Marito dan Daisuke tampaknya sudah hampir mencapai limit mereka. Nafas keduanya tampak tidak teratur. "Apa mereka tidak takut mati kelelahan?" tanya Sean terheran.
"Itulah kenapa aku benci sekali ketika kepala menempatkanku untuk beradu kemampuan dengan salah satu di antara mereka. Nafas mereka seperti nafas kuda" jawab Chloe tertawa kecil.
Benar saja, Marito dan Daisuke kembali bangkit. Sihir mata milik mereka kembali muncul.
Mereka kembali saling menyerang. "Dapat" gumam Marito penuh kemenangan. "Benarkah?" perempuan itu segera terdiam kaku.
Ia berhasil menjatuhkan Daisuke di hadapannya. Namun ketika ia menoleh ke belakang, terlihat Daisuke mengarahkan tangannya siap untuk menyerang titik buta gadis itu.
Daisuke yang sadar segera menahan sebuah serangan. "Sudah cukup!" perintah Jiali yang sadar pertarungan itu tidak akan ada habisnya.
"Sudah aku bilang, seri bukan?" tantang Daisuke berhasil menahan serangan dari Marito yang asli.
Sean dibuat bingung dengan gaya bertarung itu.
"Maksud mereka apa, kak?" tanya Sean terheran.
"Sihir mata milik Marito itu bisa membuat seseorang terkena halusinasi. Saat dia menjatuhkan Daisuke, Daisuke yang asli berada di belakangnya. Namun kekuatan mata itu tidak banyak berpengaruh pada diri Daisuke"
"Sihir mata milik Daisuke bisa melihat sebuah titik energi secara tembus pandang. Itulah kenapa Daisuke berhasil menahan serangan dari Marito yang asli, walaupun dia sempat terkena efek pertamanya. Artinya, tipuan Marito gagal"
Sean mengangguk-angguk kecil tanda paham. "Hebat sekali" gumam Sean kagum. "Sial, kau menguras energiku terlalu berlebihan" gumam Daisuke terjatuh akibat lelah.
Marito yang merasakan hal yang sama juga ikut terjatuh. "Lihat, jika kalian melanjutkannya.. bisa saja kalian mati" ujar Jiali berlari menghampiri mereka diikuti James.
Sean masih diam di tempat memperhatikan mereka. "Kak Chloe, apa aku bisa memiliki sihir mata seperti mereka?" tanya Sean penasaran.
"Ehh? Itu adalah sihir keturunan, atau pemberian orang lain" jawab Chloe tertawa kecil. "Pemberian orang lain?" tanya Sean terheran.
"Daisuke mempunyai kekuatan mata itu, karena keturunan. Sementara Marito, mata itu diberikan orang lain. Dulu matanya tidak biru, tapi hitam lebam" jawab Chloe menjelaskan.
Penjelasan itu tentu membuat Sean terkejut. "Bagaimana mungkin? Bukankah mata itu berada di saraf? Jika mata diambil, maka dia tidak bisa melihat walaupun diberi mata baru"
Chloe yang mendengarnya terkejut. Begitu juga dengan James. Di usia seperti Sean, pengetahuan itu belum banyak diketahui.
"Itulah yang disebut sihir, Sean. Karena itu berusahalah untuk bisa lulus masuk akademi. Di sana kau akan tahu segala macam sihir milik orang lain. Kekuatan mereka apa, apa yang spesial"
Sean mengangguk-angguk kecil tanda paham. "Guru, aku akan ke perpustakaan pagi ini. Boleh tidak?" tanya Sean pada Marito yang sedang memulihkan energinya.
Marito terdiam ragu menatap bocah itu. Bahkan saat di rumah saja, Sean hampir dibunuh orang asing. "Aku akan menemaninya" ujar Daisuke mengetahui maksud raut wajah Marito.
Sean menatap Daisuke terkejut. "Pergilah ke kantor, aku akan menemaninya di perpustakaan kota. Tenang saja" sekali lagi Daisuke meyakinkan Marito yang tampak ragu.
"Baiklah, kau bisa pergi" jawab Marito menghela nafas memaklumi.
"Asik, sepulangnya aku dari perpustakaan... bisakah guru mengajariku gaya bertarung tadi?" tanya Sean penasaran.
Marito yang mendengarnya terkejut. "Hahaha, sepertinya seseorang akan meneruskan gaya bertarungmu yang beringas itu" ujar Daisuke tertawa kecil mendengarnya.
"Latihan dariku akan sedikit keras, maka bersiaplah" jawab Marito dengan wajah datarnya.
Selama Sean tinggal di sana, senyuman tipis pun tidak pernah terukir di bibir Marito. Ekspresinya hanya datar tak beremosi.
Sean melompat kegirangan. "Aku akan bersiap" gumam Sean berlari masuk ke dalam rumah.
"Lalu gaya pertarungan apa yang akan kau ajarkan padanya?" tanya James penasaran seraya membantu Marito berdiri.
"Mossak" jawaban itu berhasil membuat teman-temannya terkejut.
"Kau serius? Kau harus menanyakan dulu apa agama yang dia anut. Yang aku tahu, bela diri yang satu itu bisa membuatmu kehilangan kepercayaan pada pencipta"
Marito berjalan masuk tidak segera menjawab. Setelahnya, ia menghentikan langkahnya sejenak. "Aku tahu kapasitasnya" jawab Marito.
Beberapa saat,
"Woah.. besar sekali" gumam Sean benar-benar terpukau melihat isi perpustakaan itu. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sana.
"Memangnya di negerimu tidak ada yang seperti ini?" tanya Daisuke terheran. "Aku tinggal di pedesaan, bahkan untuk ke pelabuhan saja harus menaiki kereta. Mungkin di ibu kota ada perpustakaan seperti ini" jawab Sean terkekeh.
"Begitu ternyata. Carilah buku yang ingin kau baca" perintah Daisuke segera. Sean segera berjalan menuju rak-rak buku yang tersusun rapi.
"Banyak sekali buku-bukunya" gumam Sean terkagum. Lalu, "Aduh" gumam Sean ketika ia tidak sengaja menabrak seseorang.
Seorang bocah laki-laki seusianya. Namun, rambutnya coklat dengan mata kuning emas. Tinggi mereka hampir sama, hanya saja bocah itu lebih tinggi darinya.
"Maaf" ujar bocah itu membungkuk. "Ahk, tidak apa. Aku juga minta maaf, aku tidak melihat jalanku" jawab Sean segera.
Bocah itu kembali tegap. "Siapa namamu?" tanya bocah itu penasaran. "Sean Colbert, dan kau siapa?" tanya Sean balik.
"Ange Lucas" jawab bocah bernama Ange itu tersenyum. "Baiklah, aku harus mencari buku yang kucari. Sampai jumpa, Ange" ujar Sean berjalan meninggalkan Ange sambil melambai.
"Sampai jumpa" jawab Ange membalas lambaian itu sambil tersenyum. "Orang yang menarik" gumam Ange terkekeh.
Sementara Sean, ia akhirnya kembali ke tempat awal dia dan Daisuke berpisah. "Ehh? Oniisan berbicara dengan siapa?" gumam Sean kembali mundur ketika ia melihat Daisuke sedang berbincang hangat dengan seorang gadis.
Namun di antara keduanya, sepertinya gadis yang berbicara dengan Daisuke tampak menaruh perasaan pada pemuda itu.
"Kau sudah selesai, Sean? Aku dan dia harus kembali. Sampai jumpa" titah Daisuke sambil melambai dan berjalan mendekati Sean.
Gadis itu membalasnya sambil tersenyum. "Dia siapa? Kekasihmu?" tanya Sean penasaran. "Ya, ampun. Bagaimana mungkin bocah sepertimu berpikiran hal semacam itu?" tanya Daisuke tertawa kecil mendengarnya.
"Dia seperti menyukaimu" ketus Sean kesal mendengar pertanyaan itu. "Sudahlah, kau sudah ingin kembali atau masih ingin mencari buku lagi?" tanya Daisuke tertawa kecil seraya mengacak rambut bocah itu.
"Sudah cukup" jawab Sean dengan ekspresinya yang berubah dengan cepat. "Ya, sudah ayo catat namamu di buku daftar" Daisuke akhirnya mengiring Sean menuju meja daftar.
Setelah selesai, keduanya berjalan menjauh meninggalkan perpustakaan kota.
"Apa anak itu yang dimaksud?" tanya seorang pria yang sedari tadi memperhatikan Daisuke dan Sean.
"Ya. Gates mati dibunuh oleh harimau biru setelah tahu dia mencoba membunuh bocah itu" jawab seorang pemuda membenarkan.
"Bagaimana mungkin kalian yakin dia bocah yang diramalkan itu?" tanya pria itu terheran. "Dari matanya. Matanya sebiru lautan" jawab pemuda itu fokus memperhatikan Sean.
"Mendekatinya sangat sulit. Semua orang-orang terbaik di militer menjaganya" gumam pemuda itu memperhatikan Daisuke.
"Memangnya kalian tidak bisa membunuhnya?" tanya pria itu terheran. "Gurunya adalah seorang jenius sihir. Pemuda yang saat ini bersama bocah itu punya sihir mata yang sulit dikalahkan. Dua orang dokter cerdas, dan seorang pengguna sihir kutukan" ketus pemuda itu segera.
"Merepotkan" gumam pria itu sinis.
......................
"Orang baru?" gumam Marito ketika kepala militer memberitahunya bahwa akan ada seorang pemuda yang ditempatkan di rumah dinas mereka.
"Zoe, masuklah" perintah kepala militer. Seorang pemuda masuk. Tampan, tinggi, kulit putih pucat, dengan mata hitam pekat.
Namanya Zoe Louis. Dia seorang intelijen yang masuk dalam pasukan khusus.
"Ya. Dan untukmu, Marito. Mulai sekarang, kau masuk dalam pasukan elite sebagai pimpinan atas divisi utama" orang-orang di ruangan itu tentu terkejut mendengarnya, termasuk Marito sendiri.
"Komandan, bukankah lebih baik Marito berada di pasukan khusus? Dia bisa menentukan strategi" ujar seorang pria.
"Aku memindahkan Chloe, Zoe dan adiknya.. Ziw, untuk masuk pasukan khusus" jawab kepala militer itu. Orang-orang di ruangan mulai saling berdiskusi satu sama lain.
Sebagian setuju Marito masuk pasukan elite, pasukan paling utama di militer. Marito sudah menyelesaikan banyak misi tingkat tinggi seorang diri, dan itu sudah hal wajar jika mereka memasukkan Marito di pasukan elite.
Sementara yang tidak setuju, merasa bahwa Marito yang jenius harus tetap berada di pasukan khusus. Pasukan inilah yang menentukan strategi untuk perang dan banyak perlawanan lainnya.
"Komandan, sepertinya aku belum siap jika komandan menjadikanku pasukan elite dan menjadi pimpinan atas divisi utama"
Semua kembali diam menatap Marito. "Apa alasanmu?" tanya kepala militer yang bernama Theo Ferdinand.
"Aku diamanahkan seseorang untuk melatih seorang bocah dari negeri De Oranje. Jika aku masuk pasukan elite, waktuku tidak cukup untuk melatihnya" jawab Marito segera.
"Dan satu lagi, aku bukan penduduk asli negeri ini" Theo terdiam mendengarnya.
Faktanya, Marito datang dari negeri yang jauh. Dia dan Daisuke berasal dari benua yang sama.
"Aku masih mengharapkanmu untuk tetap menerima jabatan ini. Kuharap kau bisa memikirkannya dengan matang"
Di sisi lain,
"Woah, hebat sekali" gumam Sean setelah membaca biografi seseorang.
"Kau sedang membaca sesuatu tentang apa?" tanya Chloe penasaran. "Biografi seorang pemuda hebat, namanya Shandy" jawab Sean antusias.
Chloe diam beberapa saat mendengar nama itu. "Shandy Nasution?" tanya Chloe duduk di samping Sean. "Ahk iya, kakak tahu dia siapa? Buku ini menjelaskan betapa hebatnya ia dalam menggunakan semua jenis sihir" jawab Sean.
Chloe tersenyum simpul. "Dia pria yang luar biasa. Dulu dia digadang-gadang akan menjadi seorang kepala pemerintah dunia, tapi dia gugur dalam perang" jawab Chloe terkekeh.
"Sayang sekali. Takdir memang menentukan segalanya" gumam Sean mendadak sedih.
"Apa sihir yang paling dia kuasai?" tanya Sean penasaran. "Sihir ruang. Dia ahli dalam membuat sebuah ruangan, untuk menyerap berbagai energi alam" jawab Chloe lagi.
"Keren sekali, ternyata dia berbakat seperti guru Marito" gumam Sean terpukau.
"Bedanya, tingkat kekuatannya jauh lebih tinggi dari Marito" ujar Chloe menuju dapur untuk membuat kopi.
