Radar Aneh

Hari ini, akademi militer ramai dipenuhi oleh orang-orang dari segala penjuru. Pagi ini seleksi untuk calon siswa akan dimulai selama 3 hari.

"Guru, mereka ramai sekali. Apa aku bisa?" tanya Sean mendadak minder. "Apa yang kau takutkan? Mereka sama denganmu, manusia juga"

Marito pagi ini menemani Sean mengikuti seleksi. Gadis itu tentu tidak sendiri. Ada Daisuke yang selalu setia mengikuti pimpinannya itu.

"Tetap saja. Pasti selain diriku, ada orang lain yang menerima surat rekomendasi" gumam Sean ragu.

"Kau bahkan tidak masuk instansi militer, Sean" ujar Daisuke menghela nafas sambil terkekeh dan memaklumi. "Aduh, bagaimana jika aku gagal dan mereka mengirimku ke tempat terpencil?" gumam Sean dramatis.

"Tenang saja, Zoe juga seperti ini" sahut Marito segera ketika Daisuke menatapnya.

"Para peserta silahkan masuk ke aula, ujian tertulis akan dimulai!"

Pengumuman itu membuat Sean tersadar. "Pergilah, lakukan yang terbaik" pesan Marito tersenyum.

Sean membalas senyuman itu dan segera masuk. "Waktu yang kami sediakan hanya 100 menit untuk 100 soal. Soal ini adalah soal dasar dan pengetahuan kehidupan sehari-hari"

Mendengar waktu yang diberikan, sebagaian dari mereka menggerutu dan menganggap waktu itu terlalu singkat.

Sebelum mereka masuk, para peserta diberi kartu nama. Dan dengan begitu, sistem yang ada ialah yang kalah gugur.

Ujian dimulai. Tangan Sean bergerak cepat menulis setiap jawaban di soal-soal yang ia tahu.

10 menit, 30 menit, bahkan 60 menit berlalu belum ada yang keluar. "Woah, dia sudah selesai" gumam seorang gadis memperhatikan Sean yang mengumpulkan kertas ujiannya.

Sean keluar dari ruangan. "Sepertinya dia sedang mengerahkan tenaganya" ujar Daisuke tersenyum bangga melihat bocah itu.

"Masuklah ke ruang tunggu, untuk menunggu hasil ujianmu" perintah seorang pria pada Sean. Bocah itu menurut dan masuk ke ruang tunggu.

Setelah 2 jam berlalu, pria itu masuk ke ruang tunggu. "Untuk namanya yang disebutkan, silahkan masuk ke ruang ujian selanjutnya" pria itu membuka gulungan berisi nama-nama calon siswa yang lolos.

Mereka yang berada di ruang tunggu mulai keringat dingin. Satu persatu nama disebutkan. "Sean Colbert" Sean segera tersenyum senang dan bangkit berdiri untuk segera bergegas.

Di ruangan, seseorang sudah menunggu di sana. "Kak Chloe?!" gumam Sean terkejut ketika tahu siapa orang yang menjaga mereka.

Di sisi lain, "Hahaha. Dia pasti terkejut karena kepala akademi meminta Chloe yang super jujur untuk mengawasi ujian kedua. Biasanya di sini banyak yang berusaha curang karena soalnya sulit"

Daisuke tertawa lepas melihat Chloe yang memasuki ruangan selanjutnya. "Apakah Sean bisa mengatasi soal-soal sulit di sana?" gumam Marito.

Sean berusaha keras menganalisa setiap maksud soal yang menurutnya rumit. Mata Chloe memperhatikan setiap peserta berjumlah 30 orang di ruangan itu.

Nantinya, babak akhir seleksi masuk akademi menyisakan 50 orang yang lolos menjadi siswa resmi.

Chloe terus menghampiri calon siswa yang mencoba menyontek, bekerja sama, dan mencoba mengintip jawaban orang lain.

"Kak Chloe teliti sekali, bagaimana mungkin dia bisa mengawasi 40 orang di sini ?!" batin Sean terkejut. Namun ia tetap berusaha mengerjakan semua soal sampai selesai.

"Waktu habis" tentunya hal itu membuat beberapa siswa yang belum selesai panik. Sean bangkit berdiri mengikuti beberapa siswa untuk mengumpulkan kertas ujiannya.

"Silahkan tunggu di luar untuk ujian terakhir. Pengumuman peserta lolos akan kami sebutkan 10 menit kemudian" Sean keluar dengan wajah lelah.

Otaknya cukup lelah menghadapi 150 soal yang sudah kerjakan. "Kau lelah, nak?" tanya Marito memberikan sebotol air. Sean meraihnya dan meneguk air itu sebanyak mungkin.

"Ujian terakhir berjumlah 25 soal, soal teka teki" ujar Daisuke memberitahu beberapa bocoran. "Rasanya lelah sekali" keluh Sean menunduk.

"Jika kau mengeluh, maka kau akan semakin lelah" Marito menyilangkan tangannya. Sean menatap gurunya tertegun.

"Jika kau tenang dan tidak terlalu memikirkannya, kau bisa menghadapi tantangan selanjutnya. Aku sudah bilang, ketika kau yakin maka kau akan berhasil" tutur Marito meyakinkan.

Sean menghela nafas. "Baiklah, aku akan tunjukkan bahwa aku bisa!" jawab Sean bersemangat.

Ujian kembali dimulai, dan Sean berfokus pada tujuannya. Ia yakin dengan setiap jawaban yang ia kerjakan pada soal-soal di kertas.

"Ini adalah kelulusan terakhir pada ujian pengetahuan, mari kita lihat apakah kau lulus?" gumam Marito memperhatikan nama-nama yang sudah tertera pada papan pengumuman.

5 detik, 10 detik, 20 detik. Bahkan 1 menit, Marito dengan teliti mencari nama Sean. Mereka mencarinya melalui nama terakhir.

"Sean Colbert... kau berhasil! Namamu berada di peringkat pertama!" Daisuke tersenyum senang mendapati nama Sean berada di peringkat ketiga.

Sean tersenyum senang dan melompat kegirangan. Sean menatap gurunya, sebuah senyuman bangga terukir di bibir gadis itu.

"Besok kau harus bekerja keras menghadapi ujian psikologi. Aku akan mengajarimu malam ini" ujar Marito tersenyum.

Beberapa saat,

"Di mana Sean?" tanya Jiali memastikan. "Di kamar menikmati waktunya dengan belajar. Hari ini dia membuahkan hasil yang manis" jawab Daisuke terkekeh. Jiali tertawa kecil mendengarnya.

"Mengejutkan sekali, kau tiba-tiba dipanggil menjadi pengawas" ledek Daisuke ketika Chloe menuruni tangga. "Kau juga akan melakukan hal yang sama untuk seleksi terakhirnya, Daisuke" jawab Chloe menghela nafas.

"Hahaha. Kepala akademi memintaku untuk menjadi lawan anak-anak itu dalam merebut lonceng. Apakah Sean bisa menghadapiku nanti?" gumam Daisuke seraya tertawa puas.

Sejak Daisuke lulus, ia dan Marito sering mendapat panggilan kepala akademi untuk meminta mereka jadi lawan atau musuh para peserta.

Sistemnya, Daisuke ataupun Marito akan memegang 2 buah lonceng yang diikat benang dan mereka akan disebut sebagai pemilik lonceng. Peserta harus melewati tantangan sebelum menghadapi pemilik lonceng dan yang bertahan sampai akhir atau bahkan berhasil mendapatkan lonceng dia lolos.

"Jangan menyiksanya, Daisuke" pesan Marito sambil membaca buku. "Kau khawatir? Mengejutkan sekali kau mulai mengkhawatirkan bocah itu" ledek James tertawa kecil.

"Sean termasuk peserta termuda. Rata-rata yang mendaftar tahun ini para bocah berusia 12-13 tahun. Kalau saja Sean tidak memiliki surat rekomendasi, mungkin berkasnya ditolak dan dia justru dimasukkan pada pelatihan anak di kota lain"

Mereka yang mendengarnya terkejut. Permasalahannya bukan berada pada usia Sean, tapi usaha Marito untuk memasukkan bocah itu.

"Kau mengurus surat rekomendasi untuknya? Mengejutkan sekali" gumam Chloe terkejut.

"Jika aku tidak melakukan itu, sama dengan aku lepas tanggung jawab dan tidak mengikuti perintah kakeknya" tutur Marito bangkit berdiri lalu berjalan pada rak buku di ruang tamu.

"Aku sangat penasaran siapa kakek dan Arie yang sering disebutkannya" ujar Daisuke, yang pikirannya baru saja terlintas kedua orang itu.

"Aneh, mengapa kau menerimanya jika kau tidak tahu keluarganya?" tanya Chloe pada Marito.

"Aku cukup terkejut ketika sebuah surat tersampaikan padaku. Isi surat itu menyebut nama lengkap, bahkan instansi dan juga divisi terakhirku. Dan satu lagi, dia tahu alamat lama rumah dinas yang kutempati sebelum perang berakhir"

Penjelasan itu kembali membuat rekan-rekannya berpikir. "Kenapa guru tidak mengirim surat juga pada mereka?" saran Zoe muncul dari dapur.

"Apa maksudmu?" tanya Daisuke bingung. "Cobalah buat sebuah surat berisikan keadaan bocah itu sekarang. Lalu mulailah meranah pada topik seputar siapa mereka. Jika mereka mengirim kembali dan menjawabnya, mungkin mereka orang biasa. Bila jawaban yang dikirim seadanya, mereka menjaga privasi. Tapi jika yang dikirim hanya surat kosong atau berisikan kode, mereka orang penting yang bisa saja sudah lama menghilang"

Mereka yang mendengar penjelasan Zoe mengangguk-angguk paham. Zoe tidaklah mempunyai keistimewaan pada bidang IQ, tapi dia mudah menangkap permasalahan dan mengetahui solusinya.

"Tapi cara semacam itu termasuk jadul dan terlalu mudah dibaca. Aku pesimis jika keluarganya justru mengirimkan jawaban menjebak dan mengalihkan perhatian" ujar Marito menerima kopi buatan Zoe.

Zoe tampak berpikir kembali begitu juga dengan yang lain. "Apa guru masih memiliki suratnya?" tanya Zoe memastikan sesuatu.

"Ya. Aku menyimpannya di meja kantor" jawab Marito membenarkan. Zoe tersenyum. "Jika Sean sudah selesai mengikuti seleksi, berikan surat itu padaku"

Beberapa saat,

"Sean, apa kau-"

Ucapan Marito terhenti ketika mendapati seorang bocah sudah tertidur lelap di meja belajarnya. "Tampaknya kau kelelahan, nak" gumam Marito tersenyum simpul.

Ia mengambil selimut lalu menyelimuti bocah itu. Marito menatap wajah Sean sejenak. "Wajahmu sangat mirip.. dengan mereka" gumam Marito tanpa sadar. Setelahnya ia memutuskan untuk keluar.

Bukannya beristirahat, Marito justru mengambil jaketnya dan hendak keluar pada larut malam itu.

Ia memastikan semuanya sudah tidur. Lalu, "Buruk sekali kau pergi larut malam begini. Jika kau tinggal di negeriku, kau akan dikira sebagai wanita panggilan" Marito menghentikan langkahnya dan menghela nafas lelah.

"Kau tidak tidur Daisuke?" tanya Marito berbalik badan. "Seseorang mengendap-endap hendak rumah larut malam begini. Kau tidak melihatku tertidur di ruang tamu ini?" tanya Daisuke terheran.

"Aku tidak memperhatikanmu" jawab Marito singkat. "Kau mau ke mana? Mengerjakan misi malam begini?" tanya Daisuke lagi ketika Marito akan pergi.

"Radar aneh itu terus menerus terdeteksi oleh para ahli sensor. Kepala memintaku melihat sumbernya" jawab Marito mengenakan sepatunya.

"Aku ikut denganmu" Marito mendongak dengan ekspresi masam.

"Aku bisa-"

"Ya, aku tahu kau bisa melakukannya sendiri. Tapi kesabaranmu setipis tisu basah yang dibagi dua"

Marito mendengus kesal. "Kau jaga rumah saja. Hanya Zoe dan Sean saja yang bersama kita malam ini. Jiali keluar kota, James ada pasien di rumah sakit, Chloe jaga gerbang, dan hanya kau yang bisa tertinggal di rumah" Daisuke menatap Marito.

"Baiklah, aku mengalah untuk kali ini"

......................

"Kau dengar tidak? Katanya ada beberapa orang-orang yang hilang setelah keluar gerbang menuju gunung"

Marito samar-samar mendengar percakapan beberapa orang. Di malam ini, ibu kota tetap ramai oleh orang-orang yang berpesta miras, kencan malam, atau ada janji temu yang belum selesai.

"Itu aneh sekali, dan radio berita mengatakan kita waspada pada radar aneh. Apa mereka akan mengutus anggota terbaik?"

Marito tetap mendengarkan percakapan itu sambil bersantai sejenak sebelum ia berangkat.

"Sudahlah, yang penting mereka jangan sampai mengirim orang-orang dari benua kuning. Kudengar mereka tidak etos dalam bekerja"

Marito yang mendengarnya memejamkan mata. Ia terbiasa mendengar pendapat semacam itu. Anggapan bahwa orang-orang dari benua kuning hanyalah imigran yang menumpang hidup, itu adalah fakta nyata.

"Untukku, justru beberapa anggota militer benua kuning saja yang turun tangan. Perlahan mereka para imigran akan lenyap dan tidak menyusahkan negeri kita"

Telinga Marito mulai panas, dan ia memutuskan untuk segera cabut dari sana.

"Berapa harga teh yang kupesan tuan?" tanya Marito dengan sopan pada kasir. Kasir itu justru terdiam menatapnya terkejut.

"Apa kau... nona Marito?" tanya kasir itu segera. Para pelanggan yang berbicara tadi berbalik badan dan menoleh pada Marito.

"A-Ahk, ya" jawab Marito kaku. "Putraku sangat mengidolakanmu, bisakah aku meminta tanda tanganmu?" tanya pria tua itu antusias.

"Selera putramu aneh sekali, tuan. Bagaimana bisa dia mengidolakan penduduk asing?" ledek salah satu dari orang-orang di sana. Beberapa yang lain menertawakan hal itu.

Marito hanya diam dengan tatapan tenang.

"Maaf-"

"Tidak masalah tuan. Aku lupa membawa pena, bagaimana jika aku berikan saja topi ini padamu? Kuharap putramu menyukainya"

Pria itu dengan antusias menerimanya. "Terimakasih nona, kau baik sekali. Semangat dalam kerja kerasmu, nona" pria itu membungkuk hormat.

Marito melakukan hal yang sama lalu ia pergi keluar dari kedai kecil itu. "Tuan, mengapa putramu mengidolakannya?" tanya salah satu pelanggan terheran dengan pria tua itu.

"Nona Marito berkontribusi besar pada putraku. Dia pernah menyelamatkannya. Dia perempuan yang punya jiwa berbesar hati"

Sementara Marito,

"Marito? Kau mau ke mana?" tanya Chloe yang menjaga gerbang malam itu.

"Bersenang-senang dengan sesuatu" jawab Marito dengan santai seraya mengenakan jubah bertudung berwarna hitam.

"Lalu bagaimana dengan Sean besok? Kau menitipnya lagi pada Daisuke?" tanya Chloe terheran.

"Tidak, besok pagi sebelum dia seleksi... aku sudah kembali" jawab Marito tampak sangat siap.

"Jaga kota, jangan sampai kemasukan musuh" pesan Marito berjalan meninggalkan gerbang masuk sambil melambaikan tangannya.

"Pulanglah dalam keadaan hidup"

Beberapa saat perjalanan Marito, ia akhirnya tiba di gunung. "Dari mana asalnya radar itu?" gumam Marito menggaruk kepalanya bingung.

Pilihan untuk pergi sendiri tidak bisa dibenarkan. Jika Daisuke ikut, mungkin dia akan sangat berguna dalam mendeteksi keberadaan energi lain di sana.

"Tapi aneh, seharusnya aku bisa merasakan ada energi asing di sini. Mengapa suasana di sini begitu hening? Ke mana perginya para hewan ?" batin Marito terheran dan berjalan melewati hutan.

Marito terus berjalan mengikuti instingnya saja. Langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara langkah kaki yang besar dari kejauhan.

Ia mengerutkan keningnya, lalu segera bersembunyi. Suara langkah kaki itu semakin mendekat. "Jika suara langkah ini bisa terdengar dari kejauhan, maka pemilik langkah kaki ini... pasti memiliki kaki yang..."

"Besar !"

Mata Marito terbelalak kaget, ketika melihat siapa pemilik langkah kaki itu. Seorang manusia raksasa tanpa sehelai pakaian yang menempel di tubuhnya, berjalan dengan sangat lambat, dan ujung bibirnya tampak penuh noda merah. Di tangan kanannya, sedang menggenggam bagian pinggang sampai ke kaki tubuh mungil seseorang.

Marito yang melihat itu terdiam tidak percaya. "Riese? Bukankah mereka sudah lama lenyap ?!" batin Marito terkejut.

Keberuntungan dari dewi fortuna tidak berpihak pada Marito. Raksasa itu menyadari keberadaanya dan tangannya berusaha menangkap Marito.

Gadis itu dengan cepat segera mengelak. "Sialan, kalau begini... sihir buatanku juga tidak akan berguna" gumam Marito berlari secepat yang ia bisa.

Mata biru menyalanya muncul. Tangan raksasa itu terangkat dan hendak meninju Marito.

Untungnya, Marito berhasil menahan tangan itu dengan tenaga miliknya. "Merepotkan!" ketus Marito kesal. Kilatan petir muncul di sekitar tubuhnya.

Ia berhasil menghancurkan salah satu tangan raksasa itu. Suara teriakan terdengar menggema. Marito bahkan sampai menutup telinganya.

"Apa yang-"

Ucapan Marito terputus ketika tangan raksasa itu mulai tumbuh kembali. Lagi-lagi tangan itu kembali menyerang dan Marito segera menyerang balik.

Namun nihil, bagian tubuh apapun yang diserang Marito, itu akan kembali tumbuh dalam waktu cepat.

Ketika gadis itu lengah, ia tercampak dan menabrak beberapa pohon. "Sialan" gumam Marito memegang kepalanya dan berusaha bangkit. Ia memejamkan matanya sejenak.

Benturan itu membuat kesadarannya tidak terkendali. Raksasa itu semakin dekat, dan ketika tangannya kembali, Marito melepas kuciran rambut panjangnya. Rambut hitam itu tiba-tiba memanjang dan mengikat tubuh raksasa itu.

Dengan mata biru bercahaya, Marito menatap tajam raksasa itu. Raksasa itu memberontak. Marito terus menahan raksasa itu sebisanya.

Lalu, "Meledak!" suara itu perlahan mulai membuat kepala raksasa itu membesar seperti balon, hingga akhirnya meledak.

Darah menciprat ke segala arah. Rambut Marito kembali seperti semula. Ia berlutut mengatur nafas. Gadis itu terlalu banyak menggunakan sihir dengan jumlah energi yang banyak.

"Leon, apa kau baik-baik saja?!" tanya seseorang berhasil menyadarkan Marito.

"Daisuke?" gumam Marito mengenali suara itu. "Hey, Marito kau baik-baik saja?!" tanya Chloe di sana.

"Untung saja aku bergegas menyusulmu, kau benar-benar keras kepala!" ketus Daisuke kesal. Marito tidak mampu untuk menjawab.

"Raksasa itu... Joe" Daisuke dan Chloe yang mendengarnya terkejut. "Kenapa kau menduga Joe adalah raksasa tadi?" tanya Chloe terheran.

"Karena aku... menggunakan sihir ruang, untuk melihat isi pikiran raksasa itu. Dia, dia sudah membunuh... Michael, dia memakannya"

Kedua rekannya memucat. Michael Liam, adalah rekan mereka yang berada di divisi sensor pasukan khusus. Karena kemampuan mendeteksinya, Michael diutus ke gunung itu sama seperti Marito.

Namun 3 hari berlalu, Michael tidak pernah terlihat kembali ke kota. Chloe selalu mengawasi setiap orang yang berlalu lalang, alhasil dia tahu dan dia ingat kapan Michael terakhir kali terlihat.

Joe Fernandez, seorang pejabat tinggi negeri sering berkonflik dengan Marito juga menghilang sejak kasus terbarunya dalam keterlibatan penyebaran narkoba yang berhasil dipecahkan Marito.

Pria itu punya kemampuan sihir yang tidak bisa diremehkan, dan ia lolos kabur dari kota.

Marito memiliki energi yang sangat besar dan terkenal sebagai anggota militer dengan pengendalian energi terbaik.

Namun, ia menggunakan sebuah jenis sihir level tinggi yang menguras banyak tenaganya. Dengan sihir mata miliknya, ia menggabungkan kemampuan sihir ruang miliknya untuk masuk dan melihat kejadian sesungguhnya melalui isi pikiran Joe yang sudah berubah wujud menjadi raksasa.

"Lelah sekali"

"Hey, Marito... astaga"

Sebelumnya,

"Niisan mau ke mana?" tanya Zoe setengah sadar walau rasa kantuk menyelimuti matanya. "Aku ada urusan ke kantor sebentar, tidurlah" jawab Daisuke bergegas keluar rumah. Zoe yang mengantuk kembali ke kamarnya untuk tidur.

Di sisi lain, Daisuke berlari secepat kilat menuju gerbang. "Dai, kau mau ke mana?" tanya Chloe terheran ketika melihat Daisuke yang berhenti sejenak mengatur nafas saat tiba di gerbang.

"Kau melihat Leon?" tanya Daisuke segera. "Ya... dia baru lewat dari sini 30 menit yang lalu" jawab Chloe membenarkan. "Firasatku buruk, Chloe. Michael yang ahli sensorik saja sudah 3 hari menghilang sejak dikirim mendeteksi radar aneh di sana. Marito pergi ke gunung dengan tugas yang sama, sekaligus mencari keberadaan Michael!"

Chloe diam beberapa saat. "Apa?!"

...****************...

"Guru baik-baik saja? Jika guru merasa lelah, lebih baik beristirahat. Tidak masalah jika guru tidak mendampingiku hari ini" saran Sean ketika ia memperhatikan kantung mata Marito.

"Sudah aku bilang, aku tidak lelah" jawab Marito menikmati sarapannya. Namun ia tidak bisa mengkondisikan wajah mengantuknya dengan baik. Ia baru tidur 3 jam yang lalu.

"Mata guru seperti panda hitam putih" gumam Sean lanjut menikmati sarapannya. Daisuke dan Chloe tertawa kecil mendengarnya.

"Fokuslah pada hari ini, psikotes lebih sulit dari yang diperkirakan" Marito akhirnya menyelesaikan sarapannya. Ketika Marito sudah benar-benar menghilang dari ruang makan, "Oniisan.. apa yang terjadi pada guru tadi malam?" tanya Sean penasaran. "Tidak ada" jawab Daisuke terkekeh.

Daisuke dan Marito kembali mendampingi Sean. "Ujian hari ini hanya ada 2, psikotes dan kejiwaan. Jika kau berhasil, kau lolos babak akhir" ujar Marito seraya memperhatikan sekeliling.

"Babak akhir nanti apa yang akan diujikan? Aku penasaran" tanya Sean segera. "Itu rahasia, nak. Kau akan mengetahuinya jika kau bekerja keras lebih lagi untuk hari ini" jawab Marito segera.

Daisuke tertawa kecil mendengarnya. "Peserta silahkan masuk ke ruang ujian psikotes" perintah seorang pemuda pagi itu.

Marito mengenal pemuda itu. "Biar aku saja yang memberitahunya nanti" ujar Daisuke segera mengerti maksud tatapan Marito.

"Ada apa?" tanya Sean terheran. "Tidak ada, pergilah dan masuklah ke ruangan. Jangan keliru dalam menjawab" pesan Daisuke. "Siap"

Bocah itu memantapkan langkahnya memasuki ruangan ujian. "Aku benci mengatakannya, tapi berkali-kali kehilangan orang-orang terdekat membuatku terbiasa" ujar Marito setelah Sean sudah jauh dari mereka.

"Yah, kita sebagai manusia juga tidak bisa berbuat banyak. Memangnya siapa yang bisa melawan takdir?" tanya Daisuke terkekeh.

"Keluargamu akan berkunjung ke sini minggu depan, kepala pasti menunjukmu untuk menyambut mereka" ujar Marito berhasil membuat Daisuke yang ceria berubah seketika. Pemuda itu diam, dan tatapannya tajam lurus ke depan.

"Ada lebih dari 10 orang yang berasal dari negeri yang sama denganku. Jadi aku bisa menolaknya" jawab Daisuke menyilangkan tangannya.

Marito menghela nafas. "Kau tidak sayang pada mereka?" tanya Marito terheran. "Aku hanya pewaris keluarga cabang, jadi keberadaanku tidak penting. Rasanya mereka juga tidak berharga untukku, setelah apa yang mereka lakukan pada ayahku"

Daisuke memejamkan matanya. "Bahkan kedua adik sepupumu? Mereka masih kecil dan lugu seperti dirimu saat itu" ujar Marito lagi.

"Tetap saja" jawab Daisuke singkat. Hening beberapa saat di antara mereka.

"Kenapa kau mengkhawatirkanku?"

"Karena kau orang tersisa yang kumiliki, Daisuke"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!