"Akhirnya, ini dia.. Panzer" gumam Daisuke menghela nafas lega ketika kapal yang ditumpanginya akan berlabuh di sebuah pelabuhan yang ia kenal.
Panzer. Negara yang dipenuhi dengan orang-orang pendatang. Ada banyak orang-orang penting yang hari ini datang berkunjung ke ibu kota negara itu.
"Sean, ayo turun. Apa barang-barangmu sudah beres?" tanya Daisuke yang sudah rapi.
"Sudah, ayo turun" jawab Sean yang tidak sabar. Mereka akhirnya melangkahkan kaki, menuruni kapal itu.
"Pastikan barang-barang kalian tidak ada yang tertinggal" pesan awak kapal di sana.
Ketika mereka sudah berada di daratan, mata Sean terkagum melihat bangunan antik kota itu.
"Inilah, Hitler ibu kota negara Panzer. Aku sudah hidup di sini kurang lebih 20 tahun" Daisuke memperkenalkan ibu kota negara itu.
"Luar biasa" gumam Sean kagum.
Ia memperhatikan sekeliling. "Jujur saja, aku sudah bosan pulang pergi menginjakkan kakiku di sini" ujar James di sebelah Daisuke.
"Kejam sekali. Keluargamu bahkan berada di sini" jawab Daisuke tertawa kecil.
"Paman!" panggil seorang gadis menghampiri James. "Tere!" James segera berlutut menunggu kedatangan gadis kecil berusia 7 tahun itu.
"Yey, paman sudah pulang" gadis itu memeluk pamanya begitu erat. "Dai!" panggil seseorang mengalihkan pandangan Daisuke.
Pemuda tinggi dengan kulit putih, dan berwajah benua kuning sepertinya. Hanya saja, dia pasti mempunyai darah blasteran.
Namanya, Chloe Keneth. Pemuda itu juga akan memiliki peran penting dalam kerja keras Sean.
"Chloe, lama tidak berjumpa sobat!" Daisuke menjabat tangan temannya itu.
Daisuke dan James sudah meninggalkan negara itu sebulan lamanya. Itulah kenapa kerabat mereka begitu antusias mengetahui adanya kapal berlabuh.
"Siapa dia?" tanya Chloe ketika memperhatikan Sean. "Ahk dia, namanya Sean Colbert. Dia datang ke sini untuk mendaftarkan diri ke akademi militer, Sean.. ini temanku, Chloe Keneth"
Daisuke memperkenalkan diri mereka satu sama lain. "Salam kenal" tutur Sean membungkuk hormat. "Matamu indah sekali" puji Chloe kagum.
"Terimakasih.."
"Panggil saja, kak. Aku seangkatan Dai"
Sean mengangguk-angguk paham. "Ahk iya, apa Leon ikut kemari?" tanya Daisuke memastikan.
"Sedari tadi aku di belakangnya, Daisuke"
Nada bicara dingin yang tidak asing bagi Daisuke. Tampak seorang gadis dengan mata biru yang sama persis dengan Sean, tatapan tajam, kulit putih, rambut hitam sepanjang pinggang dikucir atas, dan tubuhnya yang cukup tinggi untuk seorang perempuan seusianya.
Dialah, Leon Marito. "Sean, ini orang yang kau cari. Leon Marito" Daisuke segera memperkenalkan gadis itu pada Sean yang tampak ragu.
"Sean? Sean Colbert?" tanya Marito tampak terkejut. Namun uniknya, ekspresi gadis itu tetap datar tanpa adanya emosi lain.
Bocah itu mengangguk ragu. "Cobalah tersenyum, dia sepertinya takut padamu" bisik Daisuke tertawa kecil pada Marito di sebelahnya.
Gadis itu menatap Sean dengan tenang. "Kau laki-laki bukan? Angkat barangmu, kita akan kembali ke rumah menaiki kereta kuda di sana"
Marito justru berbalik badan dan pergi menjauh. Sean patuh dan melakukan perintah Marito.
"Oniisan kenapa mengikuti kami?" tanya Sean terheran ketika Daisuke justru mengekori mereka.
"Kita tinggal di rumah dinas yang sama, Sean" sejenak bocah itu terdiam heran. "Eh?!"
Beberapa saat,
"Tadaima!" gumam Daisuke yang terbiasa menyebut kalimat itu ketika ia baru saja sampai di rumah. "Selamat datang" sambut seorang gadis.
Dan lagi-lagi, tampang gadis itu tampaknya dari benua kuning. Namun kulitnya putih bersih. Matanya sipit, namun tetap bulat.
Namanya Bao Jiali. Mereka memanggilnya Jiali. Gadis dari negara Zhú lián. Pekerjaannya sebagai dokter, namun dia ahli sihir.
"Di mana, James? Kenapa dia tidak ikut bersamamu?" tanya Jiali ketika ia tidak melihat keberadaan James di sana.
"Hari ini dia akan berada di rumah keluarganya, lalu ia akan kembali tinggal di sini besok" jawab Daisuke meletakkan barang-barangnya.
Perhatian Jiali teralih, ketika Marito masuk dengan seorang anak laki-laki mengekorinya di belakang. "Aku kembali" gumam Marito mengambil salah satu tas dari tangan bocah itu dan membawanya.
"Siapa dia?" tanya Jiali ketika ia melihat bocah laki-laki di belakang Marito. "Sean Colbert" jawab Marito singkat dan beranjak membawa tas Sean ke sebuah ruangan di lantai dua.
"Sulit ditebak" batin Sean dibuat bingung dengan perilaku Marito. "Ikuti dia, dia berjalan menuju kamarmu" perintah Daisuke ketika melihat Sean yang justru melamun.
Sean bergegas mengekori Marito. "Sikapnya tidak berubah" ujar Jiali menggeleng-geleng pelan. "Maklumi saja. Lambat laun dia pasti berubah" jawab Daisuke memaklumi pendapat itu.
"Kapan? Lihatlah, sudah 11 tahun berlalu tapi ia tetap sama" gumam Jiali mengerutkan keningnya menatap sebuah bingkai berisi foto.
"Suatu saat pikirannya akan terbuka. Tidak perlu khawatir soal dia yang akan bersikap keras pada bocah itu" ujar Chloe menggantung jas nya.
"Tetap saja. Kau tidak ingat terakhir kali ia dititipkan seorang bocah kaya raya dari kota tetangga? Ayah bocah itu mendatanginya dan langsung meminta kepala untuk memecatnya" Jiali membuka kembali ingatan lama.
"Aku membenarkan tindakan Leon. Karena dia kaya, bocah itu terlalu manja. Sejauh ini, hanya bocah itu yang jadi murid gagal Leon" jawab Daisuke tertawa kecil mendengarnya.
Jiali diam beberapa saat. Benar juga. Sudah ada beberapa bocah yang dititipkan pada Marito, dan terakhir kali hanya bocah berusia 11 tahun yang merupakan anak tunggal kaya raya, menjadi murid gagal dari perempuan itu.
Di sisi lain,
"Jadi kau akan tinggal di sini. Kau baru bisa kudaftarkan masuk akademi minggu depan. Belajarlah dengan giat, jika tidak kegagalan menghampirimu"
Marito hendak meninggalkan Sean setelah ia selesai membereskan isi lemari ruangan untuk bocah itu.
"Marito, maksudku.."
"Guru"
"Ahk iya, guru. Apa di kota ini ada perpustakaan? Untuk mengikuti seleksi akademi itu, aku butuh buku untuk belajar"
Marito berbalik badan. "Di lantai pertama rumah ini, paling ujung. Aku mengatur segala jenis buku di sana" ujar Marito menjelaskan.
"Baiklah" gumam Sean ragu menatap perempuan bertubuh tinggi di hadapannya. "Jika ada sesuatu katakan padaku" pesan Marito berbalik badan dan hendak turun meninggalkan bocah itu.
"Baik" gumam Sean menatap punggung Marito. Perempuan itu kembali menghentikan langkahnya. "Belajarlah yang giat, jika kau tidak ingin menyusahkan keluargamu di De Oranje"
Sean terdiam mendengarnya. Namun ia segera mengangguk paham.
Kali ini Marito sudah benar-benar hilang dari pandangannya.
"Apa dia kenal dengan kakek dan Arie? Dia benar-benar susah ditebak" gumam Sean memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Masuklah" perintah Sean mengubah posisinya menjadi duduk.
Jiali, masuk ke dalam kamar itu. "Hi, Sean" sapa Jiali seraya tersenyum.
"Halo.."
"Sama seperti Chloe, panggil saja kakak"
Sean mengangguk-angguk paham. "Dari mana asalmu? Kenapa kakekmu menitipkanmu pada Marito?" tanya Jiali seraya duduk di pinggir ranjang bocah itu.
"Aku dari negara De Oranje. Kakek bilang di sini adalah tempat yang cocok untuk aku mengikuti jejaknya, sebagai seorang militer"
Jiali mengangguk-angguk kecil. "Maafkan, Marito. Dia memang orang yang sangat dingin dan ketus" ujar Jiali tersenyum lembut.
"Tidak masalah. Arie juga kadang bersikap yang sama seperti guru"
Jiali terdiam mendengar nama itu. "Arie? Siapa Arie?" tanya Jiali terheran sekaligus penasaran. "Dia orang baik yang mengajariku banyak hal" jawab Sean seraya menjelaskan siapa itu Arie bagi dirinya.
"Namanya mirip sekali dengan temanku yang sudah hilang 11 tahun lalu" batin Jiali tersenyum.
"Kakak mengenalnya?" tanya Sean penasaran. "Tidak, hanya saja namanya mirip nama temanku. Aku tidak tahu pribadinya" jawab Jiali terkekeh.
Sean yang polos mempercayai itu tentunya. "Yang terpenting, jika kau butuh sesuatu katakan saja pada kami. Di rumah ini, ada aku, Chloe, Dai, James, dan Marito yang tinggal bersama. Jadi kau bisa meminta tolong pada siapapun di antara kami" pesan Jiali segera.
"Pak Dokter kemarin juga tinggal di sini? Mengejutkan sekali. Kenapa kalian berada di rumah yang sama?" tanya Sean terheran.
"Kami hanya mengikuti aturan dan pembagian rumah dinas dari pak kepala. Untungnya, kami bisa saling mengerti satu sama lain" jawab Jiali tertawa kecil memaklumi pertanyaan itu.
"Begitu ternyata. Kakek bilang, jika aku diterima di akademi militer.. aku akan tinggal di asrama, apakah itu benar?" tanya Sean lagi.
"Ya, kau akan diasramakan sesuai kemampuanmu. Jika kau memanfaatkan bakatmu, kau bisa lulus dengan cepat seperti Marito. Dia hanya butuh waktu 6 bulan untuk bisa masuk ke instansi militer, dan ditempatkan di pasukan khusus"
Sean yang mendengarnya berbinar kagum. Dibalik sikap dingin dan ketus guru barunya itu, ada prestasi cemerlang yang ditorehkan olehnya.
"Keren sekali. Dia pasti orang yang jenius" gumam Sean tanpa sadar. "Itulah kenapa, kau harus bisa sama sepertinya. Karena kini kau menjadi muridnya, kau harus bisa membuktikan bakatmu"
Sean tersenyum antusias. "Aku akan membuktikannya. Aku akan menjadi seorang militer hebat" jawab Sean bersemangat.
Jiali tertegun menatap bocah itu. Ia seakan mengenal seseorang di dalam diri Sean.
"Kenapa kakak melamun? Kakak sama saja seperti oniisan, suka sekali melamun" ledek Sean segera. "Hahaha. Aku tidak tahu, tapi yang pasti.. mata birumu mengingatkanku pada seorang wanita baik hati yang begitu kukenal"
Sean menatap Jiali dengan kening berkerut. "Wanita baik hati? Siapa dia?" tanya Sean penasaran. "Kau sepertinya bocah yang ingin tahu banyak hal, yah" titah Jiali seraya mengacak rambut bocah itu.
"Kau ingin kubuatkan sesuatu? Aku bisa memasak" tawar Jiali bangkit berdiri. "Apa itu tidak merepotkan? Daripada memasak untukku, lebih baik kakak ajari saja aku memasak" saran Sean beranjak dari ranjangnya.
"Mengejutkan. Baiklah, ayo kita ke dapur. Aku akan mengenalkanmu pada semua bahan-bahan dapur" jawab Jiali tersenyum antusias.
Keduanya mulai menuruni anak tangga menuju dapur. Di ruang tamu, Chloe, dan Daisuke duduk membaca buku seraya menikmati teh hangat.
"Di mana Marito?" tanya Jiali terheran ketika ia tidak melihat keberadaan Marito di sana.
"Dia dipanggil ke kantor. Ada keperluan mungkin" jawab Daisuke asik dengan bukunya.
"Begitu ternyata. Bahkan saat hari libur, dia masih sangat sibuk" gumam Jiali tertawa kecil memaklumi. "Kalian ingin sesuatu? Aku dan Sean akan masak" tawar Jiali menghampiri dapur.
Sean mengekori gadis itu. "Kau bisa memasak, bocah?" tanya Daisuke antusias.
"Tidak, aku ingin kak Jiali mengajariku" jawab Sean menggeleng-geleng. "Makanan manis. Aku ingin sesuatu yang dipanggang tapi manis" ujar Chloe mengambil kesempatan.
"Yang benar saja, James bilang gula darahmu naik" Daisuke segera mengingatkan rekannya itu.
"Hari ini saja, besok akan kutahan" jawab Chloe tetap keras kepala. "Sudah, aku akan buat Pie Apple dengan gula yang sedikit" ujar Jiali menyudahi perdebatan kecil itu.
Sean kembali mengekori Jiali.
"Jika kau mengeluh, aku akan membiarkanmu. Atau aku akan menyumbat telingaku"
"Kejam sekali. Kau ingin aku mati cepat?"
"Kau mati karena kesalahanmu"
Jiali hanya bisa menggeleng-geleng pelan sambil terkekeh memaklumi hal itu.
"Memangnya kenapa jika dia mengkonsumsi gula berlebih?" tanya Sean penasaran seraya memberikan tepung pada gadis itu.
"Sudah 6 bulan terakhir Chloe mengurangi konsumsi gula karena terserang diabetes. Semoga dia bisa segera sembuh" jawab Jiali sambil mengaduk adonan yang ia buat.
"Malang sekali. Kakek juga pernah mengalami kelumpuhan ringan, padahal usianya belum sampai 70 tahun" ujar Sean teringat penyakit yang pernah diderita kakeknya dulu.
"Oh iya? Tapi untuk orang tua, itu sudah hal wajar" tutur Jiali memaklumi. "Tetap saja itu hal mengkhawatirkan, untung saja Arie telaten membantu kakek. Saat aku hendak meninggalkan kakek, aku khawatir dia tidak bisa menjaga diri. Tapi Arie sepertinya bisa diandalkan"
Jiali tersenyum tenang mendengarnya. "Kau berbakti sekali pada kakekmu. Kenapa begitu?" tanya Jiali penasaran.
"Aku tinggal dengan kakek. Arie kadang-kadang saja datang ke rumah. Dari bayi sampai sebelum aku kemari, aku belajar banyak hal dengan kakek" jawab Sean antusias menceritakan kakeknya dan Arie.
"Di mana ayah dan ibumu?" tanya Jiali penasaran. "Mereka meninggalkanku sejak aku lahir. Kata kakek, mereka hanya menyisakan diriku sebagai harta peninggalan mereka"
Jiali terdiam mendengarnya.
"Maaf, Sean. Aku tidak tahu"
"Tidak apa, orang-orang juga mengatakan hal yang sama saat aku menyebut di mana keberadaan ayah dan ibuku"
Jiali tertegun. "Bagaimana dengan keluargamu? Apa kakak masih memiliki ayah dan ibu?" tanya Sean penasaran.
"Ibuku tidak meninggal, dia hanya pergi meninggalkan kami. Sekarang yang tersisa ayahku yang sakit, dan adik laki-lakiku yang usianya sepertinya sama denganmu"
Sean mengangguk-angguk paham. "Lalu.. kak Chloe, apakah orang tuanya masih ada?" tanya Sean penasaran seraya mengintip Chloe yang asik membaca buku.
"Dia anak nakal yang melarikan diri, hahaha. Jika kau penasaran, tanyakan kisah bodohnya pada orangnya langsung" saran Jiali tertawa.
Namun tawa itu, seakan menutupi sesuatu. "Oniisan? Dia juga nakal?" tanya Sean lagi.
"Dai? Chloe itu terlihat seperti anak penurut padahal dia pembangkang. Dai tidak. Masalah keluarganya juga rumit, aku tidak terlalu mengetahui bagaimana latar belakangnya"
Sean mengangguk-angguk kecil. "Aku pulang" ucap seseorang memasuki runah. Marito tiba.
Bocah itu kini menatap Marito penasaran. "Di antara kami, mungkin masalah keluarganya paling menyedihkan" tutur Jiali mengetahui tatapan tidak biasa dari Sean pada Marito.
"Menyedihkan?" gumam Sean terkejut. "Ya, karena itulah kami jarang mengungkit masa lalu di sini. Semua sensitif terkait keluarga masing-masing" jawab Jiali membenarkan.
Sean masih menatap Marito yang tampak sibuk mencari berkas. "Jia, apa kau melihat berkas berwarna coklat di laci ini? Aku meletakkannya di sini kemarin" tanya Marito ketika ia sudah lelah mencari ke sana kemari.
"Sudah seminggu lamanya aku tidak menyentuh laci itu. Memangnya berkas apa yang kau cari?" tanya Jiali menghampiri Marito.
Sean yang sudah memperhatikan bagaimana cara Jiali mengadon, memilih melanjutkan pekerjaan itu. Daisuke memperhatikan bocah itu sejenak.
Ia mengerutkan keningnya terkejut. "Ada apa?" tanya Chloe di sebelah pemuda itu. "Dari apa yang kudengar, membuat adonan kue lebih sulit daripada memasak biasa. Tapi dia bisa meniru setiap gerak gerik Jiali"
Chloe kini ikut memperhatikan kegiatan Sean. Tangan bocah itu dengan sigap melakukan segalanya dan membereskan kekacauan di dapur.
"Beres" gumam Sean tersenyum puas setelah memasukkan seloyang Pie Apple ke dalam oven.
"Eh, aku belum selesai membuat loyang kedua" ujar Jiali beranjak menghampiri Sean.
"Aku sudah membuatnya, semua sudah selesai" Jiali menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kau membuatnya?" tanya Jiali memastikan kembali. "Aku mengikuti takaran yang kakak buat" jawab Sean dengan ekspresi polos.
"Tapi aku tidak menimbangnya, Sean" bocah itu terdiam. Marito menatap Sean terkejut.
"Kau tidak menentukan berat bahannya?" tanya Marito terheran. Jiali menatapnya lalu mengangguk tanda membenarkan.
Suasana hening bahkan sampai tercium aroma apel dari dalam oven, barulah Jiali bergerak dan ia segera mengeluarkan 2 loyang Pie Apple.
Jiali tahu loyang buatannya dan buatan Sean. Ia mencicipi keduanya.
"Sean.."
Bocah itu menatap Jiali ragu. Ekspresi itu seakan menandakan Pie itu enak, atau tidak.
"Kau punya bakat menjadi tukang kue!" ujar Jiali antusias. "Hey, dia akan mendaftar ke akademi militer. Jangan merecoki pikirannya" Daisuke tertawa mendengarnya.
Berbeda dengan ketiga temannya, Marito menatap Sean dengan tatapan berbeda.
Ketika Sean beralih menatap Marito, gurunya itu membuang wajahnya ke arah lain.
................
"Aku akan ke kantor sebentar, kunci rumah" pesan Marito mengenakan topinya. Malam itu semua sudah tertidur lelap, hanya tersisa Daisuke di ruang tamu yang masih jaga.
"Malam begini? Bukankah tadi siang kau sudah ke kantor? Ada masalah apa?" tanya Daisuke terheran ketika Marito bersiap.
"Anggota inti ada rapat penting malam ini terkait radar aneh di puncak gunung" jawab Marito seraya memasukkan berkas-berkas yang ia butuhkan ke dalam tas.
"Radar aneh? Sejak kapan?" tanya Daisuke terheran. Sebulan lamanya, Daisuke tidak mengetahui apa saja yang terjadi selama ia meninggalkan Panzer.
"Baru-baru ini" jawab Marito yang sudah siap berangkat menuju kantor.
"Aku titip dia padamu. Hubungi kantor jika terjadi sesuatu di sini" pesan Marito akhirnya meninggalkan rumah malam itu.
Daisuke menghela nafas dengan kesibukan Marito. Untuknya, kegiatan yang dilakukan Marito bisa dibilang seperti membunuh diri sendiri.
Anehnya, rekannya itu tidak pernah terlihat jenuh atau lelah dengan padatnya pekerjaan yang diberikan padanya.
"Mau ke mana dia?" tanya Chloe yang baru saja selesai minum. "Kantor. Kenapa kau belum tidur?" tanya Daisuke terheran.
"Aku sudah tidur, hanya saja aku haus" jawab Chloe menggosok pelan kedua matanya. Masih ada rasa kantuk di sana, namun ia bisa menahannya.
"Malam seperti ini saja dia masih pergi bekerja. Sebenarnya dia manusia yang terbuat dari apa" ujar Chloe duduk di seberang Daisuke.
"Memaklumi saja"
Di sisi lain,
"Astaga.. apa yang dilakukan Sean larut malam begini?" gumam Jiali terbangun dari tidurnya.
Kamar Jiali dan Sean bersebelahan. Karena satu dinding, tentu saja Jiali bisa mendengar suara dari kamar Sean.
Ia segera turun dari ranjangnya dan berjalan perlahan menuju kamar Sean, hendak menegur bocah itu agar segera tidur.
"Sean.. apa yang kau lakukan? Apa kau belum tidur?" tanya Jiali menahan rasa kantuk yang luar biasa. Namun bocah itu tidak menyahut, bersamaan itu masih ada suara ribut di kamar bocah itu. "Sean" panggil Jiali lagi.
Tetap saja tidak ada sahutan dari bocah itu. Jenuh dengan keributan di kamar itu, Jiali memutuskan untuk mencoba membuka pintu. "Tidak dikunci?" gumam Jiali terkejut.
Ia akhirnya menggapai gagang pintu lalu membukanya. Jiali terdiam kaku ketika melihat pemandangan di hadapannya.
"Hey, siapa kau?!" Jiali segera beranjak ketika seseorang berjubah hitam seakan menyerap sesuatu dari tubuh Sean.
Mata bocah itu bahkan terbuka namun berwarna putih, dan tubuhnya melayang. Energi berwarna biru diserap oleh orang itu dari tubuh Sean.
Melihat Jiali, orang itu menjatuhkan tubuh Sean dan kabur dari jendela.
"Sean!" Jiali memilih untuk menghampiri Sean. Namun nafas bocah itu mendadak berhenti. "Sean! Apa yang dilakukan pria itu?! Sean!" Jiali akhirnya melakukan apa yang ia bisa.
Sementara di lantai pertama, "Apa yang terjadi di atas?" gumam Daisuke beranjak menuju lantai kedua rumah itu.
Chloe mengekorinya dari belakang. Ketika mereka tiba di ruangan Sean, "Ada apa ini?!" tanya Daisuke terkejut dan segera menghampiri mereka.
"Dai, nafasnya berhenti" ujar Jiali panik. Tanpa pikir panjang Daisuke meraih Sean dan menggendongnya. "Aku akan memanggil dokter" ujar Jiali segera mengambil tas dan beberapa keperluan medis di dalam kamarnya.
"Chloe, hubungi Marito segera"
Di sisi lain,
"Marito, Chloe ingin menjumpaimu" ujar seseorang memanggil Marito yang masih sibuk menulis.
"Chloe?" gumam Marito segera beranjak. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Chloe dengan nafasnya yang tidak teratur dan keringat mengucur deras.
"Marito, ini.. dia-"
"Tarik nafasmu. Kau bisa mati"
Chloe menarik nafas dalam. Ia menenangkan dirinya sejenak.
"Sekarang katakan apa yang terjadi" perintah Marito menghela nafas memaklumi. Justru ia yang lelah melihat Chloe.
"Bocah itu di ruang darurat, dia tidak bernafas"
"Apa?!"
Beberapa saat setelahnya,
"Apa yang terjadi?!" Marito tiba dengan ekspresi panik. Jiali menatapnya tenang. "Detak jantungnya sudah kembali, tenanglah" jawab James membuat Marito tenang.
"Bagaimana mungkin nafasnya tiba-tiba hilang?" tanya Marito terheran. "Seseorang mencoba menarik seluruh energinya, namun sepertinya gagal. Orang itu pasti penyihir. Dia tahu caranya menyerap habis energi seseorang" jawab Daisuke memperhatikan Sean yang terlelap.
Marito mengerutkan keningnya mendengar penjelasan itu. Mata birunya kini menyala. Ekspresi datarnya berubah marah.
"Kau menyadarinya bukan?" tanya Daisuke tertawa kecil membaca raut wajah rekannya itu.
"Memangnya ada apa?" tanya Chloe terheran.
"Penyihir itu punya tujuan, dan berniat menyerap habis energinya untuk mengetahui sesuatu padanya. Tapi sepertinya itu percuma, karena energi yang dimiliki bocah ini.. terlalu banyak"
Chloe yang mendengarnya terkejut.
"Energi yang banyak... artinya?"
"Ya, elemen alam yang dimilikinya lebih dari satu"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments