beberapa saat,
"Legenda burung phoenix di Panzer?" gumam Owein tanpa sadar. Mereka duduk di hamparan rumput hijau, dan duduk melingkar.
"Ahk iya, dulu burung phoenix raksasa pernah dijadikan sebagai alat penghancur desa. Kepala militer kelima dan istrinya tewas dalam insiden itu. Kami masih mencari wadahnya sampai sekarang, tapi kami tidak menemukannya" penjelasan di awal cerita itu membuat Sean terdiam ragu.
"Aku tidak akan membiarkan pemerintah mengambilnya untuk dimanfaatkan. Dunia ini keji dan penuh ketidakadilan"
Percakapan antara Marito dengan Daisuke terus terbayang olehnya.
"Memangnya kenapa kalian penasaran soal burung phoenix itu? Cukup mengejutkan kalian mempertanyakan hal itu. Cerita mengenai burung itu bahkan sudah hampir terlupakan"
Owein menatap mereka terheran. "Tidak ada guru, aku hanya penasaran saja" jawab Sean terkekeh. Joy tentu menatap Sean terheran.
Apakah Sean, berubah pikiran?
"Kami pamit pulang, maaf sudah menyita waktunya" dan setelah itu mereka berpisah dari Owein.
"Mengapa kau tidak menceritakan saja mimpimu?" tanya Joy terheran. "Joy, temanku di kelas hanyalah dirimu. Cerita mengenai hal ini, tolong kau simpan. Aku juga memohon bantuanmu untuk menyelidikinya bersama. Apakah bisa?" tanya Sean segera.
Joy menatap Sean terkejut. Ia terdiam sejenak lalu tersenyum. "Baiklah, aku akan membantumu"
Setelah sampai di rumah,
"Kenapa lama sekali baru pulang?" tanya Jiali tahu siapa yang baru saja kembali.
"Ada sedikit urusan dengan wali kelas" jawab Sean terkekeh. "Oh ya? Mengenai apa?" tanya Jiali sibuk memasak. "Tugas dari akademi. Aku kurang mengerti maksudnya tadi" jawab Sean berdalih.
"Begitu ternyata. Bersihkan dirimu, setelah itu makan malam. Barulah kau belajar sebentar" Jiali mampu mengatur bocah itu dengan benar. Sean menurut dan segera menuju kamarnya.
Perlahan ia membuka seragamnya, lalu menggantungnya.
"Aku bisa membaca masa depanmu dari mata biru itu. Maka bersiaplah"
Ucapan burung raksasa itu terus terngiang di kepalanya. Ia menatap cermin dengan serius.
"Benar kata orang-orang, mataku... biru bagaikan, laut" gumam Sean menyadari sesuatu.
Sebuah ide tergambar di kepalanya. "Arie!"
Beberapa saat,
"Eh? Tidak pulang?" guman Sean terkejut mengetahui Marito dan Daisuke tidak pulang malam itu. "Mereka ada misi sampai besok. Mungkin besok, dan itupun larut malam baru pulang pastinya" jawab Zoe membenarkan.
Sean menghela nafas memaklumi jadwal bekerja orang-orang di rumah itu, yang mulai padat.
"Benar-benar. Apa mereka masih di kota?" tanya Jiali memastikan sambil menyiapkan dua bekal.
"Masih" jawab Zoe segera seraya menikmati makan malamnya. "Kak Chloe dan kak James di mana?" tanya Sean terheran. "Kak Chloe masih ada urusan dengan kepala" jawab Zoe segera.
"Kak James?" tanya Sean menoleh pada Jiali. Gadis itu menghela nafas lelah. "Berkencan" jawab Jiali memaklumi aktivitas unik teman-temannya.
"Astaga..." gumam Sean tertawa kecil, begitupula Zoe. "Zoe, bisakah kau antarkan bekal ini pada mereka setelah kau selesai makan?" tanya Jiali sudah selesai menyiapkan bekal untuk Daisuke dan Marito.
