Hampa

Kabar kematian Satria sampai kepada Hana saat dini hari. Gadis itu mendengar kabar duka dari sahabatnya yang kebetulan tinggal di daerah dekat kediaman Satria. Namanya Arum. Ia mendatangi kos Hana dan mengatakan, bahwa Satria telah dibawa ke rumah sakit.

Tanpa banyak berpikir, Hana bersama Arum datang ke rumah sakit dan bergegas ke kamar jenazah. Dengan didampingi seorang perawat, Hana memasuki ruangan sepi itu. Perasaannya remuk redam tatkala melangkah menuju pembaringan Satria. Hatinya masih terguncang bagai disambar petir yang menggelegar.

Perlahan, sang perawat membuka kain penutup jenazah hingga tampaklah wajah Satria yang sudah hangus terbakar.

"Satria ... A-apa ini beneran kamu? Ini cuma mimpi, kan? Nggak mungkin! Nggak mungkin! Kamu nggak mungkin mati, Satria!" lirih Hana, air mata luruh begitu saja membasahi pipinya. Ia pun menangis histeris, sembari memeluk tubuh sang kekasih yang terbujur kaku dan hangus akibat terbakar api.

"Mbak, sebaiknya Mbak keluar, ya. Sebentar lagi pihak keluarga korban akan datang," ujar perawat perempuan itu memegang lengan Hana.

Dengan langkah gontai, Hana menuruti perintah perawat. Ia menunggu di luar ruang jenazah sambil tertunduk lesu. Kesedihannya semakin menjadi ketika kenangan terakhir bersama Satria terlintas di benak.

"Yang tabah, ya, Hana. Ini semua di luar dugaan kita," bujuk Arum menyandarkan kepala Hana ke pundaknya.

"Aku nggak ngerti kenapa semua ini bisa terjadi. Kenapa kos Satria bisa kebakaran begitu? Aku tau, dia itu keras kepala kalau ditegur buat berhenti merokok. Tapi aku yakin, dia nggak mungkin bertindak bodoh dengan merokok di dalam kos sampai seisi ruangannya terbakar," cerocos Hana, masih tak terima dengan tragedi naas yang menimpa kekasihnya.

"Aku juga kurang tau, Hana. Bisa saja kebakaran itu terjadi karena korsleting listrik di kamar Satria," ucap Arum, menduga-duga.

"Nggak mungkin! Selama tinggal di sana, kondisi listrik di kos dia bagus. Bahkan pemilik kos sendiri bilang, kalau kabelnya itu tebal dan masih baru. Apa mungkin, kos-nya Satria nggak dirawat dengan baik sama pemiliknya? Aku masih nggak terima dengan semua kejadian ini," sanggah Hana bersikukuh.

"Hana, kita nggak tau pasti penyebabnya seperti apa. Tapi, menurutku, coba ingat-ingat lagi, apa Satria pernah punya masalah sama orang-orang sekitar?"

"Enggak, Rum. Pacarku nggak mungkin punya masalah sama orang. Dia tuh orangnya ramah, supel, bahkan sama orang yang nggak dikenal pun dia selalu menyapa lebih dulu. Apa mungkin, orang baik kayak Satria punya musuh? Dia aja nggak ikutan geng motor, mustahil jadi berandalan," sanggah Hana, menatap sinis pada Arum.

Arum tertunduk sembari berkata, "Ya, kali aja ada orang yang nggak suka sama dia. Kita aja kadang nggak tau siapa yang nggak suka sama kita di belakang."

"Nggak mungkin! Satria itu sama-sama perantau dari luar kota, sama kayak aku. Seenggaknya dia bisa pandai jaga sikap biar baik-baik aja di kota orang," bantah Hana, bersikukuh.

"Tapi bisa aja, kan, diem-diem ada yang cemburu sama karir Satria atau sebagainya. Atau bisa jadi dia nggak cerita banyak soal itu sama kamu," sanggah Arum.

Mendengar perkataan Arum, Hana termangu sejenak. Cemburu. Kata itu seakan menjadi pembuka bagi dugaan Hana terhadap Yudis.

"Apa mungkin Yudis sengaja menghabisi Satria?" desis Hana sambil termangu.

"Ada apa, Han? Kamu tahu sesuatu?" tanya Arum penasaran.

"Arum, apa kejadian kebakaran itu diselidiki oleh polisi? Barangkali polisi menemukan petunjuk mengenai pembunuhan," cetus Hana memandang Arum dengan mata membulat.

"Kenapa kamu jadi kepikiran soal pembunuhan? Bukannya dari tadi menyangkal terus kalau Satria tidak dibenci oleh siapa pun?" tanya Arum, mengerutkan dahi.

"Aku merasa, mungkin omongan kamu ada benarnya juga. Apa tetangga sekitar melihat kejadian aneh sebelum kos Satria kebakaran?"

"Waktu aku datang ke sana, aku sempat dengar desas-desus dari warga sekitar, kalau sebelum kebakaran itu terjadi, ada seseorang yang datang ke kos Satria. Tak berselang lama setelah orang itu pergi, kos-nya Satria kebakaran," terang Arum.

Setelah menyimak penuturan Arum, dugaan Hana terhadap Yudis pun semakin kuat. Akan tetapi, ia tak mau sembarangan menuduh pria yang baru saja dikenalnya sebagai pelaku pembunuhan. Bisa saja ada orang lain yang kebetulan datang ke kos Satria untuk mencari tetangga pemuda itu.

***

Sore harinya, Hana tampak lesu menjalani aktivitas sebagai pelayan kafe. Tanpa kehadiran Satria, hidupnya terasa sangat hampa.

Arum yang mendapati Hana begitu kehilangan, menghampiri sahabatnya di sela-sela kegiatannya mengantarkan pesanan pengunjung. Ia menepuk pundak Hana yang sedang melamun dekat meja barista.

"Masih kepikiran sama Satria?" sapa Arum memandang prihatin pada Hana.

Hana terhenyak, lalu menoleh pada Arum. Kepalanya mengangguk pelan, mengisyaratkan bahwa ia memang sedang memikirkan sang kekasih yang sudah tiada.

"Kalau kamu merasa berat, mending kamu minta izin dulu buat tenangin diri," ujar Arum.

Hana menggeleng pelan, sembari menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya. "Aku harus tetap profesional, Rum. Bapakku sedang berobat jalan. Kalau sampai gajiku dipotong, gimana jadinya sama pengobatan Bapak?"

"Ini cuma saranku saja. Daripada kamu memaksakan diri buat bekerja, takutnya kamu sulit konsentrasi," ucap Arum mengusap punggung Hana.

"Nggak apa-apa, kok. Aku masih bisa kerja dengan baik," sanggah Hana, tersenyum simpul.

Di tengah percakapan mereka, seorang barista menyuruh Hana mengantarkan vanilla latte dan croissant ke meja nomor enam. Hana bergegas mengantarkan pesanan itu menuju meja pelanggan.

Namun, lagi-lagi Hana dibuat terkejut oleh kehadiran Yudis di meja nomor enam. Pria itu tampak semringah melihat pesanannya diantar oleh seseorang yang paling dikaguminya.

"Hai, Hana. Aku nggak nyangka kamu bakal nganterin pesanan ke mejaku lagi. Jangan-jangan kita berjodoh," seloroh Yudis tersenyum-senyum.

Alih-alih menggubris, Hana tetap fokus menaruh kopi dan croissant ke meja Yudis.

"Hana, kenapa mata kamu sembap begitu? Apa kamu habis menangis? Coba ceritakan padaku," bujuk Yudis sambil memperhatikan wajah Hana dengan cemas.

"Kamu nggak perlu tau. Ini bukan urusan kamu," ketus Hana, kemudian berbalik badan.

"Apa kamu sudah kehilangan kekasihmu?" tanya pria berkacamata itu, tanpa melepaskan pandangannya pada Hana sedikit pun.

