"Hana, antarkan kopi ini ke meja nomor tiga belas," ujar Satria menyodorkan secangkir kopi pada gadis yang dipanggilnya.
Hana tersenyum pada Satria, lalu menaruh kopi racikan pemuda itu ke nampan. Ia pun berjalan mengantarkan secangkir kopi cappucino itu ke meja yang dituju.
Setibanya di meja tiga belas, Hana tertegun sejenak. Seorang pemuda berkacamata yang kerap memperhatikannya diam-diam, mengembangkan senyum tatkala Hana mengantarkan minumannya.
Dengan sungkan, Hana menaruh cangkir kopi di meja pria tampan berparas campuran Indo-Eropa itu, kemudian berbalik badan. Perasaan Hana selalu saja tak enak sejak pemuda itu sering mampir ke kafe tempatnya bekerja.
"Kenapa kamu buru-buru begitu, Hana? Duduklah dulu sebentar denganku," ujar pria berkacamata itu memandang Hana dengan semringah.
Hana terperangah mendengar pria itu menyebut namanya. Hatinya bertanya-tanya, dari mana pria itu mengetahui namanya. Kendati demikian, ia berusaha tetap tenang dan menghela napas dalam-dalam. Gadis itu kemudian menoleh pada pelanggan di meja tiga belas sambil tersenyum gugup.
"Maaf, Mas. Saya masih banyak pekerjaan. Permisi," kata Hana, sembari melangkah pergi dari meja pria itu.
Alih-alih membiarkan Hana pergi, pria berkacamata itu beranjak dari tempat duduknya dan meraih tangan gadis incarannya. Ditatapnya Hana begitu dalam, dengan wajah memelas. "Kumohon, sekali ini saja. Aku mau ngobrol sebentar sama kamu. Hm?"
Hana mengembuskan napas berat, lalu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Setelah yakin atasannya tidak berada di sana, mata gadis itu menatap wajah pria di depannya, lalu mengangguk pelan.
Keduanya pun duduk di kursi masing-masing. Hana merasa canggung, duduk berhadapan dengan pria yang mengajaknya itu. Sungguh, ia tak menyangka, pria yang kerap menatapnya dari jauh itu akhirnya berani mengajak bicara.
"Oya, Hana. Kita belum kenalan, ya. Aku Yudis, mahasiswa fakultas kedokteran di universitas sekitar sini," kata Yudis sembari mengulurkan tangan.
Hana menyalami tangan pria berkacamata itu, seraya berkata, "Hana."
"Senang bisa berkenalan denganmu," tutur Yudis mengembangkan senyum simpul di bibir tipisnya, sambil melepaskan jabatan tangannya dengan Hana.
"Kamu mau ngobrolin apa? Kita baru kenalan hari ini. Apa ada hal penting yang mau kamu bicarakan?" tanya Hana dengan tatapan menyelidik. Dadanya berdebar-debar, mengingat kelakuan aneh pemuda itu sejak sering datang ke kafe.
Yudis menyeruput kopi di cangkirnya, lalu menatap Hana lekat-lekat. "Ya, aku mau membahas soal perasaan. Kamu tahu?"
"Perasaan? Perasaan apa?"
"Hana. Kalau boleh jujur, aku sangat mengagumimu sejak pertama kali berkunjung ke sini. Kamu punya mata yang indah, paras yang cantik, serta tubuh yang menawan. Aku suka itu," jelas Yudis, sambil memperhatikan Hana dari atas sampai bawah.
"Apa maksud kamu bilang begitu? Jadi, kamu sengaja mengajakku ngobrol cuma mau melecehkan saja?" ketus Hana, mulai gusar.
"Kenapa kamu berpikiran buruk seperti itu, Hana? Justru aku ingin memuji kecantikanmu. Buatku, kamu ini seperti bunga mekar di musim semi," sanggah Yudis.
Hana mendesah kasar sambil membuang muka. Baginya, pujian Yudis tak lebih dari sebuah gombalan murahan yang biasa diucapkan oleh banyak pria.
"Kenapa kamu bersikap begitu? Apa aku salah karena sudah mengagumimu? Kalau gitu, aku minta maaf, ya," ucap Yudis memandang Hana dengan raut penuh penyesalan.
Hana kembali menatap Yudis dengan canggung, lalu menundukkan kepala seolah menghindari tatapan begitu dalam dari balik kacamata pria itu. "T-Tidak. Tidak apa-apa. Bukankah semua orang berhak untuk kagum?"
Yudis tersenyum, lalu memegang tangan kanan Hana yang mengepal di meja. "Kalau begitu, boleh aku mengatakan sesuatu?"
Hana menarik tangannya dari genggaman Yudis, lalu mengangkat wajah dan memandang pria itu dengan gelisah. "Apa?"
"Kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku janji, aku nggak bakal pernah berpaling dari kamu dan menjadikan kamu perempuan paling bahagia di dunia ini," ungkap Yudis, matanya yang berbinar-binar menyiratkan harapan amat besar pada Hana.
Tercengang Hana mendengar ungkapan perasaan Yudis. Sekujur tubuhnya seketika membeku, tatkala menatap wajah pria tampan dengan sorot mata tajam bagai elang dari balik kacamatanya.
Alih-alih terpikat oleh paras rupawan Yudis, Hana merasa gelisah setengah mati. Sebelum menyanggah ucapan Yudis, ia mengalihkan pandangan ke meja barista. Hubungan asmara yang telah ia jalin lama dengan Satria, sedang dipertaruhkan saat ini. Memilih setia atau berkhianat.
"Gimana? Kamu mau, kan?" tanya Yudis memastikan.
"Maaf, Yudis. Sebaiknya kamu cari perempuan lain aja yang lebih menarik dari aku. Bukan apa-apa. Aku cuma nggak mau bikin kamu kecewa," ujar Hana dengan canggung.
"Apa kamu belum siap menerima cinta aku? Nggak apa-apa. Aku bakal nungguin kamu sampai kapan pun, kok."
"Bukan begitu. Aku ... a-aku sebenernya udah punya pacar. Maaf, ya," terang Hana terbata-bata.
Seketika senyum di wajah Yudis memudar. Ia mengangguk takzim, mencoba memahami jalan pikiran Hana. Dipandanginya lagi wajah gadis itu, sambil menyunggingkan senyum kecut.
"Nggak apa-apa. Aku ngerti kok," kata Yudis, tampak berusaha berlapang dada.
"Aku harap, kamu bisa nemuin cewek yang lebih baik dari aku, ya," ujar Hana, memandang Yudis.
Yudis mengangguk. "Semoga saja."
"Kalau gitu, aku kerja lagi, ya. Masih banyak pelanggan yang harus aku layani," pamit Hana, beranjak dari kursinya.
Yudis mempersilakan Hana pergi dan memandangi gadis itu tanpa berkedip. Diteguknya lagi secangkir kopi cappucino yang diantarkan oleh Hana beberapa saat lalu, kemudian mengalihkan kembali pandangan ke meja barista. Masih teringat jelas dalam benaknya, ketika Hana menoleh ke arah seorang barista di sana. Ia menduga, bahwa pria peracik kopi itulah alasan utama Hana menolaknya.
Dan, benar saja. Firasat Yudis tidaklah meleset. Hana diantar pulang oleh Satria menggunakan motor matic. Yudis yang mengintai mereka dari jauh, mengikuti sepasang sejoli itu dari belakang menggunakan mobilnya.
Sepanjang jalan, rasa cemburu membakar hati Yudis. Hana yang memeluk erat Satria dari belakang, seakan menunjukkan kedekatan begitu kentara. Yudis tidak menyukai itu. Baginya, gadis secantik Hana tak pantas dimiliki oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Setelah Hana diantarkan sampai depan kos, Satria memberikan kecupan manis di kening gadis itu. Yudis mendengus sebal menyaksikan romansa di antara mereka, sampai memukul kemudi.
Selanjutnya, Yudis mengikuti Satria pergi. Hanya kobaran dendam dan cemburu yang ada di dalam kepalanya. Pria itu segera turun dari mobil ketika Satria sampai di kos-nya.
Yudis mengetuk pintu kos Satria. Tak lama kemudian, pemuda yang merupakan kekasih Hana itu membukakan pintu dan memasang raut bingung.
"Kamu siapa, ya? Ada perlu apa datang kemari?" tanya Satria dengan canggung.
"Aku boleh masuk ke dalam nggak? Ada hal penting yang mau aku omongin," jelas Yudis.
Tanpa ragu, Satria mempersilakan Yudis masuk ke dalam kos-nya. Adapun Yudis, mengedarkan pandangan ke seisi ruangan kos sempit itu sambil tersenyum sinis.
"Silakan duduk," ujar Satria.
"Aku tidak akan lama di sini. Aku cuma mau tanya-tanya soal Hana," kata Yudis, enggan berbasa-basi.
"Hana? Mau nanya apa emangnya?" Satria mengernyitkan kening.
"Aku mau tanya, udah sejauh mana kamu hubungan sama dia? Apa kalian beneran pacaran?" tanya Yudis, dengan tatapan menyelidik.
"Ya, kami emang pacaran. Apa urusannya sama kamu, sampai nanya-nanya begitu?"
"Mulai saat ini kalian nggak perlu pacaran lagi, ya. Ikhlasin aja Hana buat aku. Oke?"
"A-Apa?! Jadi, kamu datang ke sini cuma buat nyuruh aku putus sama Hana? Bro, di luar sana masih banyak cewek jomblo. Ngapain kamu ngincar pacar aku?"
"Karena cuma cewek kamu yang paling cantik di dunia ini. Aku nggak mau cewek lain."
"Brengsek!" umpat Satria melancarkan pukulan ke wajah Yudis.
Dengan cekatan, Yudis menghindari pukulan Satria. Ia langsung memiting leher kekasih Hana, lalu menodongkan pisau lipat ke arah lelaki itu.
"Putusin Hana, atau leher kamu yang dibikin putus?" ancam Yudis dengan dingin.
"Sialan! Sampai kapan pun aku nggak bakal putusin Hana," tolak Satria mantap.
"Begitu, ya. Baiklah," ucap Yudis, sembari menggoreskan pisau di leher Satria, lalu melepaskannya.
Satria pun terkapar di lantai sambil meringis kesakitan memegangi lehernya. Yudis menyalakan korek dari saku celananya, kemudian membakar barang-barang berbahan kain satu per satu. Dalam sekejap, kobaran api mulai melalap seisi kos Satria, hingga ruangan terasa begitu panas dan pengap.
Yudis tertawa puas sambil melangkah ke luar dan menutup pintu kos. Tanpa merasa iba, ia meninggalkan Satria meronta-ronta di tengah kobaran api.
Kabar kematian Satria sampai kepada Hana saat dini hari. Gadis itu mendengar kabar duka dari sahabatnya yang kebetulan tinggal di daerah dekat kediaman Satria. Namanya Arum. Ia mendatangi kos Hana dan mengatakan, bahwa Satria telah dibawa ke rumah sakit.
Tanpa banyak berpikir, Hana bersama Arum datang ke rumah sakit dan bergegas ke kamar jenazah. Dengan didampingi seorang perawat, Hana memasuki ruangan sepi itu. Perasaannya remuk redam tatkala melangkah menuju pembaringan Satria. Hatinya masih terguncang bagai disambar petir yang menggelegar.
Perlahan, sang perawat membuka kain penutup jenazah hingga tampaklah wajah Satria yang sudah hangus terbakar.
"Satria ... A-apa ini beneran kamu? Ini cuma mimpi, kan? Nggak mungkin! Nggak mungkin! Kamu nggak mungkin mati, Satria!" lirih Hana, air mata luruh begitu saja membasahi pipinya. Ia pun menangis histeris, sembari memeluk tubuh sang kekasih yang terbujur kaku dan hangus akibat terbakar api.
"Mbak, sebaiknya Mbak keluar, ya. Sebentar lagi pihak keluarga korban akan datang," ujar perawat perempuan itu memegang lengan Hana.
Dengan langkah gontai, Hana menuruti perintah perawat. Ia menunggu di luar ruang jenazah sambil tertunduk lesu. Kesedihannya semakin menjadi ketika kenangan terakhir bersama Satria terlintas di benak.
"Yang tabah, ya, Hana. Ini semua di luar dugaan kita," bujuk Arum menyandarkan kepala Hana ke pundaknya.
"Aku nggak ngerti kenapa semua ini bisa terjadi. Kenapa kos Satria bisa kebakaran begitu? Aku tau, dia itu keras kepala kalau ditegur buat berhenti merokok. Tapi aku yakin, dia nggak mungkin bertindak bodoh dengan merokok di dalam kos sampai seisi ruangannya terbakar," cerocos Hana, masih tak terima dengan tragedi naas yang menimpa kekasihnya.
"Aku juga kurang tau, Hana. Bisa saja kebakaran itu terjadi karena korsleting listrik di kamar Satria," ucap Arum, menduga-duga.
"Nggak mungkin! Selama tinggal di sana, kondisi listrik di kos dia bagus. Bahkan pemilik kos sendiri bilang, kalau kabelnya itu tebal dan masih baru. Apa mungkin, kos-nya Satria nggak dirawat dengan baik sama pemiliknya? Aku masih nggak terima dengan semua kejadian ini," sanggah Hana bersikukuh.
"Hana, kita nggak tau pasti penyebabnya seperti apa. Tapi, menurutku, coba ingat-ingat lagi, apa Satria pernah punya masalah sama orang-orang sekitar?"
"Enggak, Rum. Pacarku nggak mungkin punya masalah sama orang. Dia tuh orangnya ramah, supel, bahkan sama orang yang nggak dikenal pun dia selalu menyapa lebih dulu. Apa mungkin, orang baik kayak Satria punya musuh? Dia aja nggak ikutan geng motor, mustahil jadi berandalan," sanggah Hana, menatap sinis pada Arum.
Arum tertunduk sembari berkata, "Ya, kali aja ada orang yang nggak suka sama dia. Kita aja kadang nggak tau siapa yang nggak suka sama kita di belakang."
"Nggak mungkin! Satria itu sama-sama perantau dari luar kota, sama kayak aku. Seenggaknya dia bisa pandai jaga sikap biar baik-baik aja di kota orang," bantah Hana, bersikukuh.
"Tapi bisa aja, kan, diem-diem ada yang cemburu sama karir Satria atau sebagainya. Atau bisa jadi dia nggak cerita banyak soal itu sama kamu," sanggah Arum.
Mendengar perkataan Arum, Hana termangu sejenak. Cemburu. Kata itu seakan menjadi pembuka bagi dugaan Hana terhadap Yudis.
"Apa mungkin Yudis sengaja menghabisi Satria?" desis Hana sambil termangu.
"Ada apa, Han? Kamu tahu sesuatu?" tanya Arum penasaran.
"Arum, apa kejadian kebakaran itu diselidiki oleh polisi? Barangkali polisi menemukan petunjuk mengenai pembunuhan," cetus Hana memandang Arum dengan mata membulat.
"Kenapa kamu jadi kepikiran soal pembunuhan? Bukannya dari tadi menyangkal terus kalau Satria tidak dibenci oleh siapa pun?" tanya Arum, mengerutkan dahi.
"Aku merasa, mungkin omongan kamu ada benarnya juga. Apa tetangga sekitar melihat kejadian aneh sebelum kos Satria kebakaran?"
"Waktu aku datang ke sana, aku sempat dengar desas-desus dari warga sekitar, kalau sebelum kebakaran itu terjadi, ada seseorang yang datang ke kos Satria. Tak berselang lama setelah orang itu pergi, kos-nya Satria kebakaran," terang Arum.
Setelah menyimak penuturan Arum, dugaan Hana terhadap Yudis pun semakin kuat. Akan tetapi, ia tak mau sembarangan menuduh pria yang baru saja dikenalnya sebagai pelaku pembunuhan. Bisa saja ada orang lain yang kebetulan datang ke kos Satria untuk mencari tetangga pemuda itu.
***
Sore harinya, Hana tampak lesu menjalani aktivitas sebagai pelayan kafe. Tanpa kehadiran Satria, hidupnya terasa sangat hampa.
Arum yang mendapati Hana begitu kehilangan, menghampiri sahabatnya di sela-sela kegiatannya mengantarkan pesanan pengunjung. Ia menepuk pundak Hana yang sedang melamun dekat meja barista.
"Masih kepikiran sama Satria?" sapa Arum memandang prihatin pada Hana.
Hana terhenyak, lalu menoleh pada Arum. Kepalanya mengangguk pelan, mengisyaratkan bahwa ia memang sedang memikirkan sang kekasih yang sudah tiada.
"Kalau kamu merasa berat, mending kamu minta izin dulu buat tenangin diri," ujar Arum.
Hana menggeleng pelan, sembari menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya. "Aku harus tetap profesional, Rum. Bapakku sedang berobat jalan. Kalau sampai gajiku dipotong, gimana jadinya sama pengobatan Bapak?"
"Ini cuma saranku saja. Daripada kamu memaksakan diri buat bekerja, takutnya kamu sulit konsentrasi," ucap Arum mengusap punggung Hana.
"Nggak apa-apa, kok. Aku masih bisa kerja dengan baik," sanggah Hana, tersenyum simpul.
Di tengah percakapan mereka, seorang barista menyuruh Hana mengantarkan vanilla latte dan croissant ke meja nomor enam. Hana bergegas mengantarkan pesanan itu menuju meja pelanggan.
Namun, lagi-lagi Hana dibuat terkejut oleh kehadiran Yudis di meja nomor enam. Pria itu tampak semringah melihat pesanannya diantar oleh seseorang yang paling dikaguminya.
"Hai, Hana. Aku nggak nyangka kamu bakal nganterin pesanan ke mejaku lagi. Jangan-jangan kita berjodoh," seloroh Yudis tersenyum-senyum.
Alih-alih menggubris, Hana tetap fokus menaruh kopi dan croissant ke meja Yudis.
"Hana, kenapa mata kamu sembap begitu? Apa kamu habis menangis? Coba ceritakan padaku," bujuk Yudis sambil memperhatikan wajah Hana dengan cemas.
"Kamu nggak perlu tau. Ini bukan urusan kamu," ketus Hana, kemudian berbalik badan.
"Apa kamu sudah kehilangan kekasihmu?" tanya pria berkacamata itu, tanpa melepaskan pandangannya pada Hana sedikit pun.
Bergetar hati Hana mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Yudis. Prasangka mengenai pembunuhan Satria oleh Yudis, langsung terlintas di benaknya. Hana yang masih terguncang oleh kematian kekasihnya pun, langsung duduk berhadapan dengan pelanggannya itu.
"Katakan! Apa yang kamu tau soal pacar aku? Aku curiga, jangan-jangan kamu yang sudah menghabisi Satria," cerocos Hana bersungut-sungut.
Yudis mengernyitkan kening seraya bertanya, "Apa? Kamu mencurigai aku, kalau aku sudah menghabisi pacar kamu? Lalu, siapa Satria? Apa dia pacar kamu?"
Tertegun Hana melihat reaksi Yudis yang di luar dugaan. Kecurigaannya seakan runtuh setelah pertanyaan-pertanyaan itu diucapkan oleh Yudis. Astaga! Kenapa aku jadi bertindak gegabah begini? Aku, kan, belum ngasih tau sama dia, kalau Satria itu pacar aku, bisik batinnya.
"Ada apa, Hana?" Yudis menatap Hana dengan heran.
Hana menggeleng cepat. "Sepertinya aku salah menduga. Permisi," ucapnya sembari beranjak dari kursi.
"Hana, kalau kamu butuh teman bicara, aku siap, kok, dengerin kamu. Setidaknya dengan begitu, kita bisa saling mengenal," ujar Yudis.
Hana menoleh pada Yudis. "Maaf, ya. Tapi sekarang aku lagi butuh waktu buat sendiri."
Hana pun melenggang pergi menuju dapur kafe. Arum yang kebetulan akan mengantar pesanan ke pelanggan di meja belakang Yudis, tak sengaja berpapasan dengan sahabatnya itu. Ia tampak curiga, ada sesuatu antara Hana dan pelanggan di meja nomor enam.
Setelah mengantar pesanan pelanggan, Arum melihat-lihat ke sekitarnya, lalu duduk berhadapan dengan Yudis. Pria berkacamata itu menaruh cangkir kopinya tatkala ada pelayan lain yang duduk di depannya.
"Maaf, ada apa, ya, kamu duduk di situ?" tanya Yudis.
"Aku Arum, temannya Hana," ucap Arum memperkenalkan diri. "Apa kamu mengatakan sesuatu sama dia sampai bikin dia marah?"
"Tidak. Aku cuma mau menghiburnya," jelas Yudis, acuh tak acuh.
"Oh." Arum mengangguk takzim.
"Oh, ya. Apa kamu punya nomor ponsel Hana? Barangkali aku bisa menghiburnya lewat berkirim pesan," celetuk Yudis.
"Tentu saja. Kamu mau minta nomornya?" Arum mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Hana yang melihat Arum mengobrol dengan Yudis dari kejauhan, justru bersikap acuh tak acuh. Baginya, bukan hal aneh jika sahabatnya mudah terpikat oleh pria tampan berparas setengah Eropa itu. Ia pun melanjutkan tugasnya mengantar makanan dan minuman ke meja pelanggan lain, tanpa memedulikan kedekatan antara Yudis dan Arum.
Baru saja Hana tiba di kos-nya, sebuah panggilan dari nomor baru muncul di ponselnya. Alih-alih mengangkat telepon, Hana melemparkan ponsel ke tempat tidur seraya merebahkan diri. Sesekali ia menangis terisak-isak, membayangkan kenangan manis bersama sang kekasih di masa lampau.
Kendati demikian, panggilan di ponselnya masih saja muncul berkali-kali. Sungguh, ia merasa malas untuk berbicara dengan siapa pun malam ini.
Setelah panggilan tak terjawab itu reda, sebuah pesan singkat muncul di ponsel Hana. Gadis itu menoleh, lalu membuka pesan dari nomor yang baru saja menghubunginya.
+62xxx : Hana, kenapa kamu nggak angkat teleponku? Apa kamu masih sedih sama kepergian pacar kamu?
Hana : Maaf, aku lagi nggak mood buat ngobrol sama siapa pun.
+62xxx : Kalau nggak mood ngobrol, kita berbalas pesan aja, gimana? Aku siap, kok, buat jadi tempat curhat kamu.
Tertegun Hana membaca pesan dari nomor baru itu. Sambil mengernyitkan kening, ia mencoba mengingat kembali kalimat yang mirip dengan ucapan seseorang itu. Berselang beberapa menit, akhirnya sosok Yudis pun terlintas di dalam benak Hana.
Hana : Kamu Yudis, ya?
+62xxx : Iya. Kok kamu bisa nebak dengan benar? Padahal aku belum bilang kalau ini nomor aku.
Hana : Dari mana kamu dapat nomor aku? Apa tadi Arum ngasih nomor aku ke kamu?
+62xxx : Ya, dia sendiri yang ngasih nomor kamu ke aku. Aku seneng bisa chatting-an sama kamu.
Hana mendesah kasar sambil mengacak rambutnya. Tak sangka, Arum yang selama ini dipercaya, justru memberikan nomornya pada seorang pria tanpa seizinnya. Dicarinya nomor Arum, lalu mengirimkan pesan pada gadis itu.
Hana : Rum, kamu tadi ngasih nomor hape aku ke Yudis?
Arum : Iya. Emangnya kenapa? Apa dia nelepon kamu?
Hana : Kenapa kamu nggak minta izin sama aku dulu, sih?
Arum : Ya ... maaf. Aku cuma kasihan sama kamu. Kali aja Yudis bisa bikin kamu lebih tenang dan nggak sedih lagi.
Hana : Kamu kok jadi naif gitu? Apa, sih, yang bikin kamu kepikiran buat ngasih nomor aku selain merasa kasihan? Apa kamu seneng bikin hidup aku berantakan?
Arum : Kenapa kamu berpikir seperti itu? Aku beneran kasihan sama kamu. Ayolah! Yudis itu lebih ganteng dari Satria. Siapa tau kamu bisa cepat move on dan menerima kenyataan.
Hana : Kamu bisa ngertiin aku nggak, sih? Aku ini cuma butuh menyendiri, bukan orang baru. Jadi, nggak usah ngajak-ngajak orang lain buat menghibur aku. Oke?
Arum : Begitu, ya. Kalau gitu, aku minta maaf udah salah paham sama kemauan kamu. Kalau kamu mau memblokir nomor Yudis, blokir aja.
Hana : Ya iyalah, detik ini juga bakal aku blokir.
Arum : Kamu beneran nggak tertarik sama Yudis? Dia itu ganteng, loh! Mukanya maskulin banget kayak Massimo di film 365 Days.
Hana : Kalau kamu suka sama dia, ya udah, kamu jadian aja sama dia. Nggak usah jadiin aku batu loncatan buat dapetin dia.
Arum : Ah, yang bener? Kamu nggak cemburu?
Hana : Orang gila mana yang lagi kehilangan pacarnya, malah cemburu sama sahabatnya sendiri yang lagi kasmaran sama laki-laki lain?
Arum : Beneran kamu nggak tertarik sama sekali ke Yudis?
Hana : Kenapa kamu nanya begitu? Kalau kamu naksir Yudis, ya udah jadian aja sama dia. Satu lagi, tolong kasih tau Yudis buat nggak ganggu lagi kehidupan aku. Oke?
Arum : Ya udah, deh. Kalau gitu, selamat beristirahat, Hana. Sampai jumpa besok.
Hana : Ya.
Hana kemudian menekan pesan dari nomor baru yang merupakan milik Yudis. Tanpa banyak berpikir, ia memblokir nomor itu. Setidaknya, ia dapat beristirahat dengan tenang malam ini dan larut dalam kehilangan yang semakin dalam.
Sementara itu, Yudis yang berdiri di depan area kos Hana, menyunggingkan senyum setelah mengetahui nomornya telah diblokir. Ia mengangguk pelan, lalu melipat kedua tangannya.
"Apa dengan begitu, kamu bisa menghindar dari aku? Tidak, Hana. Aku akan tetap berusaha mendapatkan kamu bagaimanapun caranya," gumam Yudis sambil memandang ke arah kos Hana.
***
Lima hari setelah kepergian Satria ke alam baka, Hana lambat laut berusaha menerima kenyataan. Setidaknya dengan menyendiri, ia bisa memahami, bahwa tak selamanya manusia hidup di dunia yang fana ini. Adakalanya, Hana perlu bertafakur akan takdir yang Tuhan berikan dalam hidupnya agar terhindar dari dosa.
Ketika kembali bekerja di kafe, Hana tampak senang melihat sahabatnya semakin dekat dengan Yudis. Berkat Arum, Yudis tak lagi menghubungi lewat telepon ataupun mencegatnya ketika mengantarkan pesanan pada pelanggan.
Menjelang waktunya kafe tutup, Arum tampak berseri-seri menghampiri Hana yang sedang membereskan meja dan kursi. Ia menepuk pundak Hana, sampai sahabatnya itu menoleh.
"Ada apa, Rum? Kok kamu senyum-senyum begitu?" tanya Hana menatap Arum dengan heran.
"Kamu tau, nggak? Yudis ngajak aku kencan di hotel bintang lima!" ungkap Arum tampak histeris.
"Kencan? Di hotel bintang lima? Maksudnya makan malam romantis?"
Arum mengangguk kuat.
"Wah! Bagus deh kalau begitu. Aku turut senang, kamu akhirnya bisa jadian sama dia."
"Iya. Aku berterimakasih banget sama kamu karena udah ngizinin buat deketin Yudis. Aku beneran merasa beruntung, bisa kencan bareng cowok tampan yang tajir melintir," decak Arum dengan mata berbinar-binar.
Hana mengulas senyum seraya berkata, "Justru aku yang harus berterimakasih sama kamu. Berkat kamu, Yudis nggak lagi merhatiin aku. Sekali lagi, terimakasih banyak, ya, Rum."
"Kamu ini aneh, Hana. Diperhatiin sama cowok ganteng nggak mau. Coba aja kalau kamu cepat move on dan jadian sama Yudis. Mungkin aku bakalan jadi cewek pertama yang cemburu sama kamu."
"Maka dari itu, aku nggak mau cepetan move on dan pacaran sama Yudis. Aku nggak mau persahabatan kita rusak cuma gara-gara cowok."
"Ah, Hana. Kenapa kamu ngomong gitu, sih? Aku, kan, jadi terharu," kata Arum, lalu memeluk Hana dengan erat.
"Santai aja, Rum. Bukannya sesama sahabat harus saling dukung?" sanggah Hana, sembari melepaskan pelukan Arum.
Di tengah-tengah obrolan mereka, sebuah panggilan muncul di ponsel Arum. Secepatnya, gadis berambut pendek itu mengangkat telepon yang ternyata dari Yudis. Rupanya pria itu sedang menunggunya di depan kafe untuk mengantar Arum pulang.
Setelah menutup panggilan dari Yudis, Arum menoleh pada Hana. "Hana, aku pulang duluan, ya. Yudis udah nungguin di depan."
"Ya, silakan," ujar Hana.
Selepas Arum pulang bersama Yudis, ojek daring yang dipesan Hana lewat aplikasi akhirnya datang. Gadis itu pun pulang, berharap bisa melepas penat setelah seharian bekerja.
Lima belas menit perjalanan ditempuh Hana dari kafe sampai kos-nya. Setelah menyerahkan ongkos pada pengemudi ojek, Hana berjalan menuju kamar kos yang berada di lantai dua. Belum sempat membuka pintu, sebuah pesan masuk muncul di ponselnya.
+62xxx : Apa dengan mengandalkan Arum, kamu bisa bikin aku lupa sama kamu? Nggak segampang itu, Hana.
Berdebar dada Hana membaca pesan singkat dari nomor baru. Bergegas ia masuk ke dalam kos-nya, lalu menutup pintu dan menguncinya. Perasaan Hana yang semula lega, mendadak gelisah setelah menerima pesan itu.
Hana : Yudis? Nomor kamu, kan, udah aku blokir. Kenapa kamu menghubungi aku lagi?
+62xxx : Ayolah! Orang bisa beli nomor baru buat menghubungi seseorang yang memblokirnya. Mau sesering apa pun kamu memblokir nomor aku, aku bakal terus menghubungi kamu gimanapun caranya. Kalau perlu, aku borong semua kartu perdana dari outlet.
Hana : Apa yang sebenarnya kamu mau? Kamu, kan, bentar lagi jadian sama Arum. Kenapa masih gangguin aku lagi, sih?
+62xxx : Aku cuma mau kamu, Hana.
Hana : Terus, gimana sama Arum? Dia benar-benar suka sama kamu. Apa kamu mau mempermainkan dia?
+62xxx : Iya. Kalau kamu bisa mengandalkan Arum buat menjauhkan aku dari kamu, kenapa aku tidak?
Hana : Apa maksud kamu mau mengandalkan Arum?
+62xxx : Hana, aku peringatkan sama kamu. Kalau kamu ingin sahabatmu ini baik-baik saja, tolong terima aku sebagai kekasih kamu. Gimana?
Hana : Enggak! Sampai kapan pun aku nggak bakalan nerima kamu buat gantiin posisi Satria di hati aku.
+62xxx : Begitu, ya. Baiklah. Berarti kamu setuju jika nyawa Arum aku lenyapkan di hotel nanti.
Hana : Apa? Apa maksud kamu mau melenyapkan nyawa Arum? Jangan coba-coba berbuat yang aneh-aneh!
+62xxx : Kalau begitu, jadikan aku pacar kamu kalau pengin sahabat kamu selamat.
Hana : Aku nggak akan gentar sama semua ancaman kamu. Lihat aja! Aku bakal mencegah Arum biar nggak datang ke hotel itu.
+62xxx : Baiklah. Coba saja kalau kamu bisa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!