Jenius

"Maaf" ujar Daisuke tidak sengaja menabrak seorang pria. "Hei, lihat-lihat jalanmu! Tidak bisakah kau gunakan matamu?" ketus pria itu.

Daisuke hanya diam. Dan lanjut berjalan. "Hey, dasar kurang ajar!" pria gemuk itu hendak meninju Daisuke.

Namun, "Astaga!" orang-orang di sekitar mulai menjauh ketika Daisuke terlempar. "Menyebalkan" gumam Daisuke menahan rasa kesalnya.

Tidak ada bagian yang terluka. Pria itu pergi dengan tawa penuh kemenangan meninggalkan Daisuke yang terkapar.

"Hey, nak. Apa kau baik-baik saja?" tanya seorang kakek membantu Daisuke berdiri. "Terimakasih, kek. Aku tidak apa" jawab Daisuke tersenyum seolah tidak terjadi apapun.

Namun melihat sorot mata pemuda itu yang sulit dibaca pikirannya, kakek itu menatap ragu.

"Aku pergi dulu, kakek. Maaf karena aku sudah membuat kegaduhan" pamit Daisuke segera meninggalkan orang-orang yang menatapnya terkejut. Daisuke mengenakan tudungnya.

Mata putihnya kembali muncul dan menoleh ke arah pria yang meninjunya tadi.

"Jadi kau salah satunya?" gumam Daisuke tersenyum misterius.

Di sisi lain,

"Gudang jerami?" gumam Marito ketika pria yang mereka ikuti memasuki sebuah gudang jerami di lahan kosong yang tampaknya tidak diurus.

"Apa kita juga perlu masuk ke dalam guru?" tanya Sean berbisik. "Sepertinya ada beberapa orang di dalam" jawab Marito ragu.

Sejujurnya ia bisa menerobos masuk sendirian, tapi Sean yang ikut bersamanya akan sedikit menguras tenaganya juga, jika ia asal bertindak.

"Pergi dan cari Daisuke, aku akan coba mengintai sementara" perintah Marito dengan tenang.

Sean tidak keras kepala dan menurut. Ia membiarkan Marito di sana sendirian dan mulai mencari keberadaan Daisuke.

"Aduh, kalau mencari oniisan... bagaimana caranya?" gumam Sean mulai berpikir. Bocah itu akhirnya menemukan ide lain.

Ia berlari menuju sebuah tangga gedung, yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Dari balkon, Sean mulai mencari Daisuke.

Ketika ia berhasil menemukan di mana Daisuke berada, ia kembali turun dan mengejar pemuda itu. "Oniisan!" panggil Sean ketika jarak mereka sudah semakin dekat.

"Di mana Leon?" tanya Daisuke terheran ketika tidak menemukan keberadaan Marito.

"Kami sudah menemukan komplotan itu"

Sementara Marito,

"Joe sudah membuatkan kita akses untuk masuk ke kota. Tenang saja, hari ini kita akan mendapat banyak keuntungan"

Seorang pria berbadan kekar tampaknya pemimpin komplotan itu. Marito mengerutkan keningnya mendengar itu. Lagi-lagi, pria yang tidak bersahabat dengannya mempunyai kaitan dengan misi yang sedang ia tangani hari ini.

"Tapi kita tidak bisa gegabah bos, gerbang kota dijaga oleh para penjaga" ujar seorang pemuda. "Kita bisa membayar penyihir hebat untuk membunuh mereka, lalu berpura-pura menggantikan mereka"

Marito tersenyum sinis mendengarnya. Marito yang biasanya jarang tersenyum berhasil dibuat tertawa kecil mendengar rencana yang menurutnya terlalu ceroboh dan tidak diperhitungkan.

"Chloe adalah kepala pasukan jaga. Kalian pikir, menghadapinya begitu mudah ?" batin Marito tertawa kecil.

"Tapi Joe bilang, kepala militer itu sedang mengirim seseorang untuk mencari keberadaan kita" ujar salah satu dari anak buah itu.

"Jika hanya satu orang, kita bisa membunuhnya" jawab bos itu dengan penuh kemenangan.

Marito menepuk jidatnya tidak habis pikir. Yang hari ini mencari mereka justru tiga orang, walaupun di antaranya masih bocah berusia 11 tahun. Tapi tetap saja, mereka tidak bisa diremehkan. Terutama, Sean.

"Bos, kudengar mereka mengutus lulusan terbaik" ujar anak buah itu kembali mengingatkan bos nya. "Memangnya siapa lulusan terbaik itu? Kita bisa menjadikannya mainan untuk beberapa saat"

Marito tetap tenang. Emosinya tidak bisa memuncak, entah karena apa. Ia seakan terbiasa diremehkan oleh lawannya.

Marito menghela nafas memaklumi. "Bos, sepertinya ada penyusup. Mereka seorang pemuda dan seorang bocah" lapor seseorang.

Marito yang mendengarnya tentu terkejut. "Berani sekali mereka, cepat bawa mereka ke hadapanku! Aku akan memenggal leher mereka!"

Marito yang mendengarnya bangkit dan menunjukkan dirinya.

"Wah, kenapa ada seorang gadis di sini?" tanya pria berbadan kekar itu tersenyum sinis. Marito mengeluarkan identitasnya sebagai seorang anggota pasukan khusus.

"Dia-"

"Hahaha. Kau pikir aku takut dengan instansi militer?"

Anak buah yang sudah mengetahui nama asli Marito justru mulai mundur perlahan. "Apa yang kalian lakukan?!" tanya pria itu terheran.

"Terimakasih karena sudah membantuku memenjarakan Joe. Sayangnya, kau harus kuseret ke pengadilan hari ini" gumam Marito memasukkan kembali kartu identitasnya.

"Hee, kau merasa kau hebat?" tanya pria itu tersenyum penuh kemenangan. "Bos, dia Leon Marito yang dimaksud tuan Joe"

Pria berbadan kekar itu terdiam dengan ekspresi yang berubah, ketika seorang anak buahnya membisikkan nama lengkap Marito.

"Daripada kau banyak bicara dan membuat kepalaku sakit, lebih baik kau mati saja" ujar seorang pemuda dengan sombong.

Ia menempelkan sebuah pistol ke pelipis kanan Marito. Gadis itu tetap diam. Ia memejamkan matanya lalu, "Tutup mata kalian!" perintah pria berbadan kekar itu.

Marito menatap pria yang mengancamnya. "Mata apa itu? Kau penyihir? Seharusnya jika aku melakukan ini, kau langsung mati" gumam pria itu sambil merokok.

Ia menarik pelatuk dan, "DORR" Marito tergeletak dan dari kepalanya, darah segar mulai mengalir.

"Hahaha. Mudah saja bukan?" tanya pria itu beralih menatap rekan-rekannya. Namun, "Kau salah perhitungan tuan," suara itu berhasil membuat pria itu terdiam kaku.

Suasana yang dilihatnya berubah menjadi hitam putih. Ia merasakan sakit luar biasa pada perutnya, dan ketika ia menoleh, mata gadis yang menyerangnya tampak seperti cahaya biru.

Orang-orang di sana diam dengan wajah memucat takut. "Buronan yang sudah dicari selama 3 tahun, mati di tanganku" gumam Marito dengan tatapan kosong namun tampak mengerikan.

Melihat salah satu anak buah mereka terkapar, pria berbadan kekar itu berubah marah. "Tangkap dia!" perintah pria itu.

Satu persatu mereka mulai maju. Marito dengan mudah menangkis setiap serangan.

Di sisi lain, Daisuke dan Sean berhasil masuk ke gedung tua itu. "Lalu yang akan kita cari apa oniisan?" tanya Sean mengikuti Daisuke yang mengendap-endap di corong asap.

"Menemukan bukti transaksi, catatan korban pembunuhan dan pemerasan, dan uang negara yang dirampok" jawab Daisuke dengan susah payah merangkak seperti bayi.

"Sean!" Daisuke segera menarik Sean ketika mata putihnya muncul. Bocah itu hampir saja terkena serangan dari bawah yang bisa membunuhnya.

"Wah, jalan satu-satunya adalah turun ke bawah" gumam Daisuke menatap sebuah lubang.

Dan, "Hampir saja" gumam Daisuke dengan reflek cepatnya menarik Sean lagi. Serangan besar menghantam dari bagian belakang.

Kini, corong tempat mereka berada hancur. Daisuke segera menarik Sean ke tempat lebih tinggi untuk berpegangan. Suara tembakan menghantam perlindungan mereka.

Untungnya, Daisuke berhasil membawa dirinya dan Sean ke tempat aman.

"Keluarlah!" perintah orang itu lagi. Ia mengeluarkan bola api dan menyerang secara asal.

Tentu karena hal itu, Daisuke dan Sean terpisah.

"Keluar atau aku ledakkan tempat ini!" ancam pemuda itu segera. Daisuke yang mendengarnya terdiam beberapa saat.

Sean yang membawa sebuah buku segera menulis sesuatu di sana.

"Tunjukkan saja dirimu... ada sesuatu, yang aku.. rencanakan?" gumam Daisuke dibuat bingung. Sean mengangguk meyakinkan Daisuke.

Pemuda itu tersenyum simpul. "Yah, baiklah" jawab Daisuke keluar dari tempat persembunyiannya. Kening pemuda itu berkerut, ia tidak salah lihat.

Daisuke berhasil menyelinap ke ruangan itu, dengan seorang bocah tadi. Ke mana bocah itu?

Pemuda itu menarik Daisuke dan memborgolnya. Pada kesempatan itu, Sean perlahan naik menuju lantai kedua gedung itu.

Mata bocah itu begitu teliti. Saat ia mengintip melalui lubang ventilasi corong, ia menemukan sebuah pistol dan beberapa peluru kecil yang terletak pada lantai dua, dan disimpan di dalam kotak kaca.

"Dikunci" gumam Sean bingung. Namun tidak kehabisan akal, dia mengambil sebuah batu memecahkan kotak kaca itu.

Mendengar adanya suara pecahan, pemuda yang menahan Daisuke tentu terkejut. "Jujur saja, kau menyelinap ke sini dengan siapa?" tanya pemuda itu dengan ketus.

"Aku sendiri. Rekanku sudah lebih dulu masuk" jawab Daisuke santai. Sementara Sean mulai memasang peluru pada pistol itu.

"Ini jenis peluru karet. Hanya memberikan luka memar. Tapi ini peluru asli"

Sean menatap peluru itu. Ia ingat bagaimana cara memasang, dan membedakan jenis peluru.

"Jika aku menembak peluru asli padanya, dia akan menggunakan oniisan sebagai tameng. Maka aku akan menggunakan peluru ini" gumam Sean mulai bersiap.

Ia perlahan turun, dan pemuda itu tampak sudah waspada. Insting pemuda itu mengatakan bahwa Daisuke pasti membawa sesuatu yang merepotkan.

"Mari kita lihat apa rencanamu" batin Daisuke tersenyum tenang.

Sean sengaja menembak ke arah yang salah. Dan alhasil, pemuda itu mulai menghujani Sean dengan berbagai tembakan.

Bocah itu bersembunyi di balik dinding. "Pecahan kacanya jatuh ke sini?" gumam Sean terkejut ketika melihat ada beberapa serpihan kaca dan beberapa ranting kayu.

Otak bocah itu kembali bekerja. Ia mengumpulkan serpihan yang besar dan ranting itu.

Sean kembali dengan sengaja menembak. Benar saja, pemuda itu menarik Daisuke dan menerima tembakannya. "Kurang ajar, sebenarnya ini tidak sakit karena aku membaluri tubuhku dengan energiku. Tapi tetap saja dia sengaja mencoba membunuhku" batin Daisuke terkejut.

Namun pemuda itu sadar, ketika peluru yang ditembak ialah peluru karet.

Pemuda itu kembali menembak asal. Alhasil, tanpa sadar pemuda itu membuang banyak peluru.

Di kesempatan itu, Sean mengisi pistol dengan peluru asli. Ia mengambil tali dari dalam tas nya, dan mengikat serpihan kaca pada ranting kayu.

Bocah itu lalu menyambung ranting kayu pada ranting lain. Ia mengikatkan ranting kayu itu pada kakinya. Bocah itu mulai membuat posisi merangkak. Kaki kanannya yang terikat benda pengecoh itu ia angkat, agar pemuda itu bisa melihatnya. Dan matanya melihat bayangan dari serpihan kaca itu.

Pemuda itu menembak serpihan kaca. "Dia penembak jitu dan akurat sekali. Instingnya juga sangat kuat. Satu kotak peluru berisi 54, dan ia sudah menghabiskan 44 di antaranya tadi. Maka sisa 10. Pelurunya asli"

Batin Sean yang teliti. Daisuke yang memperhatikan tindakan itu dibuat kaget.

Sean kembali mengecoh, dan pemuda itu terus membalasnya. "Sial, sudah habis" gumam pemuda itu kesal ketika peluru terakhir sudah tertembak.

Dan, "DORR" peluru itu mengenai tubuh Daisuke. Pemuda itu tersenyum ketika Daisuke tidak sadarkan diri. Namun, "Sialan!" gumam pemuda itu terkejut ketika tembakan terakhir mengenai dadanya.

"Kau salah menghadapi orang, teman" ledek Daisuke melepas borgol dengan kekuatannya.

Pemuda itu terjatuh dan terkapar. Untungnya peluru yang mengenai dirinya hanya peluru karet. Pemuda itu akhirnya tidak sadarkan diri.

"Tepat sasaran" gumam Sean keluar dari persembunyian.

Daisuke menatap bocah itu dengan tatapan bangga. "Sekarang kita ke sana" ujar Daisuke mendengar suara gaduh dari ruangan di sebelah mereka. Keduanya berlari meninggalkan tempat itu.

Sesampainya di sana, Marito tampak mulai kelelahan. Ia sudah menutup sebelah matanya dengan posisi tubuh berlutut.

Mata Daisuke kembali putih dan segera mengelak sebuah serangan dari belakang.

Sementara Sean mengambil kesempatan untuk menghampiri Marito. Namun belum sampai ke tempat, "Sean-" Marito tercampak sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

"Guru!" bocah itu ditahan seorang pria. "Jangan ikut campur bocah. Kami butuh matanya" ketus pria itu tersenyum sinis.

"Leon!"

"Jangan sentuh, guru!"

Seorang pemuda muncul dan dengan beringas meninju Marito.

"Hentikan!"

"Berhentilah bocah"

Daisuke berdecak kesal karena ia tidak bisa menolong Marito yang mulai dihajar.

"Hentikan! Lepaskan guru!"

"Bocah, lebih baik kau mati"

Sean terbanting. "Sean!" Daisuke jadi bingung.

Namun, "Woah.. tampaknya, kau pantang menyerah" gumam pria itu kesal.

"Sudah aku bilang, jangan sentuh dia!"

Angin mulai berhembus kencang seperti angin topan di sana. Mata Sean berubah jadi biru menyala.

"Merepotkan" gumam pria itu mengeluarkan sebuah sihir. "Kekuatanku?!" gumam pria itu terkejut ketika sihirnya lenyap.

Dan, "Kekuatan macam apa itu?!" gumam pria berbadan kekar itu terkejut ketika Sean meninju pria itu hingga terlempar jauh.

Daisuke yang melihat itu terkejut. "Sialan!" gumam Daisuke kesal dan meninju balik seorang pemuda yang menyerangnya barusan.

"Merepotkan" gumam Marito segera meninju pemuda yang menghajarnya.

Marito menatap bocah itu khawatir. Ketika setiap orang mulai maju menyerang Sean, mereka justru tercampak jauh.

Bahkan saat seseorang menyerang menggunakan sihir, kekuatan mereka justru menghilang.

Saat semua musuh sudah terkapar lemas, Sean justru tidak terkendali.

"Dai!"

"Baiklah"

Daisuke maju ke depan dan menggunakan kekuatan matanya. "Energi macam apa ini?!" gumam Daisuke terkejut ketika melihat seberapa besar energi di tubuh Sean.

Sementara Marito dengan sisa tenaganya menggunakan kekuatan matanya lagi.

"Kau merepotkan saja"

......................

"Di mana aku?" gumam Sean perlahan membuka matanya. "Sean, akhirnya!" Jiali yang menjaga Sean merasa lega.

"Kau baik-baik saja, Sean?" tanya Chloe yang juga di ruangan itu.

"Kepalaku sedikit sakit" jawab Sean perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. "Apa kau merasa ingin muntah? Akan kupanggilkan James kemari" Jiali memastikan.

"Tidak, rasanya seperti terbentur saja" jawab Sean memegang kepalanya.

"Ini di mana?" tanya Sean memperhatikan ruangan itu. "Rumahku, rumah dinas diperbaiki" jawab James muncul di pintu.

Sean diam beberapa saat. "Guru dan oniisan di mana?" tanya Sean mulai panik.

"Kau bisa melihat keadaan mereka di kamar sebelah" jawab James tertawa kecil.

Sean bangkit dan segera menghampiri mereka di sebelah kamar ia beristirahat.

"Mereka baru tidur tadi pagi. Ada banyak memar di tubuh Dai, sementara Jiali masih harus memulihkan keadaan mata Marito"

Sean yang mendengarnya menatap James terkejut. "Aku tahu kenapa tubuh oniisan bisa memar. Tapi apa yang terjadi dengan mata guru?" tanya Sean semakin khawatir.

"Tadi malam, Marito kelelahan akibat terlalu lama menggunakan sihir matanya. Matanya masih jernih, dan ia bilang pandangannya kabur. Ada kekuatan besar yang mungkin ia keluarkan"

Ekspresi bocah itu merasa bersalah. "Sudah, tenanglah. Mereka juga sangat khawatir dan panik ketika membawamu ke rumah sakit"

Sean menunduk dalam. "Sarapanlah, mungkin sebentar lagi mereka sudah bangun" saran James menenangkan pikiran bocah itu.

Bocah itu beranjak menuju dapur. Ia duduk di meja makan merenung sejenak. "Jangan melamun" tegur seseorang memecah lamunan Sean. Daisuke. Ia sudah bangun.

"Oniisan sudah bangun?" tanya Sean terkejut. "Ya, karena aku cukup tidur. Gurumu yang tidak" jawab Daisuke mengambil sebotol susu.

Daisuke bangun dengan telanjang dada. Sean bisa melihat jelas luka memar akibat peluru karet yang ia tembakkan. Namun Sean makin terkejut ketika Daisuke membelakangi dirinya.

Ada banyak luka gores, sayatan, bahkan luka bakar kecil di sana.

"Ada apa?" tanya Daisuke terheran. "Luka oniisan banyak sekali" jawab Sean terkejut. "Ahk, ini luka bekas selama misi-misi beberapa tahun lalu" gumam Daisuke tertawa kecil.

"Luka bakar itu juga?" tanya Sean penasaran. Daisuke diam beberapa saat. Namun ia menyunggingkan sebuah senyum.

"Ini hanya luka kecerobohanku" jawab Daisuke terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kau mau sarapan? Aku akan buatkan makanan untukmu" tawar Daisuke mencari beberapa bahan makanan.

"Roti selai saja dan susu" jawab Sean terkekeh.

Beberapa saat,

"Kau sudah bangun?" tanya Daisuke tahu Marito berjalan menuju ruang tamu sambil memegangi dinding. Matanya ditutupi kain.

"Apa kau selalu menggunakan sihir matamu itu?" tanya Marito terheran. "Hahaha. Aku bisa membedakan langkah kakimu dengan yang lain"

Marito memilih duduk di sebelah Daisuke yang sedang membaca.

"Di mana dia?" tanya Marito menyadari muridnya tidak ada di rumah. "Jiali mengajaknya ke rumah sakit" jawab Daisuke segera.

Sejenak mereka saling diam. "Apa penglihatanmu sudah membaik? Mengejutkan kau sampai menggunakan kemampuan sihir mata tingkat tinggi" tanya Daisuke penasaran.

"Jika aku tidak melakukannya, ibu kota juga akan hancur akibat energi besar itu" jawab Marito bangkit berdiri menuju dapur dengan hati-hati.

"Sepertinya kau benar, dia anak yang jenius" ujar Daisuke mengganti halaman bukunya.

"Kenapa kau bisa yakin dengan asumsi itu?" tanya Marito terheran. "Karena aku menyaksikannya sendiri" jawab Daisuke menutup matanya.

Ia juga merasa haus, jadi ia ke dapur ingin membuat segelas kopi.

"Apa yang kau lihat memangnya?" tanya Marito penasaran. Ia menikmati sarapan buatannya.

"Pertama, dia bisa membedakan peluru karet dengan peluru asli"

Marito segera menghentikan acara makannya. "Mana mungkin bocah seusianya mengenal benda semacam itu" ketus Marito tidak percaya.

"Kalau kau tidak percaya tanyakan saja perbedaan kedua peluru itu pada bocah itu" tutur Daisuke tertawa kecil.

Kening Marito mengerut. Ia kembali menikmati sarapannya. "Lalu selanjutnya?" tanya Marito penasaran. "Dia bisa mengetahui kelebihan seseorang hanya dalam sekali lihat. Dugaanku, dia punya ingatan yang bagus"

Marito mengangguk-angguk kecil. "Aku sudah menduga kau akan mengatakan itu. Lalu?" tanya Marito lagi menunggu laporan selanjutnya.

"Terakhir, dia membuat strategi yang akurat" Marito kembali menghentikan acara makannya.

"Strategi?" gumam Marito tidak menduga hal itu. "Jika kau menyaksikannya semalam, kau juga akan terkejut mengetahuinya" titah Daisuke selesai membuat kopi.

"Sungguh, menurutku dia jenius. Sangat disayangkan jika bakatnya tidak diasah" tambah Daisuke duduk di seberang Marito.

Marito tertegun mendengarnya. Ia jadi semakin penasaran, apalagi setelah Daisuke menyebutkan kesaksiannya. "Besok aku ada misi, aku akan membawanya lagi" kata Marito segera.

"Yang benar saja, matamu bahkan belum pulih. Bagaimana jika kau terbunuh? Bocah itu juga akan terbunuh nanti" Daisuke tentu menentang rekannya itu.

"Masalah mata, itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Aku ingin tahu bagaimana dia menghadapi lawan lebih kuat dari kemarin"

Marito mencuci piring bekas makanannya. "Kau membuatku tidak beristirahat, nona" gumam Daisuke menghela nafas lelah.

"Kau tidak perlu ikut, cukup aku dan dia saja yang pergi" sahut Marito segera.

"Dan kau pikir kepala akan membiarkanmu berangkat bersama seorang bocah? Dia pasti akan menunjukku lagi karena kita setim"

Marito menghela nafas mengetahui hal itu. Pasalnya memang benar. Jika seseorang yang diberi misi mengalami gangguan kesehatan, maka rekan setimnya selama dinas mula akan menemaninya.

"Yang benar saja, sejujurnya hal seperti ini merepotkan" gumam Marito kesal. "Sudahlah. Kau baru bisa menyelesaikan misi itu jika matamu kembali pulih" tutur Daisuke bersabar.

"Misinya akan jadi tumpukan hutang pekerjaan" jawab Marito segera. "Kenapa kau jadi ingin terus menerus menjalankan misi?" tanya Daisuke terheran. Marito tidak pernah seperti ini.

Sejenak ia terdiam. Ia tidak segera menjawab. Meski matanya ditutupi kain, raut wajah ragu tergambar jelas.

"Aku ingin menghindari pertanyaan dari kepala" jawab Marito segera. "Bukanlah lebih baik kau jadi bagian pasukan elite?" tanya Daisuke terheran.

Marito diam beberapa saat. "Dulu itu adalah impianmu saat masih di akademi. Sekarang ketika kau mendapat kesempatan itu, kenapa kau justri menolaknya?" tanya Daisuke lagi.

Cara berpikir Marito tidak bisa diprediksi. "Ada alasan lain" jawab Marito memilih kembali ke kamar ia beristirahat.

Daisuke menghela nafas mendengarnya dan menatap kepergian rekannya itu.

"Aku sangat membenci kepribadianmu yang sekarang" gumam Daisuke memejamkan matanya.

Di sisi lain,

"Penjahat. Kalian sudah berjanji akan pulang dalam keadaan hidup" gumam Marito menikmati angin dari jendela.

"Guru" panggil seseorang memecah lamunan Marito. "Kau sudah pulang, Sean?" tanya Marito memastikan. "Ya, aku membawakanmu makanan. Ayo kita nikmati bersama" jawab Sean segera.

Bocah itu duduk di pinggir ranjang. "Apa yang kau lakukan dengan Jiali di rumah sakit?" tanya Marito penasaran.

"Kakak bilang dia akan menyuntik pasien, jadi aku ingin melihat bagaimana prosesnya" jawab Sean antusias. Ia mulai membuka kotak makanan yang dibelikan Jiali tadi.

"Kau tertarik dunia medis?" tanya Marito terheran. "Bisa dibilang" jawab Sean terkekeh.

Namun ia segera terdiam menatap gurunya itu. "Ada apa?" tanya Marito sadar.

"Apa yang terjadi pada mata guru? Apa aku menyakitimu?" tanya Sean balik. Marito terkejut mendengarnya. "Tidak. Aku hanya menggunakan benda ini terlalu lama" jawab Marito seraya mengacak pelan rambut Sean.

Sean yang mendapat perilaku itu terkejut. "Guru mau aku suapi atau tidak?" tawar Sean segera.

"Sudah biar aku saja" jawab Marito menerima makanan itu.

"Jika guru sudah pulih, bisakah guru melatihku?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!