Bergetar hati Hana mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Yudis. Prasangka mengenai pembunuhan Satria oleh Yudis, langsung terlintas di benaknya. Hana yang masih terguncang oleh kematian kekasihnya pun, langsung duduk berhadapan dengan pelanggannya itu.

"Katakan! Apa yang kamu tau soal pacar aku? Aku curiga, jangan-jangan kamu yang sudah menghabisi Satria," cerocos Hana bersungut-sungut.

Yudis mengernyitkan kening seraya bertanya, "Apa? Kamu mencurigai aku, kalau aku sudah menghabisi pacar kamu? Lalu, siapa Satria? Apa dia pacar kamu?"

Tertegun Hana melihat reaksi Yudis yang di luar dugaan. Kecurigaannya seakan runtuh setelah pertanyaan-pertanyaan itu diucapkan oleh Yudis. Astaga! Kenapa aku jadi bertindak gegabah begini? Aku, kan, belum ngasih tau sama dia, kalau Satria itu pacar aku, bisik batinnya.

"Ada apa, Hana?" Yudis menatap Hana dengan heran.

Hana menggeleng cepat. "Sepertinya aku salah menduga. Permisi," ucapnya sembari beranjak dari kursi.

"Hana, kalau kamu butuh teman bicara, aku siap, kok, dengerin kamu. Setidaknya dengan begitu, kita bisa saling mengenal," ujar Yudis.

Hana menoleh pada Yudis. "Maaf, ya. Tapi sekarang aku lagi butuh waktu buat sendiri."

Hana pun melenggang pergi menuju dapur kafe. Arum yang kebetulan akan mengantar pesanan ke pelanggan di meja belakang Yudis, tak sengaja berpapasan dengan sahabatnya itu. Ia tampak curiga, ada sesuatu antara Hana dan pelanggan di meja nomor enam.

Setelah mengantar pesanan pelanggan, Arum melihat-lihat ke sekitarnya, lalu duduk berhadapan dengan Yudis. Pria berkacamata itu menaruh cangkir kopinya tatkala ada pelayan lain yang duduk di depannya.

"Maaf, ada apa, ya, kamu duduk di situ?" tanya Yudis.

"Aku Arum, temannya Hana," ucap Arum memperkenalkan diri. "Apa kamu mengatakan sesuatu sama dia sampai bikin dia marah?"

"Tidak. Aku cuma mau menghiburnya," jelas Yudis, acuh tak acuh.

"Oh." Arum mengangguk takzim.

"Oh, ya. Apa kamu punya nomor ponsel Hana? Barangkali aku bisa menghiburnya lewat berkirim pesan," celetuk Yudis.

"Tentu saja. Kamu mau minta nomornya?" Arum mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Hana yang melihat Arum mengobrol dengan Yudis dari kejauhan, justru bersikap acuh tak acuh. Baginya, bukan hal aneh jika sahabatnya mudah terpikat oleh pria tampan berparas setengah Eropa itu. Ia pun melanjutkan tugasnya mengantar makanan dan minuman ke meja pelanggan lain, tanpa memedulikan kedekatan antara Yudis dan Arum.

Episodes
1 Jadilah Kekasihku
2 Hampa
3 Mengisi Kekosongan Hati
4 Peringatan untuk Arum
5 Cinta atau Racun?
6 Bukti dan Pembenaran
7 Mengulur Waktu
8 Apa Kekuranganku? Katakan!
9 Teror
10 Luka Hati yang Patah
11 Menemukan Alin
12 Pisau Bermata Dua
13 Menjadi Pahlawan
14 Siasat
15 Ancaman dan Penyesalan
16 Berkumpul Kembali
17 Jaga Dirimu, Hana
18 Ketika Kekuasaan Berbicara
19 Tak Tenang
20 Perayaan Kebebasan
21 Kehilangan
22 Tolong, Jaga Batasanmu!
23 Berikan Cintamu
24 Pekerjaan Baru
25 Aroma Kenangan
26 Pertemuan Mengejutkan
27 Fakta Baru
28 Memilih Pulang
29 Rapuh
30 Mengharap Keadilan
31 Keraguan
32 Pak Parman Siuman
33 Curiga
34 Duka
35 Setelah Bapak Tiada
36 Pertaruhan
37 Alasan
38 Sesuai Kesepakatan
39 Pembebasan Lusi
40 Tak Lagi Sama
41 Rahasia Hana
42 Coba Pikirkan Dulu
43 Tawaran ke Luar Negeri
44 Negosiasi
45 Pelarian
46 Kenapa Harus Kamu?
47 Mengambil Keputusan
48 Konspirasi?!
49 Kekhawatiran Seorang Ibu
50 Tempat Baru
51 Menggenggam Dendam
52 Main Api
53 Kamu Hanya Milikku
54 Mayat di Toren Air
55 Pandangan Sinis
56 Pantaskan Dirimu
57 Surat Misterius
58 Impoten?!
59 Mengolok Anwar
60 Pencarian
61 Bu Esih Kecewa
62 Ternoda
63 Terus Terang Saja
64 Hukum Aku, Sayang
65 Kevin Menggertak
66 Adu Intrik
67 Cemburu
68 Memperoleh Maaf
69 Perpisahan Menyakitkan
70 Bolehkah Aku Mati di Tanganmu?
71 Ini Hubungan Toksik, Kak!
72 Dewa yang Ditunggu
73 Barter
74 Maukah Kamu Memaafkanku?
75 Membuka Kotak Pandora
76 Hari Indah Bersamamu
77 Apa Kamu Sungguh-sungguh Mencintaiku?
78 Obsesi Membakar Cinta
79 Visual
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Jadilah Kekasihku
2
Hampa
3
Mengisi Kekosongan Hati
4
Peringatan untuk Arum
5
Cinta atau Racun?
6
Bukti dan Pembenaran
7
Mengulur Waktu
8
Apa Kekuranganku? Katakan!
9
Teror
10
Luka Hati yang Patah
11
Menemukan Alin
12
Pisau Bermata Dua
13
Menjadi Pahlawan
14
Siasat
15
Ancaman dan Penyesalan
16
Berkumpul Kembali
17
Jaga Dirimu, Hana
18
Ketika Kekuasaan Berbicara
19
Tak Tenang
20
Perayaan Kebebasan
21
Kehilangan
22
Tolong, Jaga Batasanmu!
23
Berikan Cintamu
24
Pekerjaan Baru
25
Aroma Kenangan
26
Pertemuan Mengejutkan
27
Fakta Baru
28
Memilih Pulang
29
Rapuh
30
Mengharap Keadilan
31
Keraguan
32
Pak Parman Siuman
33
Curiga
34
Duka
35
Setelah Bapak Tiada
36
Pertaruhan
37
Alasan
38
Sesuai Kesepakatan
39
Pembebasan Lusi
40
Tak Lagi Sama
41
Rahasia Hana
42
Coba Pikirkan Dulu
43
Tawaran ke Luar Negeri
44
Negosiasi
45
Pelarian
46
Kenapa Harus Kamu?
47
Mengambil Keputusan
48
Konspirasi?!
49
Kekhawatiran Seorang Ibu
50
Tempat Baru
51
Menggenggam Dendam
52
Main Api
53
Kamu Hanya Milikku
54
Mayat di Toren Air
55
Pandangan Sinis
56
Pantaskan Dirimu
57
Surat Misterius
58
Impoten?!
59
Mengolok Anwar
60
Pencarian
61
Bu Esih Kecewa
62
Ternoda
63
Terus Terang Saja
64
Hukum Aku, Sayang
65
Kevin Menggertak
66
Adu Intrik
67
Cemburu
68
Memperoleh Maaf
69
Perpisahan Menyakitkan
70
Bolehkah Aku Mati di Tanganmu?
71
Ini Hubungan Toksik, Kak!
72
Dewa yang Ditunggu
73
Barter
74
Maukah Kamu Memaafkanku?
75
Membuka Kotak Pandora
76
Hari Indah Bersamamu
77
Apa Kamu Sungguh-sungguh Mencintaiku?
78
Obsesi Membakar Cinta
79
Visual

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!