"Aku pulang" titah seseorang memasuki rumah. "Guru sudah pulang" sambut Sean mengetahui Marito sudah kembali.
"Bersiaplah, aku akan mengajarimu bela diri siang ini" perintah Marito melepas sepatu dan topi yang ia kenakan.
"Siap!" jawab Sean hormat dan berlari menuju kamarnya. "Pelan-pelan, Sean" tegur Jiali yang khawatir melihat tindakan itu.
"Dia antusias sekali" tutur Jiali menuruni anak tangga. "Sekarang dia antusias, bisa saja nanti dia mengeluh. Hahaha" jawab James tertawa.
"Kita lihat saja, dia sepertinya bukan orang yang suka kekalahan" ujar Daisuke terkekeh.
Beberapa saat,
Sean meregangkan tubuhnya agar ia tidak cedera. "Serang aku dengan gaya bertarung yang kau ketahui" perintah Marito menyiapkan kuda-kudanya. "Baik" jawab Sean mengerti.
"Hiyakh!" bocah itu mulai menyerang Marito dengan apa yang ia tahu. Namun tentu saja, untuk Marito yang sudah ahli dalam menangkis, ia bisa dengan santai mengelak setiap serangan lambat dari muridnya itu.
Baru beberapa saat Sean berusaha menyerang Marito, bocah itu sudah mulai lelah. "Bagaimana caranya, yah ?" batin Sean memperhatikan Marito.
Otaknya kembali bekerja mengingat beberapa teknik menangkis dan menyerang yang dilakukan Marito dan Daisuke.
Mata bocah itu mulai bekerja meneliti setiap serangan yang datang.
Ketika ia menyerang, ia juga berhasil menahan Marito. "Dia melakukannya" gumam Chloe terkejut. Daisuke tersenyum memahami sesuatu.
Marito tetap tenang dan mulai memberikan serangan lebih cepat. Perlahan, Sean bisa beradaptasi dengan tempo setiap gerakan pada teknik menyerang, menangkis, dan melindungi diri.
"Curang sekali jika kau menggunakan mata itu" ketus Daisuke tersenyum sinis. Dia yang sudah terbiasa berhadapan dengan sihir mata, bahkan sangat membenci kekuatan mata milik Marito.
"Kita lihat apa kau bisa menangani ini" gumam Marito kembali menyerang. Temponya jauh lebih cepat. "Kecepatan apa ini ?!" batin Sean terkejut.
Otaknya lagi-lagi bekerja dengan cepat.
"Ini namanya seni bela diri apa ?"
"Silat. Aku mempelajarinya dari seseorang"
"Tapi kenapa tanganmu seolah seperti kera ?"
"Karena aku lebih menguasai jenis teknik ini. Ada dua, harimau dan kera. Menurutku lebih mudah kera, dan teknik kera bisa kau gunakan untuk serangan bawah seperti ini"
Sean yang mengingat gerakan Arie lagi-lagi menerapkannya. "Dia-" gumam Chloe terkejut.
Tidak hanya Chloe, James dan Jiali yang di sana bahkan bangkit berdiri terkejut melihat Sean yang berhasil menahan serangan terakhir Marito.
Namun berbeda dengan mereka, kening Daisuke seketika mengerut. Matanya menajam, seakan ada sesuatu yang detail ia perhatikan dari bocah itu.
Marito bahkan terkejut ketika Sean justru tidak terpengaruh halusinasinya. Dan ia makin terkejut dengan gaya menahan serangan Sean yang tidak asing bagi dirinya.
Marito melepas serangan dan Sean seakan sudah siap untuk kembali menyerang. "Latihannya cukup. Kau masih belum bisa mengatur energimu" ujar Marito berjalan santai kembali ke dalam rumah.
"Ehh.. hanya sebentar, guru?" tanya Sean jadi lesuh dan masam. Ia sudah mulai bersemangat. Namun Marito justru menghentikan latihan itu.
"Isi tenagamu, besok aku akan mengajarimu teknik-tekniknya" jawab Marito tanpa menoleh. "Baiklah" gumam Sean murung dan mengikuti Marito dari belakang.
Malamnya,
"Di mana Sean?" tanya Daisuke ketika ia tiba di ruang tamu. "Dia makan malam lebih awal, dan sepertinya mengantuk. Mungkin ia lelah siang tadi" jawab Marito baru selesai memasak.
Jiali dan James sudah mulai bekerja dari malam itu sampai beberapa waktu ke depan. Sementara Chloe mendapat misi malam itu.
Jadi yang tinggal di rumah, hanya Daisuke dan Marito. Tinggal menunggu besok pagi, pemuda bernama Zoe yang akan tinggal dengan mereka.
"Kau masuk pasukan elite bukan? Karena dirimu, aku harus memikirkan jawaban tawaran menjadi tangan kananmu" keluh Daisuke seraya membaca buku.
"Menerima jabatan itu bahkan belum kupikirkan. Pasukan elite bukan targetku" jawab Marito santai.
"Jangan terbayang masa lalu, Leon" saran Daisuke tahu alasan sebenarnya Marito terus bertahan di dunia militer, walaupun banyak mendiskriminasi dirinya. "Pasukan elite juga isinya penduduk asli. Masyarakat bisa tambah membenciku nanti"
Daisuke menatap Marito dalam. "Sepertinya kau sadar muridmu seorang jenius" tutur Daisuke segera mengalihkan topik.
Marito diam. "Ini aneh, Dai. Dia bisa meniru gerakanku, dan gerakanmu hanya dalam sekali melihat" ujar Marito terheran.
"Dan satu lagi... halusinasimu yang super merepotkan itu, tidak bekerja padanya" Marito lagi-lagi diam. Ia juga menyadari hal itu.
"Sejak awal, tanpa mata pemberian dari guru kau sudah menciptakan sihir itu. Hanya saja kau menyempurnakannya setelah memiliki mata itu"
Daisuke menghentikan acara membacanya. "Dan sejak awal, kekuatan mata itu ialah menangkis segala jenis sihir bukan?" tanya Daisuke lagi.
"Tapi aku lebih sering menggunakan kekuatan ini untuk keperluan sihir buatanku. Aku lupa menggunakannya tadi pagi saat melawanmu" jawab Marito duduk di seberang Daisuke.
"Dan sepertinya, bocah itu memilikinya" ujar Daisuke. Marito menikmati teh tawar buatannya.
"Itulah alasan aku menggunakan sihir tadi. Lalu halusinasi buatanku tidak bekerja" jawab Marito juga menduga hal yang sama.
"Dia penuh dengan kejutan. Dia mirip seperti kau saat masih akademi. Kalian sama-sama jenius" gumam Daisuke terkekeh.
"Aku menemukan bungkusan rokok di atas meja kerjamu. Kau masih melakukan kebiasaan buruk itu?" tanya Daisuke memijit pelipisnya.
Marito kembali mencicipi teh nya. "Ya" jawab Marito dengan santai. "Kau tidak sayang paru-parumu? Aku tahu kau khatolik yang setia dan cinta Tuhan, tapi jangan terlalu cepat menemuinya" tutur Daisuke menghela nafas lelah.
"Meninggalkan kebiasaan lama itu sulit" jawab Marito lagi. "Jika Jiali mengetahuinya, kau pasti dihajar olehnya" Daisuke terus mengingatkan Marito untuk merubah kebiasaan itu.
"Aku hanya menikmati sebatang rokok saat pikiranku penuh, Dai" jawab Marito bangkit berdiri.
"Aku yang seorang laki-laki juga tidak merokok" gumam Daisuke menghela nafas lelah untuk kesekian kalinya.
(Nafas mulu si Dai)
"Kita sama saja, Dai. Saat kau memikirkan masalah, kau merepotkanku karena kau mabuk" ujar Marito meletakkan cangkirnya pada westafel lalu mencucinya.
Daisuke tertawa kecil memaklumi. "Besok aku ada misi di siang hari" lapor Marito. Ini adalah kebiasaan sehari-hari Marito.
"Jika kau menitipkan bocah itu lagi padaku, aku akan mengambil alih kuasa untuk mengajarinya. Kau mau?" ancam Daisuke yang sudah terlalu lelah menerima lemparan kewajiban padanya.
"Kau mau aku membawa bocah itu dalam misi berbahaya?" tanya Marito balik.
Dulu saat di akademi, Marito dan Daisuke berada di kelas yang sama. Ketika lulus, mereka satu tim yang berjumlah 3 orang. Seorang yang lain gugur dan kapten mereka gugur dalam perang.
Persahabatan yang sudah terjalin di antara mereka membuat keduanya sering menitip tugas atau misi.
"Ahk, yang benar saja. Aku juga ada misi besok" jawab Daisuke ikut pusing memikirkan siapa yang akan menjaga Sean.
Keduanya saling memijit pelipis. "Aku akan membawanya besok" ujar Marito tiba-tiba.
Daisuke terdiam beberapa saat. Lalu, "Hah?!"
......................
"Kau yakin akan ikut dengannya, Sean?" tanya Jiali memastikan ulang persetujuan Sean yang ingin ikut Marito mengerjakan misi.
"Tentu saja. Aku ingin tahu bagaimana guru menyelesaikan misinya. Sekalian belajar" jawab Sean yang antusias.
"Lihatlah, ujung-ujungnya pimpinan pasukan khusus meragukannya membawa bocah itu. Kau jadi turut ikut menemaninya" ledek Chloe tertawa kecil pada Daisuke yang memasang wajah masam.
"Baiklah, berhati-hatilah selama kau bersamanya" pesan James tertawa kecil. "Siap bos!" jawab Sean hormat. "Kami berangkat dulu" pamit Marito berjalan meninggalkan mereka.
"Bye bye, aku akan kembali nanti siang" pamit Sean melambai. "Berhati-hatilah" pesan Jiali.
Ketiga berjalan meninggalkan ibu kota menuju pedesaan. "Memangnya misi yang dikerjakan guru dan oniisan apa?" tanya Sean penasaran.
"Seorang buronan narkoba menetap di desa timur. Tugas kami menangkapnya" jawab Daisuke dengan santai. "Woah, berarti aku juga akan membantu kalian menangkapnya bukan?" tanya Sean antusias. "Boleh saja, tapi karena buronan ini lumayan berbahaya, aku membatasimu" jawab Marito tanpa menoleh.
"Bagaimana jika aku yang berhasil menjatuhkan buronan itu?" tanya Sean penasaran. "Kepala bisa langsung meluluskanmu masuk akademi" jawab Daisuke dengan santai.
"Sungguh? Besok aku harus mengirim surat pada kakek, bahwa aku ikut menyelesaikan misi kalian" gumam Sean bersemangat.
"Cukup lihat saja. Kau bisa mati jika mencoba menghadapi komplotan buronan itu" tutur Marito menatap Sean dengan tenang.
Sean menghela nafas dan memasang wajah masam. Beberapa saat mereka berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah desa dengan luas wilayah yang cukup besar.
"Kau melihat keberadaan mereka?" tanya Marito ketika ia sadar Daisuke menggunakan kekuatan matanya. "Apa energinya paling besar?" tanya Daisuke memastikan. "Ya" Daisuke mulai mencari keberadaan buronan itu.
"Sulit, di sini ada orang-orang dengan energi besar. Jadi energi mereka saling bersinar" jawab Daisuke dengan matanya yang kembali normal.
Sean yang mendengar percakapan itu ikut mencari seseorang yang menurutnya mencurigakan. "Guru, apakah dia orangnya?" tanya Sean menunjuk seorang pria yang berjalan melewati mereka.
"Dia tidak tampak mencurigakan" jawab Marito tidak yakin. "Tidak, lihat saja pupil matanya yang lebar. Bola matanya juga memerah" Daisuke yang mendengar itu kembali menggunakan kekuatan matanya. "Energinya, besar sekali" gumam Daisuke terkejut mengetahui hal itu.
Marito yang mendengarnya menatap Sean terkejut. "Benar bukan?" tanya Sean tersenyum senang tebakannya berhasil.
"Kita ikuti dia perlahan" ujar Daisuke dengan matanya yang kembali normal.
Ketiganya berjalan, namun Daisuke segera memisahkan diri. "Oniisan mau ke mana?" tanya Sean terheran. "Dia akan mencari jejak energinya yang terlihat" jawab Marito mempercayai Daisuke.
"Ke mana dia?!" gumam Marito terkejut ketika pria itu hilang di antara ramainya orang-orang. Sean kembali mencari keberadaan pria itu.
Sean memejamkan matanya mencoba mengingat ciri-ciri pria itu. Beberapa saat ia diam.
"Ahk! Aku tahu bagaimana cara mencarinya" ujar Sean mengingat ciri-ciri pria itu. Marito menatapnya terheran.
"Leher pria itu, punya tato bulan" Marito mengerutkan keningnya. "Kau yakin?" tanya Marito memastikan.
"Guru meragukan ingatanku? Kakek bilang, aku punya ingatan sehebat anjing"
"Baiklah, buktikan bakat ingatanmu itu"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments