Menata Mimpi

"Guru?!" gumam Sean terkejut ketika melihat siapa yang akan mereka hadapi di babak akhir. "Woah, kepala akademi sudah memilih orang merepotkan dan menggantinya dengan orang yang lebih merepotkan"

Zoe hanya bisa tertawa kecil mengetahui Marito yang akan menggantikan Daisuke.

"Kita akan mengulang kembali ujian, yang sudah didiskualifikasi tetap gagal. Berhati-hatilah, karena ada banyak perangkap di sekitar area ujian"

Sean memperhatikan Marito yang menggoyang-goyangkan lonceng itu. "Aku tidak selembut para pemegang peta, jadi bersiaplah" ujar Marito dengan wajah datar.

Beberapa peserta meneguk air liur mereka. "Baiklah, para pemegang peta dan pemegang lonceng ambil posisi" perintah pemuda itu dan mereka berpencar.

"Kudengar pemegang lonceng itu adalah lulusan terbaik pada angkatannya tahu. Dia hanya butuh 6 bulan untuk lulus" bisik salah satu rekan Sean.

"Hee, luar biasa. Dia pasti jenius" yang lainnya tentu kagum. Berbeda dengan yang lain, Sean jadi dibuat ragu menghadapi gurunya.

Pasalnya, selain karena dia adalah gurunya sendiri, Marito dikenal sebagai anggota militer yang ahli dalam membuat halusinasi. Hanya penyihir tingkat tinggi yang bisa menghadapinya.

"Ada apa Sean?" tanya salah satu rekan sekelompoknya. "Jika kita mengulang, maka strategi kita harus berubah untuk merebut peta. Pemegang lonceng juga punya kemampuan yang tidak bisa kita hindari. Siapa yang bisa bertarung tanpa melihat?"

Beberapa orang temannya mengangkat tangan. "Baiklah, mari kita susun strategi"

Di sisi lain,

"Strategi mereka sudah terbaca olehku kemarin. Apa Sean akan membuat kejutan baru?" gumam Zoe duduk di atas pohon memainkan gulungan benangnya, dan menunggu dengan setia kedatangan sekelompok bocah yang akan merebut peta darinya.

"Apalagi mereka akan berhadapan dengan guru Marito. Apa bocah-bocah itu bisa melawan halusinasi buatannya? Yang ku tahu, hanya oniisan yang kebal halusinasinya" gumam Zoe lagi.

Zoe segera menangkap sebuah senjata yang diberi nama kunai. Hampir saja itu mengenai kepalanya.

"Baiklah, kalian memulai permainannya" gumam Zoe turun dari pohon.

Baru saja ia mendarat, ia segera mengelak serangan seorang gadis kecil. "Apa yang sedang mereka lakukan ?" batin Zoe terheran. Ia terus mengelak serangan gadis itu.

Zoe berhasil mencampakkan gadis itu tanpa harus membuang banyak tenaga. "Menyerang asal-asalan itu hanya membuang tenagamu, adik manis" ledek Zoe memainkan kunai gadis itu.

Ia tampak pantang menyerah dan kembali menyerang. Kali ini lebih cepat. Zoe segera mengeluarkan jarum raksasanya dan menahan serangan senjata dari gadis bernama Ryutsuki Hanare itu.

Ketika mereka saling menahan, dari punggung gadis itu, ia mengeluarkan rantai emas.

"Rantai ?!" batin Zoe terkejut dan segera mengelak rantai itu yang mulai mengejarnya.

Sebelum itu,

"Aku, Jennifer, Petra, Violine, dan Ben akan bertugas menghadapi pemegang lonceng. Paul dan Joy kalian harus bisa membuat banyak cabang benang kak Zoe, Sheena dan Beatrix karena kalian bisa mengendalikan tumbuhan, maka gunakan kemampuan itu untuk melindungi Paul dan Joy"

"Ariel, Jeremy, Yeonrin, Arnetta, kalian jadi umpan untuk menghadapi pemegang lonceng. Dion kau harus merebut peta, dan Hanare menghadapi kak Zoe" Sean membagi tugas mereka.

"Kenapa aku?" tanya Hanare terkejut. "Karena kau dan benang milik kak Zoe bisa saling beradu"

Lalu,

"Ke mana dia ?!" batin Zoe mulai waspada ketika Hanare tidak lagi terlihat. Paul dan Joy menyerang dari samping.

"Kalian yang membuat benang-benangku tergulung bukan?" tanya Zoe tersenyum sambil menahan kedua tangan bocah itu. Ia berputar, lalu mencampakkan kedua bocah itu.

Untungnya, semak-semak bergerak meraih kedua bocah itu. "Alam?" gumam Zoe terkejut. Hanare kembali muncul dan menyerang Zoe dengan tangan kosong. Paul dan Joy maju melawan Zoe.

Untuk Zoe, tentu menghadapi 3 bocah itu tidak menyulitkan. Ia mengeluarkan benangnya. Dan ketiga benang itu mulai mengejar ketiga bocah itu.

Ketika jarum-jarum itu mulai mendekat. Sebuah akar pohon menghantam. Zoe mengelak.

"Woah, tampaknya dari wilayah Zoe... bocah-bocah yang dihadapinya menyulitkan" ujar Chloe di samping Daisuke yang ikut menonton.

Zoe terus mengelak akar-akar itu. "Dapat" gumam Zoe berhasil melilit dua gadis pemilik kekuatan tumbuhan itu. "Aduh!" gerutu Sheena dan Beatrix.

"Kalian lebih merepotkan dari perkiraanku" gumam Zoe kembali mengincar ketiga bocah itu.

Namun yang terlihat hanya Hanare dan Paul. "Di mana satu lagi ?!" batin Zoe dengan mata terpejam.

Hanare kembali mengeluarkan rantai emas itu. Kekacauan mulai terjadi di hutan itu. Dion keluar dari persembunyian dan menghadapi Zoe.

Zoe terus menangkis dan menyerang balik Dion. Sementara Hanare berhasil melepas Sheena dan Beatrix. Dion kini berlari.

"Menyebalkan" gumam Zoe mengeluarkan belasan jarum. Tentunya ini di luar perkiraan mereka.

Beberapa yang hanya bersembunyi juga harus berlari berhamburan. Ketika jarum-jarum hampir mengenai mereka.

"Apa yang-"

Zoe segera membuka matanya dan menyadari seseorang berhasil mengunci pergerakan mereka. "Untung saja" gumam Joy terkekeh.

"Setiap dia menggunakan benang dan jarumnya untuk mencapai kita, dia memejamkan mata. Tapi dia hanya mendeteksi energi yang diincar, bukan energi lain. Mungkin di sana ialah celah untuk kita"

Joy Nicolo, dia memiliki sihir unik yaitu mengendalikan bayangan di sekitarnya. Ia berhasil membuat mereka tidak bergerak.

"Dapat!" Dion berhasil merebut botol berisi peta. "Astaga, aku lupa kau bersembunyi" gumam Zoe terkekeh. Setelah botol itu berhasil direbut, Joy melepas bayangannya.

"Sepertinya jika diadu dengan kelompok lain, kalian bisa menang" ujar Zoe tersenyum. "Kami akan menghadapi mereka di babak perebutan lonceng" jawab Paul bersemangat.

"Baiklah, kalian bisa lanjut. Tapi ingat, di depan sana ada banyak perangkap" pesan Zoe dengan serius.

Mereka akhirnya lanjut. "Sean!" panggil Zoe ketika Sean mengikuti mereka. Sean menoleh.

"Guru itu merepotkan, maka kerahkan semua tenagamu" pesan Zoe. "Siap kak!" jawab Sean memberi hormat.

Mereka lanjut mengikuti instruksi. "Bagaimana jika kita salah jalan?" tanya Jennifer ragu. "Menurutku, yang banyak perangkap jalan yang benar" jawab Joy terkekeh.

"Bagaimana jika seluruh wilayah ujian ini isinya perangkap semua?" gumam Sean tertawa kecil mendengarnya.

"Sean, bagaimana kau bisa tahu cara menghadapi kakak pemegang peta itu? Melihat benang dan jarumnya saja itu mengerikan" tanya Violine takjub.

"Aku hanya melihat beberapa bagian darinya yang menurutku itu adalah kelemahannya" jawab Sean seraya terkekeh.

"Tapi itu di luar dugaanku. Aku bahkan tidak memperhatikan dia yang selalu memejamkan mata ketika mengejar kita menggunakan benang dan jarumnya" ujar Ben tertawa kecil.

"Sudahlah, mungkin kebetulan saja aku memperhatikan bagian itu. Hey, Paul... kita sudah sampai di mana?" tanya Sean segera mengalihkan topik mereka.

"Di..."

Langkah Paul terhenti. Di depan mereka, ada sebuah jembatan tua yang sudah rapuh. "Kau yakin kita di titik yang benar?" tanya Beatrix memastikan.

"Ini benar, kita berhenti di titik yang akurat" jawab Sean setelah ia memperhatikan peta itu.

"Bagaimana cara kita melewatinya? Jembatan ini tua sekali" ujar Ben ragu. "Biarkan aku mencobanya" jawab Sheena mencoba mengendalikan beberapa akar pohon di sekitarnya.

Namun akar itu terbatas. Ia tidak bisa mencapai ujung. "Kalau Sheena saja tidak bisa, maka aku juga tidak dapat melakukannya. Kapasitas kami sama" gumam Beatrix ragu.

"Biar aku mencobanya" tawar Paul segera. Dari tangan Paul, ia berhasil mengeluarkan elemen kayu. "Kayu?!" gumam Seam terkejut.

Kayu itu berhasil mencapai ujung. "Baiklah, kita bisa melewatinya" ujar Paul tersenyum senang. Teman-temannya menatapnya kagum.

Mereka berjalan melewati jembatan buatan Paul. Beberapa saat mereka berjalan, "Awas!" Sean segera menarik Jeremy.

Instingnya mengatakan ada sesuatu yang akan datang. Jalan yang akan mereka lewati tampaknya terjal dan curam.

"Jalan ini bisa membuat kita tergelincir ke bawah. Di depan sana pasti ada sesuatu yang menunggu kita sedari tadi" ujar Sean memperingatkan kelompoknya. Mereka berjalan secara perlahan.

Dan, "Suara apa ini?" tanya Ariel menangkap sebuah suara berisik dari kejauhan. "Suaranya seperti bola yang menggelinding" gumam Jeremy.

Mata Sean berfokus ke depan. "MENGHINDAR!" teriak Sean segera. Sebuah bola batu raksasa menggelinding ke arah mereka.

Mereka segera mengelak. Namun jumlah bola itu tidak hanya satu. "5 bola?!" gumam Dion terkejut.

"Jika kita menunggu semua bola itu menggelinding, maka kita membuang waktu" gumam Sean mulai berpikir. Bola-bola itu terus berdatangan, dan jumlahnya ternyata tidak hanya 5.

"Di sana, patung bergerak itu yang mendorong bola itu" tunjuk Hanare dengan penglihatan tajamnya.

"Sean berlarilah, Petra kau jadi perisainya. Aku akan mengulur waktu di sini!" perintah Dion terpikirkan sesuatu. Mereka menurut.

Kedua bocah itu mulai menghindar. Sean berlari secepat mungkin, dan Petra di belakangnya berlari sambil melindungi Sean dengan elemen pasirnya.

Petra Taraji, seorang bocah dengan elemen pasirnya yang kuat bertugas menjaga Sean.

"Joy, bisakah kau menggunakan bayanganmu untuk 13 orang?" tanya Dion memastikan. "Aku tidak tahu, tapi mari kita coba!" jawab Joy segera.

"Baik" gumam Dion memejamkan mata. Dan, "Apa ini? Kenapa batunya berhenti?" tanya Joy terheran.

"Gunakan bayanganmu sekarang dan berlarilah!" perintah Dion.

Dion Fynn, dia adalah bocah pengguna sihir ruangan. Di mana ia bisa mengendalikan waktu.

Joy akhirnya membawa teman-temannya yang kaku untuk berlari.

Dan, "Akhirnya!" gumam Joy dengan nafas tidak teratur. Mereka berhasil mencapai atas.

"Mengelak!" Sean dan yang lainnya mengelak segera. Patung pendorong bola batu itu bergerak hendak menangkap mereka.

"Biar aku saja!" Jennifer menyemburkan api dari bibirnya segera dan berhasil mendorong patung hingga tergelincir ke bawah dan masuk jurang.

"Untung saja" gumam Sean lega. "Baiklah, kita masih harus lanjut ke depan" ujar Sean segera.

Mereka kembali berjalan. "Kira-kira mereka memberi ujian apalagi untuk kita?" gumam Ben penasaran.

"Kudengar setiap tahunnya, kepala akademi selalu membuat sebuah tantangan melewati para penembak jitu. Peluru yang digunakan hanya peluru karet, tapi sangat menyakitkan" ujar Ariel bersemangat.

"Merepotkan sekali jika harus berhadapan dengan penembak jitu" keluh Dion malas. "Tapi kita bisa menggunakan trik tipuan jika mereka tidak mempunyai sihir mata" gumam Sean tersenyum.

"Kalau begitu, beritahu kami strategi selanjutnya! Sisanya nanti kita tinggal menghadapi pemegang lonceng" ujar Jennifer penasaran.

"Baiklah, akan kuberitahu"

Di sisi lain,

"Menyebalkan sekali, aku pikir dengan aku diganti.. aku bisa duduk tenang, nyatanya kalian justru membuatku jadi bagian penembak" keluh Daisuke pada Chloe yang sedang bersiap.

"Mata tembus pandangmu cukup berguna" ujar Chloe.

"Kelompok yang kuhadapi sedikit merepotkan. Tapi 10 orang di antara mereka gagal sejak awal" keluh salah satu dari mereka sambil terkekeh. "Aku banyak, 7 di antara mereka berhasil kudiskualifikasi" jawab yang lain.

"Kelompokku semuanya gagal" jawab yang lain. "Yang kuhadapi terlalu banyak bocah-bocah cengeng, tapi mereka berhasil maju membawa peta" masing-masing dari mereka mengeluh.

"Jika kalian berhadapan dengan kelompok 5, mungkin kalian akan kerepotan. Bocah-bocah di dalamnya sungguh cerdik" ujar Zoe segera sambil memasukkan peluru ke dalam senapan.

"Bocah bermata biru laut itu di sana bukan? Tampaknya dia jenius" ujar salah satu dari mereka. "Mengapa kau menduga demikian?" tanya rekannya.

"Aku mengecek setiap skor dan nilai. Ujian tertulis seputar pengetahuan miliknya hampir seluruhnya sempurna" jawab pemuda itu mencoba membidik.

Chloe, Daisuke, dan Zoe hanya saling menatap sambil tertawa kecil. "Yang terpenting, mereka tidak bisa sembarangan memberi tipuan. Seorang pemilik sihir mata tembus pandang ada di sini" ujar Chloe meledek Daisuke yang masih menahan sakit di punggungnya.

"Yang benar saja" gumam Daisuke masam. Semak-semak tampak bergerak. Para penembak sudah siap untuk menyerang.

"Kelompok berapa ini?" gumam Daisuke penasaran. "Ini kelompok 3" jawab Zoe segera. "Ingat, siapa yang terkena tembakan maka dia didiskualifikasi" tutur seorang pemuda mengingatkan mereka.

Kelompok itu mulai kalang kabut. Kerja sama tim yang buruk. Kelompok 3 akhirnya selesai, dilanjut kelompok 1, lalu kelompok 4, kelompok 2, hingga akhirnya kelompok 5 tiba di sana.

"Menyulitkan, apa di antara mereka ada yang memiliki sihir mata?" gumam Jennifer memastikan. "Biar aku saja!" tawar Yeonrin berbisik.

Hong Yeon-Rin, dia adalah gadis muda dengan kemampuan sihir alam yang unik. Dia bersahabat dengan hewan dan serangga apapun.

Hewan dan serangga yang menjadi temannya, akan diberi energi dan ia dapat menggunakan mereka untuk mendeteksi sihir apa yang dimiliki lawannya.

"Omi, pergilah dan terbang di sekitar mereka" perintah Yeonrin. Ia memejamkan matanya dan energinya terhubung pada burung biru itu.

Mereka menunggu. "Dapat, kanan ujung punya sihir mata!" lapor Yeonrin. Sean mengerutkan kening.

"Sulit sekali" gumam Sean berpikir. "Petra, apa kau bisa gunakan pasirmu untuk menjadi pelindung?" tanya Sean memastikan. "Tentu" jawab Petra mengangguk. "Yang terpenting di sini adalah kita tidak boleh tertembak. Dan cara yang ampuh adalah kita harus melumpuhkan penembak itu juga"

Mereka kembali berpikir. "Aku tahu" ujar Ben menemukan solusi.

Beberapa saat,

"Lama sekali, kapan mereka muncul?" gumam Chloe mulai bosan menunggu.

"MENGELAK!" teriak Daisuke ketika ia menggunakan sihir matanya. "Katana?!" gumam Daisuke terkejut ketika sebuah katana yang justru terlihat.

Ia mengerutkan keningnya, katana itu berisi energi manusia. Katana itu mulai mencoba menyerang mereka. "Apa yang-"

Daisuke merasakan pergerakannya terhenti. Zoe segera mengeluarkan benang dan jarumnya. Para penembak mulai kacau dan menembak asal.

Petra terus melindungi mereka dengan pasir miliknya. "Yang benar saja, mereka sangat merepotkan!" gumam Chloe mengelak sebuah suriken yang berdatangan.

Daisuke berusaha bergerak. Ia mencoba menjatuhkan sesuatu pada bayangan itu namun, "Serangga?!" gumam Daisuke terkejut ketika segerombol kupu-kupu meraih kunai di saku Daisuke.

"Tembak!" perintah Zoe memejamkan matanya. "Mengapa mereka melakukan pertarungan asal seperti ini ?!" batin Daisuke terheran.

Para penembak terus menerus menembak asal, namun tentu mereka kesulitan karena Petra di sana. "Sean, aku tidak bisa menahannya lagi.. tenagaku mulai habis" keluh Petra mulai kelelahan.

"Aku tidak bisa menahan bayangan ini lebih lama" keluh Joy tetap menahan.

"Tenanglah, aku bagi energiku" Violine memegang pundak Petra dan Joy. Mereka kembali segar.

Lalu, "Sial peluruku habis" keluh salah satu mereka. Satu persatu mereka mulai mengeluh. "Cepat ambil kotak peluru" perintah Chloe segera.

Namun, "Pelurunya-" ucapan mereka terhenti. "Di tangan kami" jawab seseorang.

"Sudah aku bilang, kelompok mereka ini merepotkan" gumam Zoe terkekeh. Sean memegang sekotak peluru karet. "Waktunya pembalasan" Ariel yang memegang senapan.

"MENGELAK!" situasi berbalik ketika bocah-bocah itu membalas dan mereka bisa melewati tantangan penembak jitu di sana.

Beberapa saat,

"Melelahkan sekali, untung saja mereka mengganti batas waktu sebelum matahari terbit" keluh Dion mengatur nafasnya.

"Perjalanan kita sudah hampir selesai. Tinggal menghadapi musuh utama" tutur Sean terkekeh. Hari semakin sore, dan mereka memutuskan untuk beristirahat sebentar.

"Dengan tim kita yang seperti ini, aku berharap kita semua bisa lulus" ujar Ariel tertawa kecil. "Semoga saja, menghadapi pemegang lonceng adalah tantangan terberat di ujian akhir ini"

Hening beberapa saat. "Baiklah, waktunya kembali bekerja keras. Kita harus kembali ke pos awal sebelum matahari terbit" Sean mengajak tim nya itu untuk kembali bersemangat.

"Baiklah, kita harus bersama sampai akhir!" Joy mengajak mereka untuk tos.

......................

"Merepotkan sekali" gumam salah satu dari mereka kelelahan menghadapi Marito.

"Menyerang tanpa strategi itu percuma saja, nak" ujar Marito memainkan lonceng itu dengan santai. "Woah, sepertinya kelompok terakhir tiba" gumam Marito tersenyum sinis.

"Kalian ingat bukan?" tanya Sean berbisik. "YA!" jawab Jennifer, Petra, Violine, dan Ben serentak. Mereka menutup mata mereka.

"Ayo bangkit, kita tidak boleh ketinggalan!" ujar kelompok lain ikut bersemangat. "Sepertinya kalian mulai bersemangat" gumam Marito menyiapkan kuda-kudanya dan menyimpan kembali lonceng.

Para peserta mulai maju menyerang. Namun mereka tidak tahu, Marito mempunyai sihir mata yang akan merepotkan mereka.

"Ben!"

"Baik!"

Ada ribuan kertas yang muncul di sana. "Kertas?" gumam Marito dengan tatapan tajam dan senyuman sinis. Mata birunya sangat menyala.

Berbeda dengan keempat temannya, Sean tidak menutup matanya.

"Kenapa kau tidak ?"

"Aku kuat imun sepertinya, maka Joy fokuslah untuk membuat celah pada gerakan kami"

"Baiklah"

Kali ini, Sean maju dan menghadapi Marito. "Cepat sekali" gumam Yeonrin terkejut.

Joy berhasil menahan pergerakan Marito. "Sial" gumam Marito berdecak kesal.

"Jennifer!"

"Dimengerti!"

Jennifer menyemburkan bola api raksasa. Marito menatap bola itu terkejut. Dan Joy melepas bayangannya. "Menghilang?!" gumam Jennifer terkejut. "Di belakangmu" Jennifer tercampak jauh.

"TUTUP MATAMU JOY!" teriak Sean ketika Marito menatap mata Joy. Namun terlambat.

"Apa ini?!" Joy mulai panik. "Biar aku!" ujar Violine segera memejamkan matanya. "Innerer zug" gumam Violine. Ia berhasil masuk ke pikiran Joy.

Marito mengerjap. Sean kembali menyerang Marito dengan apa yang ia pelajari. Setiap Marito ingin menyerang balik, teman-teman sekelompoknya terus melindunginya.

Perlahan semua peserta mencoba merebut kembali. Hingga tengah malam tiba, "Aku.. sudah sangat lelah," gumam Joy sudah mencapai batas.

Begitu juga dengan Sean. Ia sudah terkapar dan lemas. Sementara Marito ia mengatur nafas dan duduk di pohon. "Loncengnya. ." gumam Marito menyadari lonceng itu tidak lagi berada di sakunya.

"Kau lengah... guru" Sean tersenyum penuh kemenangan seraya mengangkat sebuah benda yang menjadi target utama mereka.

"Benar-benar merepotkan" gumam Marito tersenyum tenang. "KITA BERHASIL!" teriak mereka senang.

"Ayo, kita harus kembali ke pos awal!" Sean segera bangkit dan mereka mulai berlari diikuti oleh teman-teman mereka.

Matahari tampak mulai naik, mereka semakin cepat berlari. Di sisi lain, Daisuke yang baru saja bangun sudah menunggu mereka di pos awal.

"Wah, sepertinya Marito gagal mempertahankan lonceng tahun ini" gumam Daisuke terkekeh ketika melihat kelompok Sean dari kejauhan.

"Ayo cepat anak-anak, sepuluh... sembilan... delapan.. tujuh.. enam... lima... empat..."

Sean dan yang lain semakin bergegas. "Tiga... dua..."

"Satu..."

Bertepatan dengan tibanya mereka, matahari terbit. Para peserta terjatuh kelelahan.

"Sean! Apa kau baik-baik saja?!" Jiali menghampiri Sean yang kembali terkapar. "Lelah sekali..." gumam Sean terkekeh.

Orang tua dan wali para peserta di sana, berhamburan menghampiri keluarga mereka.

Marito baru saja keluar dari hutan diikuti para penembak. Mereka sangat berantakan dan babak belur. "Apa yang kalian lakukan padanya?" tanya James terkejut melihat penampilan itu.

"Kami melakukan apa yang diperintahkan" jawab Sean tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.

"Baiklah, kami akan segera mengumumkan siapa yang lolos beberapa saat lagi" ujar seorang pemuda.

"Sebelumnya kami ingin bertanya pada... Sean Colbert" Sean yang mendengarnya tentu terkejut. "Kau adalah orang yang berhasil merebut lonceng. Apa kau menerima dengan lapang dada, jika orang yang tidak membantumu juga lulus?" tanya pemuda itu dengan tegas.

Sean terdiam dan ia menatap beberapa peserta yang melihatnya. "Jawablah dengan jujur" saran Marito di samping bocah itu.

Sean menunduk. Lalu ia kembali tegak sambil tersenyum. "Aku bisa meraih lonceng itu karena mereka membantuku untuk mengecoh pemegang lonceng. Jadi aku terima bila mereka juga lulus, tanpa mereka aku tidak akan berhasil"

Marito yang mendengarnya tersenyum bangga. "Baiklah, maka dari itu... peserta yang bertahan sampai kembali ke pos, kami nyatakan..."

"SELAMAT KALIAN LULUS!"

Para peserta melompat kegirangan. "SEAN TERIMAKASIH BANYAK" rekan-rekan Sean berhamburan memeluknya.

"Kau juga pernah mengalaminya bukan?" tanya Daisuke di samping Marito. "Dia seperti magnet, menarik banyak orang" gumam Marito tersenyum.

Malamnya,

"Di mana Sean?" tanya James baru saja kembali dari rumah sakit. "Dia tidur sangat nyenyak, dia pasti lelah seharian" jawab Marito bersiap.

"Kau mau ke mana?" tanya Chloe terheran. "Misi lagi dan lagi" jawab Daisuke dramatis.

"Dia benar-benar merepotkanku" ujar Marito mengingat pertarungannya dengan Sean. "Kalau saja kotak peluru itu kami jaga, mungkin mereka sudah gagal" Zoe juga ikut bercerita.

"Yang terpenting dia sudah melakukan yang terbaik. Jangan lupa untuk mengabari kakek dan kakak laki-lakinya itu" pesan Jiali sibuk mencuci piring.

"Aku sudah mengirimnya tadi sore. Besok pagi aku hanya akan menjemput seragam dan perlengkapannya" gumam Marito.

"Dia berhasil, kerja kerasnya berbuah manis" Marito tersenyum.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!