"Aku saja!" tawar Sean antusias. Jiali dan Zoe saling pandang dengan ragu. "Aku bisa jaga diri!" Sean meyakinkan mereka.
Jiali menghela nafas memaklumi. "Pergilah, dan berhati-hati. Antar saja ke pos di alun-alun, jika tidak ada berarti mereka berada di pos gerbang. Jaraknya tidak jauh" pesan Zoe ketika Sean akan pergi.
"Baik!"
Sean menikmati angin malam di perjalanan. "Cahaya di mana-mana" gumam Sean seraya memperhatikan sekitar. "Kira-kira misi apa yang guru dan oniisan lakukan, yah? Sampai-sampai mereka bekerja dengan jam penuh sampai besok" gumam Sean penasaran.
Bocah itu berjalan dengan santai tanpa takut sesuatu mendekat. Sean sudah terbiasa melakukan hal semacam ini ketika masih tinggal bersama kakeknya.
Ia sering mengantar makanan pada Arie bahkan larut malam sekalipun.
"Astaga..." gumam Sean tanpa sengaja menabrak seseorang. "Maafkan aku tuan" Sean segera membungkuk hormat.
Namun orang itu menarik tangan Sean segera. "Matamu biru sekali" ucapnya membuat Sean merinding. "A-Ahk, terimakasih" Sean berusaha melepaskan cengkraman pada tangannya.
Namun tetap saja, orang itu justru semakin kuat mencengkram Sean.
"Sayang sekali, kau berhadapan dengan orang yang tidak tepat" ujar orang itu membuka tudung jubahnya.
Seorang pria lebih tepatnya. "Lepaskan aku!" Sean berusaha melepas tangannya.
Pria itu mengeluarkan sebuah pedang. Bocah itu segera melakukan perlawanan. "Woah, kau berani sekali" gumam pria itu tersenyum sinis.
Di sisi lain,
"Seharusnya Jiali menitipkannya pada Zoe makan malam kita, kenapa dia lama sekali?" gumam Daisuke sedari tadi menunggu kedatangan Zoe di gerbang kota.
Marito mengerutkan kening. "Sepengetahuanku, Zoe juga sibuk malam ini" gumam Marito mulai berpikir.
"Sibuk? Chloe bilang Zoe punya waktu beristirahat yang cukup malam ini" ujar Daisuke menghela nafas malas. Mereka sudah menunggu kurang lebih 30 menit.
"Dai, bisakah kau menggunakan sihir matamu?" tanya Marito segera. "Untuk apa?" tanya Daisuke terheran.
"Lakukan saja" jawab Marito. Daisuke menghela nafas untuk kedua kalinya. Ia melakukan perintah Marito. "Kau hapal dengan aliran energi di tubuh Sean bukan?" tanya Marito memastikan dan ia menatap ke daerah alun-alun kota yang ramai.
"Ya" jawab Daisuke mulai fokus. "Lalu untuk apa kita mencari energinya? Seharusnya Jiali menyuruhnya belajar malam ini" ujar Daisuke terheran.
"Firasatku mengatakan, bocah itu menawarkan diri untuk mengantar bekal kita" jawab Marito menunjukkan mata biru menyalanya.
Daisuke akhirnya paham. Ia mulai mencari energi tubuh Sean yang ia kenali.
"Astaga!"
Sementara Sean, "Kau merepotkan sekali ternyata" gumam pria itu tersenyum penuh amarah.
"Jangan halangi jalanku! Aku hanya pergi mengantar makan malam untuk guru dan oniisan, dasar pria aneh!" ketus Sean tetap siaga menjaga kedua bekal itu.
Pria itu kembali bergerak maju. Sean menghindar segera. Ia memeluk erat kedua bekal yang terbungkus rapi oleh kain katun.
"Dapat!"
"Sial!"
Namun, "Apa yang-" pria itu tidak bisa melanjutkan perkataannya ketika ia merasa tubuhnya tertahan.
"Sean! Larilah!" Joy datang di waktu yang tepat. Sean mengangguk lalu segera berlari.
"Merepotkan!" pria itu terlepas dari jeratan bayangan Joy dan menyerang bocah itu. "Joy!" Sean menghentikan langkahnya panik.
"TIDAK!" teriak Sean ketika pria itu akan menusuk temannya. Dan, "Hilang?!" gumam pria itu terkejut saat targetnya tiba-tiba menghilang.
"Sialan! Berani sekali kau memukulku!" pria itu memegangi lehernya yang terkena serangan. "Sean, pergilah! Aku tangani pria ini"
Ange tiba tepat waktu. Sean dan Joy akhirnya kabur. "Kenapa banyak sekali orang yang menghalangi jalanku, untuk merebut burung phoenix itu?!"
Ange tampak terkejut mendengarnya. "Aku tidak tahu apa maksudmu, tapi aku menyarankanmu untuk mundur. Atau kau akan kehilangan tubuhmu yang sehat itu"
Pria itu justru tertawa mendengar ancaman dari Ange. "Kau pikir kau siapa?" pria itu kembali mengeluarkan pedangnya dan pedang itu dilumuri energi kuning.
"Sepertinya, kau bukan bocah biasa"
Di sisi lain, Sean dan Joy akhirnya jauh dari pandangan. "Terimakasih, Joy. Untung saja kau di sana" ujar Sean mengatur nafasnya.
"Kita juga harus berterimakasih padanya, dan mencari bantuan. Sekarang antar bekal ini" jawab Joy segera.
Baru saja mereka berbalik, "Jangan kalian pikir kalian bisa kabur" suara pria tadi berada di belakang mereka.
Keduanya melotot terkejut. "Bagaimana mungkin?!" gumam Sean terkejut. "Hahaha. Yang dihadapi teman kalian itu adalah kloningku. Dan yang di hadapan kalian ini, adalah yang asli" pria itu mulai mendekat.
Joy mengarahkan bayangannya segera. "Wah, sihir ini lagi?" gumam pria itu justru menusuk bayangan Joy.
Alhasil bocah itu mematung. Ia batuk berdarah. "Joy!" Sean segera meraih Joy yang terjatuh.
"Simpel saja, untuk menyerang pengguna sihir ruang... aku hanya perlu menyerang objek ruangannya saja" gumam pria itu penuh kemenangan.
"Joy, bertahanlah!" Sean mulai panik. "Tidak!" tiba-tiba saja Joy melayang ke arah pria itu.
"Bocah sepertimu harus lenyap" gumam pria itu tersenyum penuh kemenangan. Joy memegangi lehernya seolah ia sedang dicekik seseorang.
"Tidak, hentikan!" Sean melotot terkejut.
"Hentikan!"
"AKU BILANG, HENTIKAN!"
Energi besar keluar dari tubuhnya. Matanya mendadak jadi biru menyala. Joy kembali terkapar.
"Sean..." gumam Joy lemas. "Energi apa ini?!" gumam pria itu terkejut. Sean mendekat ke arahnya.
"Sial! Burung itu pasti mengendalikannya" gumam pria itu bersiap. Namun gerakan Sean justru sangat cepat. Ia menyerang pria itu terus menerus tanpa henti.
"Sean... henti, kan..." gumam Joy lemas tak berdaya. Ketika serangan besar akan diluncurkan Sean, "Sean!"
Seseorang menahan Sean. Dan satu lainnya menahan pria itu. Ya, Marito dan Daisuke tiba tepat waktu.
"Maaf, nak" gumam Marito membuat Sean pingsan. "Kau kami tahan, tuan" ujar Daisuke menahan pria itu. "Sial" gumam pria itu kesal.
"Untung... saja..." gumam Joy tersenyum. Dan pada akhirnya, bocah itu terjatuh.
"Joy!" gumam Marito terkejut. "Nona Marito!" panggil Ange akhirnya tiba. Keningnya mengeluarkan darah.
"Kau-"
"Aku akan membantumu"
Marito memperhatikan bocah itu dengan serius.
"Baiklah, ayo!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments