Hari Pertama

"Selamat pagi para calon ksatria! Selamat datang di Akademi Militer Hitler!"

Suasana meriah kini menyelimuti lapangan super luas dari akademi militer. Hari ini adalah hari yang begitu dinantikan banyak orang.

Di sisi lain, suasana rumah sangat ramai. "Sean! Bergegaslah!" perintah Marito yang sudah rapi.

"Baik!" jawab seorang bocah dari kamarnya. Ia mengenakan seragam yang begitu ia impikan. Sejenak ia bercermin, dan bocah bernama Sean ini menyunggingkan senyuman penuh bangga.

Ia akan diresmikan jadi siswa di Akademi Militer Hitler. "Kakek, Arie! Kuharap kalian bisa hadir di sini. Tapi sepertinya aku tidak bisa berharap lebih. Setidaknya aku bersyukur kalian mendoakanku dan mengirimku kemari" batin Sean memejamkan matanya.

Sean akhirnya turun. "Orangnya sudah datang" gumam Daisuke tersenyum antusias. Sean yang kini tampak berwibawa sudah berada di hadapan mereka.

Pipi Jiali tampak merah merona, tanda ia sangat bahagia menyaksikan hal itu. "Selamat, Sean! Kau benar-benar membuatku bangga! Kau harus jadi orang berhasil!" ujar Jiali berhamburan memeluk Sean.

"S-Siap, kak" gumam Sean tersenyum simpul. "Baiklah sudah waktunya berangkat agar bocah ini bisa segera diresmikan" Jiali tersenyum semangat.

Sean membalas senyuman itu sambil mengangguk.

Beberapa saat setelahnya, "Woah.. ramai sekali" gumam Daisuke terpukau. Tentu saja suasana akademi sangat ramai hari ini. Dan setiap tahunnya tidak berubah.

"Peresmiannya jam berapa?" tanya Sean memastikan. "Mungkin saja sebentar lagi" jawab Marito memperhatikan suasana sekitar yang ramai.

"Permisi tuan dan nona" sapa seorang pemuda pada mereka. "Ya?" tanya Marito menoleh. "Apa kalian tidak ingin berfoto dengan putra kalian?" tanya pemuda itu.

Marito dan Daisuke terpaku. Sean tertawa kecil mendengarnya. Namun pada akhirnya, mereka bertiga tetap berfoto bersama.

"Bagi seluruh calon siswa dan siswi harap untuk berbaris di lapangan sesuai dengan pembagian kelas masing-masing!" pembawa acara kini memberi perintah agar mereka segera berkumpul.

"Pergilah, kami akan memperhatikan dari sini" ujar Marito sambil tersenyum.

Sean berlari kecil mencari di mana kelasnya. "Sean!" panggil seseorang tidak asing. Ya, jika kalian mengingat pertemuan Sean dengan seseorang di perpustakaan kota, dia adalah orang yang saat ini memanggil Sean.

"Kau-"

Sean tidak bisa melanjutkan ucapannya karena ia melupakan nama bocah di hadapannya, namun ia mengenalnya dan mengingatnya.

Ange Lucas adalah namanya. Dia datang dari benua yang sama dengan negeri Sean berasal. Sean pernah bertemu dengannya ketika di perpustakaan kota.

"Ange! Kau juga mendaftar akademi?" tanya Sean terkejut. "Aku sudah menjadi siswa di sini kurang lebih enam bulan. Apa kau baru masuk?" tanya Ange balik.

Sean mengangguk. "Apa yang kau cari? Tampaknya kau mencari sesuatu" tanya Ange terheran. "Aku sedang mencari barisan kelasku" jawab Sean kembali mencari.

"Kau kelas militer murni bukan? Di sana, barisan ketiga dari timur" jawab Ange menunjuk. "Woah, terimakasih! Sampai jumpa, Ange!" Sean segera berlari menuju barisan yang dimaksud.

"Sampai jumpa!" Ange melambai padanya. "Sepertinya dia akan menjadi siswa akselerasi" gumam Ange kembali berjalan menuju sebuah ruangan.

Sementara Sean, ia akhirnya tiba di barisan. Di antara yang lain, Sean adalah yang paling pendek. "Susah sekali jika tubuh ini mungil" gumam Sean kesal.

"Sebelumnya, kami akan menunjuk calon siswa dengan nilai terbaik yang berada pada peringkat pertama"

Semua mulai berbisik. "Kemarin itu diurutkan sesuai abjad bukan? Kira-kira siapa yang menjadi peringkat pertama? Apa bocah bermata biru itu lagi?"

Telinga Sean naik 5 cm. "Mereka mulai menggosipi Sean. Pasti bocah itu sekarang besar kepala" gumam Daisuke tertawa kecil memperhatikan lautan bocah di lapangan akademi yang super luas.

"Kami persilahkan, Sean Colbert. Dengan skor, 980"

Kerumunan manusia yang mendengarnya terkejut. "Yang terpenting dia tidak mengalahkanku" gumam Marito dengan sombong.

"Skor kita hanya beda beberapa" ketus Daisuke kesal. "Tetap saja kau di bawahku" jawab Marito tersenyum.

"Kau benar-benar menyebalkan" gumam Daisuke tersenyum menahan kesal.

Sementara Sean, ia maju ke depan dengan senyuman merekah di wajahnya. Theo selaku kepala militer menempel bintang pada seragam bocah itu.

"Selamat, nak. Marito berhasil mendidikmu" ujar Theo sambil tersenyum ketika ia dan Sean saling menjabat tangan. Sean tersenyum sambil mengangguk.

Upacara telah selesai, dan lagi-lagi kembali pada sesi foto. "Guru! Oniisan!" panggil Sean ketika ia melihat keberadaan Daisuke dan Marito.

"Selamat, bocah! Tapi sayangnya kau tidak bisa mengalahkan skor kami" puji Daisuke sambil tertawa puas. "Heh? Memangnya skor guru dan oniisan dulu berapa?" tanya Sean penasaran.

"Leon sempurna, aku 989, lalu Chloe di bawah. Kemudian James, dan kelima Jiali. Kami lah 5 besar" jawab Daisuke dengan sombong. Sean terbelalak tidak percaya.

"Hanya beda beberapa angka, tapi tetap saja angkamu masih di bawah milik kami" tambah Marito. Sean memasang wajah masam.

"Kak Zoe?" tanyanya teringat pada Zoe. "Dia nyaris sempurna. Satu angka lagi dia bisa mencapai 1000" jawab Daisuke teringat Zoe.

"Tapi jujur dibandingkan dengan soal beberapa tahun ke belakang, soal milik kalian memang terlalu sulit" tutur Daisuke terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Sean lagi-lagi memandang Marito dengan wajah masam. "Kenapa? Kau tidak terima?" tanya Marito meledek. "Huh! Sejak kapan guru jadi menyebalkan? Benar kata kak Zoe, guru itu tidak pernah puas!"

Marito yang mendengarnya tersenyum sinis. "Tidak pernah... puas?" tanya Marito menahan kesal.

"Ya! Sehabis latihan dengan kak Chloe kemarin, dia memujiku. Saat aku menunjukkan hasil masakanku, kak Jiali menghargainya walau rasanya kurang asin. Ketika aku salah menjawab, kak James tidak meremehkanku seperti guru! Dia justru menjelaskan jawaban benarnya. Ketika aku diajari kak Zoe, dia mengajariku dengan sabar dan tenang. Saat aku beritahu oniisan taktik penyeranganku, dia sempat memujiku walau setelahnya dia menertawakanku"

Sean meluapkan isi hatinya. Marito menatap tajam Daisuke. "Dia tidak hanya menyebut namaku saja padahal" gumam Daisuke menghela nafas.

"Tapi itu mengajarkanku banyak hal. Saat orang lain yang melihat kerja kerasku, mereka menghargainya. Ketika guru yang melihat kerja kerasku, guru memberiku saran untuk jadi lebih berkembang"

Kini mereka menatap Sean terkejut.

"Ayah..."

"Kakak ?!"

Mereka melihat orang tersayang mereka pada diri Sean. "Aku berterimakasih sekali guru! Oniisan! Kumohon kerja samanya untuk melatihku lebih kuat lagi!" Sean tersenyum antusias.

"Baiklah, tapi latihan dariku akan semakin keras karena kau sudah resmi menjadi siswa di sini" Marito membalas senyuman itu. Di hari peresmian Sean ini, Marito banyak berbicara sekaligus banyak tersenyum.

"Sean!" Jiali, James, Chloe, dan Zoe baru saja tiba. Sean menatap mereka terkejut.

Ada wajah-wajah yang ia rindukan di sana. Ya, keluarga dan teman-temannya di negeri lama.

"Kalian... datang?" tanya Sean terkejut. "Tentu saja! Aku meminta izin pada profesor agar bisa ke sini" jawab Jiali penuh semangat.

"Apa kau dan Marito sudah berfoto?" tanya Jiali menatap tajam Marito. Rekannya memasang wajah masam. "Oh, ayolah! Kau harus berpose dulu! Ayo kemari!" Jiali segera menarik Marito.

"Aku malas sekali berfoto" gumam Marito lelah. "Setidaknya jika aku kembali ke negeriku, aku bisa memandangi foto guru" ujar Sean terkekeh.

Marito menatap Sean sejenak. Ia tersenyum. "Wajahku mahal, jadi sebagai gantinya kau harus latihan ekstra" jawab Marito tersenyum tenang.

"Astaga..." gumam Sean tertawa kecil. Mereka akhirnya berganti-gantian foto bersama Sean. Satu hari itu mereka habiskan menyaksikan Sean yang berjabat tangan dengan banyak orang penting. Senyum bocah itu benar-benar menunjukkan ia berbahagia hari itu.

Malamnya,

"Tampaknya kau memperhatikan foto itu sedari tadi" ledek Daisuke ketika ia mendapati Marito memperhatikan fotonya dengan Sean yang terletak di atas meja belajar bocah itu.

Sean sepertinya baru selesai belajar untuk persiapan belajar di hari pertama.

"Aku melihat kakak di dalam dirinya" gumam Marito tersenyum. "Bajunya sudah kering, besok dia sudah bisa mengenakannya" ujar Daisuke membuat laporan.

"Baguslah" jawab Marito seraya menyelimuti bocah itu. "Aku ke kantor malam ini, kau ikut?" tanya Marito setelah mereka keluar dari kamar.

"Berhubung aku asistenmu yang kerjanya tidak menentu, malam ini aku akan ikut denganmu" jawab Daisuke menerima tawaran itu.

"Di mana Ritter?" tanya Daisuke tidak melihat keberadaan burung hantu itu. "Aku menerbangkannya untuk mengirimkan laporan pada Boulevard" jawab Marito segera.

Ia membuat kopi malam itu. Ya, kebiasaan yang Marito lakukan setiap malam ini untuk membantunya tetap terjaga setiap malam.

"Bocah itu tidak tidur di asrama, apa kau yakin kau bisa terus mengawasinya?" tanya Daisuke meragukan sesuatu.

"Itu pilihannya. Aku juga akan lebih ketat mengawasinya" jawab Marito menuang air panas ke dalam gelas berisi kopi.

"Dulu kau mengatakan hal yang sama, Leon. Muridmu yang pertama, dia sekarang pergi dari desa sudah sangat lama"

Marito tidak menjawab. "Sean dengannya berbeda. Sean punya tujuan, dia tidak. Dia kehilangan terlalu banyak keluarganya, dan itu membuatnya hilang arah"

Daisuke menghela nafas lelah. "Kau juga kehilangan semangat hidup bukan? Sekarang kau hanya menjalani kehidupan tanpa ada gairah?" tanya Daisuke segera.

Marito diam beberapa saat. "Sejak lahir aku tidak merasakan adanya peran orang tua. Kakak membawaku lari ke daerah Jawa, dan aku kehilangan paman, guru, dan sepupu. Lalu ketika aku sudah menjadi militer, aku kehilangan lebih dari ratusan rekan"

Daisuke menatap lurus ke depan. "Sudahi adegan meratapi nasib ini. Jika kita saling adu nasib, kita akan selalu seri" ujar Daisuke menyudahi dan bangkit berdiri.

Marito memperhatikan Daisuke. "Ada apa?" tanya Daisuke mencari sebuah buku tanpa menoleh.

"Jika suatu saat aku mati, bisakah kau melatih Sean untukku?" tanya Marito tertawa kecil.

"Bodoh! Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?" tanya Daisuke terheran. Marito tertawa.

"Hanya jaga-jaga saja, Dai. Kita sudah saling mengenal sejak sebelum sekolah karena orang tua asuh yang merawat kita sama" jawab Marito terkekeh seraya menikmati kopi buatannya.

"Seandainya aku berkhianat atau seseorang menumbalkanku untuk jadi sesuatu, bisakah kau membunuhku?" tanya Marito segera.

Daisuke terdiam. "Aku tidak sanggup..." gumam Daisuke menunduk. "Anggap aku sebagai musuhmu jika hal itu terjadi. Kau harus memprioritaskan misimu" ujar Marito dengan santai.

"Tetap saja, aku-"

"Aku percaya padamu"

Daisuke menatap Marito terkejut. "Aku tetap akan bersamamu, apapun yang terjadi" Marito menghabiskan kopinya, lalu mencuci cangkir bekas kopi tersebut.

"Waktunya menjadi sibuk, ayo ke kantor. Atau kau menyusul?" tanya Marito sudah selesai bersiap. "Aku menyusul" jawab Daisuke pelan.

"Baik, berhati-hatilah di perjalananmu" pesan Marito akhirnya menghilang dari pandangan. Daisuke masih tertegun dengan ucapan Marito.

"Aku tidak bisa melakukannya, Leon"

...****************...

"Pagi!" sapa Sean menuruni tangga. "Pagi, kau sudah siap?" tanya Jiali sibuk memasak. "Sudah! Oniisan mencuci seragamku, rasanya seperti aku menggunakan baju baru" jawab Sean antusias.

"Berterimakasihlah pada Daisuke. Dia biasanya sangat malas mencuci pakaian" ujar Jiali terkekeh.

"Ada apa denganku?" tanya Daisuke keluar dari kamar mandi. "Terimakasih oniisan" Sean membungkuk hormat.

"Doitashimashite" jawab Daisuke terkekeh dan berjalan menuju kamarnya. "Di mana Marito?" tanya James baru saja selesai berpakaian.

"Dia masih-"

"Selamat pagi"

Mereka menoleh dan mendapati Marito sudah bangun, namun tampaknya dia masih butuh tidur beberapa jam lagi.

"Selamat... pagi..." gumam Sean terkejut. "Jika kau masih mengantuk, lanjutkan tidurmu" saran Jiali khawatir melihat kondisi Marito.

"Pagi ini aku akan ke kantor untuk menemani kepala mengawal pemerintah" gumam Marito seraya menguap dan duduk di samping James.

"Keren sekali! Aku juga mau jika ditunjuk sebagai pengawal!" ujar Sean antusias. "Belajar" jawab Marito menyentil kepala bocah itu.

Sean akhirnya berangkat bersama Marito. Perjalanan mereka berada di jalan yang sama.

"Guru, aku mengenal orang baru di akademi saat peresmian kemarin" ujar Sean teringat seseorang.

"Siapa?" tanya Marito penasaran. "Aku lupa namanya! Anie? Arin? Anki?" gumam Sean mencoba mengingat namanya.

"Kau ingat nama belakangnya?" tanya Marito segera. "Aduh, Lu.. Lu.. ahk! Lucas!" Marito terdiam mengetahui nama belakang itu.

"Lu... cas?" gumam Marito tampak terkejut. Ia bahkan sampai menghentikan langkah kakinya.

"Ya, nama belakangnya Lucas" jawab Sean membenarkan. "Gerbangnya sudah terlihat! Sampai jumpa guru!" Sean melambai lalu berlari kecil menuju gerbang akademi.

Dan Marito masih terpaku mendengar nama itu. Bayangan seseorang tergambar di benaknya.

"Dia, punya saudara?" gumam Marito terkejut.

Sementara Sean dengan penuh semangat melangkahkan kakinya, mencari di mana keberadaan kelasnya.

"Hmm, militer murni di mana, yah?" gumam Sean masih mencari keberadaan kelasnya.

"Sean" bocah itu terkejut dan segera berbalik. "Joy!" gumam Sean mengenali seseorang di hadapannya saat ini.

Beberapa saat,

"Jadi kita sekelas? Untung saja!" ujar Sean merasa lega. "Aku mengikuti jejak kakak perempuanku, dia seorang anggota militer murni pasukan khusus" jawab Joy terkekeh.

"Kau punya kakak perempuan?" tanya Sean baru tahu. "Yap. Kemarin kakak sempat cuti karena ayah dan ibu keluar negeri untuk berdagang" jawab Joy menceritakan kakaknya.

"Kalian saudara yang keren! Sama-sama lulusan akademi militer ini!" puji Sean kagum. Joy tertawa kecil mendengarnya.

"Guru masuk!" murid-murid akhirnya duduk rapi. "Kira-kira siapa yang akan mengajari kita?" tanya Sean penasaran. "Kudengar dia itu dipindahkan dari pasukan elite jadi seorang guru" jawab Joy berbisik.

Seorang pria akhirnya masuk. "Apa dia wali kelas kita?" tanya Sean pada Joy. "Sepertinya" jawab Joy membenarkan.

"Selamat pagi" sapa pemuda itu pada mereka.

Pemuda itu tampaknya seusia Marito dan yang lain, kurang lebih 26 tahun. Namun ekspresinya berbanding terbalik dengan yang lain. Tubuhnya tinggi tegak, jauh lebih tinggi dari Daisuke.

Kulitnya putih pucat, dan matanya setajam elang. Di bagian pipi kiri sampai ke alis terdapat luka panjang yang membekas.

Dia tampak ceria dan mudah tersenyum. Tidak ada raut wajah dingin seperti Marito dan Chloe. Tidak ada raut wajah palsu seperti Daisuke dan Zoe. Dan raut wajah yang mudah berubah seperti James dan Jiali.

Namanya, Owein Meredith. Ia tumbuh kembang di Panzer. Bisa dibilang, dia adalah penduduk negeri tersebut. Dia menciptakan sebuah sihir unik, yang terinspirasi dari sebuah mahluk mitologi.

Pemuda ini sangat menyukai laut, dan karena itulah dia memiliki sebuah sihir ciptaannya di mana ia dapat mengubah dirinya menjadi siluman Leviathan berwarna hitam. Warna hitam sendiri berasal dari warna aura sihirnya.

"Dia... penuh amarah" gumam Joy tanpa sadar. "Bagaimana kau tahu?" tanya Sean terkejut. "Aku bisa menciumnya" jawab Joy segera.

"Baiklah, namaku Owein Meredith. Mulai sekarang sampai seterusnya, aku akan menjadi wali kelas kalian" ujar Owein memperkenalkan dirinya pada mereka.d

"Aku akan mengabsen kalian satu persatu" gumam Owein tersenyum. Sean dan Joy menatap lekat pemuda itu.

Satu persatu nama-nama dipanggil. "Sean Colbert" panggil Owein segera. "Hadir!" jawab Sean mengangkat tangannya.

"Dia pencetak skor tertinggi itu bukan?" dan lagi-lagi mereka membicarakan Sean. "Tampaknya kau menjadi topik hangat" Sean hanya bisa tertawa kecil mendengarnya.

"Baiklah sudah selesai. Kita akan masuk ke pelajaran pertama"

Dan pembelajaran pada hari pertama dimulai. Semua tampak fokus. "Guru benar. Di tempat inilah, aku akan menemukan berbagai saingan" batin Sean menyadari suasana yang serius.

Bel istirahat berbunyi setelah 2 jam mereka belajar. "Woah, belajar tadi cukup melelahkan" keluh Joy berjalan di sebelah Sean.

"Astaga, jika kau dengan guruku kau akan dimarahi jika mengeluh" ujar Sean terkekeh. "Hee? Kau memiliki guru privat?" tanya Joy terkejut. Sean mengangguk.

"Siapa namanya?" tanya Joy penasaran. "Leon Marito" Joy menganga tidak menyangka.

"Sean! Kata kakak perempuanku, dia itu super jenius! Dia orang pertama yang mencetak skor sempurna" ujar Joy segera.

"Begitulah. Karena aku tinggal dengan orang-orang cerdas, mereka meledek jumlah skorku" keluh Sean segera.

"Malang sekali. Jadi kau tidak tinggal di asrama?" tanya Joy penasaran. "Tidak, aku tinggal di rumah dinas. Jika di sana, guru akan lebih muda melatihku" jawab Sean tersenyum antusias.

"Sean!"

"Kau-"

Beberapa saat,

"Sudah enam bulan?" tanya Joy setelah mendengar cerita senior di hadapannya. Lebih tepatnya, Ange.

"Ya, aku berharap bisa lulus cepat" jawab Ange terkekeh. "Apa kau orang asli Panzer?" tanya Sean penasaran. "Tidak, aku pendatang" jawab Ange seraya menikmati makan siangnya.

"Artinya kau di sini bersama keluargamu?" tanya Joy segera. "Aku sendiri. Orang tuaku sudah lama meninggal" jawab Ange tersenyum tenang.

"Maaf, aku.. tidak tahu" gumam Joy terkejut. "Tidak masalah. Kalian bagaimana?" tanya Ange penasaran. "Aku tinggal bersama kakak perempuanku untuk saat ini, ayah dan ibu berdagang di luar negeri" jawab Joy segera.

"Sean?" tanya Ange menoleh pada Sean. "Aku? Aku tinggal di rumah dinas guru dan rekan-rekannya. Kakek dan Arie di tempat asalku" jawab Sean seraya mengunyah.

"Ayah dan ibumu?" tanya Joy penasaran. "Mereka sudah lama meninggal" jawab Sean terkekeh.

"Ya ampun. Aku jadi merasa tidak enak" keluh Joy menunduk. "Tidak apa-apa. Nasib siswa dan siswi di akademi ini tidak jauh berbeda satu sama lain"

Sean memperhatikan Ange sejenak. "Kenapa guru justru termenung ketika mendengar nama belakangnya ?" batin Sean terheran.

"Ada apa?" tanya Ange terheran. "Tidak ada" jawab Sean berdalih.

Makan siang selesai, dan mereka kembali melanjutkan pembelajaran.

"Baiklah, kita akan melanjutkan pembelajaran" Owein kembali membuka bukunya.

Suasana hening dan sangat serius. Sean tentu masih belum bisa banyak beradaptasi dengan suasana hening ini.

Jam pulang tiba. Hari sudah sangat sore ketika mereka menyelesaikan sekolah hari itu.

"Sampai jumpa, Sean!" Joy melambai pada Sean. Bocah itu membalasnya dan ia kembali berjalan kembali ke rumah.

"Melelahkan" gumam Sean berjalan dengan malas. Suasana kota di sore hari sepi, beberapa toko malam mulai dibuka dan ada juga yang mulai tutup. "Apa mereka selalu seperti ini setiap pulang?" gumam Sean penasaran.

"Sean" Sean menoleh.

"Kak Chloe!"

Beberapa saat,

"Lelah? Asal kau tahu saja, ketika di generasi kami, jam pulang itu malam hari"

Sean tentu menatap Chloe terkejut. "Istirahat hanya 30 menit. Belajar selama 3 jam. Semakin ke sini, akademi justru memanjakan generasi terbaru" sambung Chloe menatap lurus.

Sejenak ada keheningan di antara mereka. "Kak, Lucas itu siapa?" tanya Sean segera. Chloe menatap Sean terkejut.

"Dari mana kau mengenal Lucas?" tanya Chloe terheran. "Aku punya senior yang kukenal sebelum masuk akademi. Namanya Ange Lucas. Aku lupa menyebut nama depannya pada guru, tapi saat guru mengetahui nama belakangnya, dia justru termenung dan tampak terkejut"

Chloe kembali menatap lurus. "Dia punya saudara?" gumam Chloe terkejut.

"Sebenarnya dia siapa?" tanya Sean pantang menyerah. Chloe menghela nafas.

"Ada murid pertama Marito yang kini menjadi buron negara karena berkhianat. Nama belakangnya Lucas. Aku terkejut ketika seniormu itu memiliki nama belakang yang sama" Chloe tampak serius.

Sean tentu menatap pemuda itu tidak percaya. "Mengapa ia disebut berkhianat?" tanya Sean terheran.

"Dia berasal dari klan Fawn, sebuah klan dengan kemampuan sihir alam yang unik. Mereka berimigrasi kemari dan jumlah anggota mereka banyak. Beberapa tahun lalu, dia membantai seluruh anggota klan nya. Termasuk ayah dan ibunya"

Sean terdiam mendengar itu. "Jika dia merupakan klan Fawn, mengapa nama belakangnya Lucas?" tanya Sean terheran.

"Itu nama belakang keluarganya. Nama depannya yang asli adalah Fawn. Mungkin sekarang dia seusia Zoe"

Sean tertegun mengetahui fakta itu. "Hanya saja, jangan langsung menduga apakah seniormu itu juga berasal dari klan Fawn" pesan Chloe segera.

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Chloe memastikan. "Rambut dan matanya... aku kesulitan untuk mendeskripsikan warnanya."

Chloe menunggu bocah itu menjelaskan ingatannya. "Ahk iya, rambutnya mempunyai warna yang serupa dengan bulu rusa muda. Dan warna matanya berwarna emas"

Chloe terdiam mendengarnya. "Ada yang salah, kak?" tanya Sean terheran. "Tidak ada. Ternyata ciri-cirinya berbeda" jawab Chloe terkekeh.n

"Sebenarnya apa yang dia rencanakan? Jika benar dia adikmu, kau justru membentuknya jadi seorang pembenci. Di mana kau, Ainsley ?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!