Ketika Kekuasaan Berbicara

Sebulan setelah kembali dari kampung halamannya, Hana menjalani kehidupan normal dan lebih tenang. Tak ada lagi ancaman ataupun teror dari pria aneh yang kerap menguntitnya. Mengantarkan pesanan pada pembeli, mengobrol dengan rekan kerja, dan pulang ke kos tanpa merasa was-was dapat dinikmatinya kali ini.

Saat hari persidangan kasus pembunuhan Alin dibuka, Hana mulai harap-harap cemas. Berkali-kali ia mengalihkan pandangan ke layar televisi kafe, menyimak perkembangan berita mengenai kasus kematian temannya itu. Namun, selera pengunjung yang lebih suka hiburan ketimbang berita, membuat Hana bersabar untuk mengetahui kabar kasus Alin lebih lanjut.

Menjelang sore, berita hasil persidangan disiarkan di televisi. Para pengunjung yang kala itu didominasi oleh gadis-gadis belia, tampak antusias menyimak siaran di layar kaca. Tampang para pelaku yang rupawan menjadi perhatian bagi mereka.

Hana yang mengantar pesanan ke meja tempat dua orang gadis belia, tak sengaja mendengar mereka begitu tersipu-sipu memandangi paras Yudis yang rupawan. Bahkan, keduanya tampak berdebat membandingkan siapa yang paling tampan dari kelima pelaku.

"Dek, nggak ada gunanya kalian mengagumi para penjahat itu. Mereka sudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Apa kalian nggak sedikit pun merasa kasihan sama korban?" tegur Hana di sela-sela tugasnya mengantarkan minuman.

"Kami kasihan, kok, sama korban. Emangnya kami nggak boleh, ya, muji cowok-cowok ganteng yang jadi pelakunya?" sanggah gadis belia berambut panjang diikat kuncir kuda.

Hana mengembuskan napas pelan, lalu berkata, "Kalian sebaiknya jangan gampang terkecoh sama tampang laki-laki. Coba kalau situasi buruk itu menimpa kalian, apa kalian masih bisa muji-muji mereka? Tindakan kekerasan dan pelecehan itu nggak bisa dimaafkan."

"Kok Kakak malah nyuruh kami ngebayangin di posisi korban? Kakak berharap kami mengalami nasib buruk?" Seorang gadis berambut pendek memakai jepit rambut memandang sinis pada Hana.

"Kakak bukannya mendoakan. Kakak cuma pengen, kalian tuh bisa merasakan penderitaan korban," jelas Hana.

"Kalau aku, sih, seneng-seneng aja jadi korban, apalagi pelakunya kayak mereka. Pasti badan mereka tuh bagus-bagus dan menggoda," celetuk gadis dengan rambut diikat kuncir kuda.

Terbelalak Hana mendengar perkataan salah satu gadis belia itu. "Apa?! Jadi, kamu nggak merasa takut sedikit pun kalau seandainya berada di posisi korban?!"

"Buat apa? Jarang-jarang, kan, bisa kumpul bareng cowok gagah dan ganteng kayak mereka. Apalagi sama Andra Darmawijaya yang influencer itu. Pasti aku bakal ikutan beken," tutur gadis belia itu.

"Astaga," desis Hana menggeleng pelan. "Kalau begitu, nikmati saja kopinya. Semoga otak kalian lekas waras setelah meneguk secangkir kopi."

Dua gadis belia itu mendelik tajam pada Hana yang melengos meninggalkan mereka. Hana menaruh nampan ke tempat semula, lalu mengusap wajahnya seolah tak percaya telah mendengar kata-kata mengerikan dari dua pembeli tadi.

"Hana, kamu udah lihat berita tadi, kan?" tanya Santi menepuk pundak Hana.

Hana menoleh seraya berkata, "Iya."

"Aku nggak nyangka, cowok yang malam itu menjambak rambut kamu ikut terseret dalam kasus pembunuhan itu. Sejak malam itu, aku mikir kalau dia itu emang nggak ada belas kasih sama sekali terhadap cewek," tutur Santi.

"Cowok yang gampang bertindak kasar sama cewek, pasti bakal gampang ngelakuin hal yang sama ke cewek lain," jelas Hana.

"Tapi sayang, dia dinyatakan nggak bersalah," ungkap Santi.

Tercengang Hana mendengar informasi itu. "Dinyatakan nggak bersalah? Bagaimana bisa?"

"Kamu nggak nyimak baik-baik berita tadi?"

Hana menggeleng. "Aku tadi sibuk diskusi sama dua cewek di meja nomor lima belas, makanya nggak bisa menyimak dengan baik."

"Astaga." Santi melirik sekilas pada Hana.

"Katakan! Bagaimana bisa cowok itu dinyatakan nggak bersalah? Padahal jelas-jelas dia pelakunya," tuntut Hana penasaran.

"Bukti-bukti yang ada mengarah kuat pada Anwar Syaifuddin Muzakir. Keempat tersangka mengaku kalau Anwar dalang dari pembunuhan Alin," jelas Santi.

"Apa?! Jadi, mereka malah nuduh Anwar pelakunya? Ini nggak benar! Justru Anwar yang gigih nyariin Alin sama aku. Kenapa bisa gitu? Apa Anwar membantah tuduhan itu?"

"Sayangnya Anwar mengaku sendiri kalau dialah pelaku utama penculikan dan pembunuhan Alin. Empat tersangka lain cuma bilang, mereka memperingatkan Anwar dan dua orang pegawai Jackson Lim buat menghentikan perbuatannya," terang Santi, sambil bersandar ke tembok.

"Aduh! Ini, sih, faktanya udah diputarbalikkan. Kenapa pengadilan malah memutuskan yang salah?" gerutu Hana.

"Ya ... Gimana lagi? Kelima tersangka, kan, berasal dari keluarga pebisnis dan pejabat. Yudis anaknya I Wayan Winata, salah satu politikus yang menjabat di Senayan. Viktor juga sama, anaknya pejabat. Sedangkan dua lainnya anak pengusaha properti sama pemilik beberapa diskotek di Jakarta. Apa, sih, yang nggak mungkin dilakuin orang berkuasa kayak mereka demi membebaskan anak-anak dan membersihkan reputasi?" jelas Santi.

Hana termangu. Ancaman Yudis benar-benar menjadi kenyataan. Itulah sebabnya, Hana memilih untuk menenangkan diri daripada ikut berkecimpung dalam membela keadilan bagi sahabatnya di depan hakim. Yudis dan ketiga temannya bukanlah lawan yang sepadan.

Sementara itu di kediaman I Wayan Winata, Yudis dipanggil oleh sang ayah untuk datang ke ruang kerja. Keduanya duduk saling berhadapan, seperti karyawan dan atasan. Yudis hanya memalingkan muka acapkali sang ayah menatapnya dengan tajam.

"Bukankah Ayah sudah bilang, jangan coba-coba terlibat dalam tindakan kriminal! Bisa rusak reputasi keluarga kita kalau sampai terendus media," gerutu Winata bersungut-sungut.

"Aku cuma ikut-ikutan saja, Ayah. Tidak lebih," sanggah Yudis memandang sang ayah dengan yakin.

"Benarkah? Cuma ikut-ikutan aja katamu? Ayah sudah tahu betul bagaimana perangai kamu. Dari kecil kamu itu aneh dan suka melukai hewan. Maka dari itu, Ayah menyarankan kamu masuk ke fakultas kedokteran biar keanehan kamu bisa tersalurkan dan ditutupi. Tapi kenyataannya, sepertinya kamu merasa belum cukup puas kalau sekadar membedah hewan untuk praktek pelajaran. Ayah yakin, pasti kamu yang sudah menghabisi korban," tutur Winata menunjuk wajah Yudis.

"Kalau iya, memangnya kenapa? Apa salah jika aku menghabisi seorang perempuan karena merasa tidak puas?" tantang Yudis menatap nyalang pada ayahnya.

Merasa berang oleh perkataan sang putra, Winata menghampiri Yudis, lalu mendampratnya tanpa segan-segan. Kacamata pemuda berparas Kaukasian itu pun terlepas akibat kerasnya tamparan dari sang ayah. Yudis mendesah kasar, lalu menoleh pada Winata sembari memegangi pipinya.

"Apa kamu sadar dengan perkataan kamu sendiri? Sejak kapan Ayah mengajarimu untuk tidak menghormati perempuan, ha?" cecar Winata memelototi Yudis.

"Sejak aku tahu bisnis penjualan orang yang Ayah jalankan," jawab Yudis dengan tatapan pasti.

Tercengang Winata mendengar ucapan Yudis. "Dari mana kamu tau soal bisnis gelap Ayah?"

"Ayah pikir aku ini cuma diam dan duduk manis saja menikmati kekayaan yang Ayah punya? Tidak, Ayah. Aku berhak tau seberapa penting peran Ayah di dunia ini sampai bisa menaklukkan semua orang," tutur Yudis menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya. "Ternyata kotor juga cara Ayah ini."

"Apa kamu mau menuntut Ayah atas semua bisnis gelap yang Ayah jalankan? Silakan saja! Ayah tidak akan segan-segan memotong lidah kamu detik ini juga," ancam Winata dengan alis saling bertaut.

"Tidak. Apa untungnya aku mengungkapkan semua itu ke publik? Aku nggak akan bisa meneruskan bisnis Ayah, dong, kalau Ayah ditangkap duluan."

"Apa?!" Winata semakin terbelalak. "Ayah memberi kamu pendidikan terbaik dan berkualitas, tapi kamu justru berniat meneruskan bisnis Ayah?! Tidak, tidak. Ayah sangat ingin menjadikan kamu orang baik dan berguna, bukan mafia kelas kakap yang berakhir mengenaskan," sanggah Winata mendorong bahu putranya.

"Begitu, ya? Ayah menuntutku untuk berjalan di jalan yang benar, sedangkan Ayah sendiri nggak mau berhenti menjalani bisnis perdagangan orang dan narkoba. Astaga! Ini benar-benar lucu!" sindir Yudis sambil tersenyum kecut.

"Memangnya kamu siap menjadi gelandangan dan dihina banyak orang? Ayah menjalankan bisnis ini agar hidup kita sejahtera. Paham?" tegas Winata menekankan.

Yudis membuang muka sembari mendengkus sebal. Gusar hatinya ingin membalas perbuatan sang ayah. Akan tetapi, ia tak mau menuruti nafsunya tanpa berpikir panjang. Bagaimanapun juga, bantuan sang ayah telah berhasil membuatnya lolos dari hukuman.

Episodes
1 Jadilah Kekasihku
2 Hampa
3 Mengisi Kekosongan Hati
4 Peringatan untuk Arum
5 Cinta atau Racun?
6 Bukti dan Pembenaran
7 Mengulur Waktu
8 Apa Kekuranganku? Katakan!
9 Teror
10 Luka Hati yang Patah
11 Menemukan Alin
12 Pisau Bermata Dua
13 Menjadi Pahlawan
14 Siasat
15 Ancaman dan Penyesalan
16 Berkumpul Kembali
17 Jaga Dirimu, Hana
18 Ketika Kekuasaan Berbicara
19 Tak Tenang
20 Perayaan Kebebasan
21 Kehilangan
22 Tolong, Jaga Batasanmu!
23 Berikan Cintamu
24 Pekerjaan Baru
25 Aroma Kenangan
26 Pertemuan Mengejutkan
27 Fakta Baru
28 Memilih Pulang
29 Rapuh
30 Mengharap Keadilan
31 Keraguan
32 Pak Parman Siuman
33 Curiga
34 Duka
35 Setelah Bapak Tiada
36 Pertaruhan
37 Alasan
38 Sesuai Kesepakatan
39 Pembebasan Lusi
40 Tak Lagi Sama
41 Rahasia Hana
42 Coba Pikirkan Dulu
43 Tawaran ke Luar Negeri
44 Negosiasi
45 Pelarian
46 Kenapa Harus Kamu?
47 Mengambil Keputusan
48 Konspirasi?!
49 Kekhawatiran Seorang Ibu
50 Tempat Baru
51 Menggenggam Dendam
52 Main Api
53 Kamu Hanya Milikku
54 Mayat di Toren Air
55 Pandangan Sinis
56 Pantaskan Dirimu
57 Surat Misterius
58 Impoten?!
59 Mengolok Anwar
60 Pencarian
61 Bu Esih Kecewa
62 Ternoda
63 Terus Terang Saja
64 Hukum Aku, Sayang
65 Kevin Menggertak
66 Adu Intrik
67 Cemburu
68 Memperoleh Maaf
69 Perpisahan Menyakitkan
70 Bolehkah Aku Mati di Tanganmu?
71 Ini Hubungan Toksik, Kak!
72 Dewa yang Ditunggu
73 Barter
74 Maukah Kamu Memaafkanku?
75 Membuka Kotak Pandora
76 Hari Indah Bersamamu
77 Apa Kamu Sungguh-sungguh Mencintaiku?
78 Obsesi Membakar Cinta
79 Visual
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Jadilah Kekasihku
2
Hampa
3
Mengisi Kekosongan Hati
4
Peringatan untuk Arum
5
Cinta atau Racun?
6
Bukti dan Pembenaran
7
Mengulur Waktu
8
Apa Kekuranganku? Katakan!
9
Teror
10
Luka Hati yang Patah
11
Menemukan Alin
12
Pisau Bermata Dua
13
Menjadi Pahlawan
14
Siasat
15
Ancaman dan Penyesalan
16
Berkumpul Kembali
17
Jaga Dirimu, Hana
18
Ketika Kekuasaan Berbicara
19
Tak Tenang
20
Perayaan Kebebasan
21
Kehilangan
22
Tolong, Jaga Batasanmu!
23
Berikan Cintamu
24
Pekerjaan Baru
25
Aroma Kenangan
26
Pertemuan Mengejutkan
27
Fakta Baru
28
Memilih Pulang
29
Rapuh
30
Mengharap Keadilan
31
Keraguan
32
Pak Parman Siuman
33
Curiga
34
Duka
35
Setelah Bapak Tiada
36
Pertaruhan
37
Alasan
38
Sesuai Kesepakatan
39
Pembebasan Lusi
40
Tak Lagi Sama
41
Rahasia Hana
42
Coba Pikirkan Dulu
43
Tawaran ke Luar Negeri
44
Negosiasi
45
Pelarian
46
Kenapa Harus Kamu?
47
Mengambil Keputusan
48
Konspirasi?!
49
Kekhawatiran Seorang Ibu
50
Tempat Baru
51
Menggenggam Dendam
52
Main Api
53
Kamu Hanya Milikku
54
Mayat di Toren Air
55
Pandangan Sinis
56
Pantaskan Dirimu
57
Surat Misterius
58
Impoten?!
59
Mengolok Anwar
60
Pencarian
61
Bu Esih Kecewa
62
Ternoda
63
Terus Terang Saja
64
Hukum Aku, Sayang
65
Kevin Menggertak
66
Adu Intrik
67
Cemburu
68
Memperoleh Maaf
69
Perpisahan Menyakitkan
70
Bolehkah Aku Mati di Tanganmu?
71
Ini Hubungan Toksik, Kak!
72
Dewa yang Ditunggu
73
Barter
74
Maukah Kamu Memaafkanku?
75
Membuka Kotak Pandora
76
Hari Indah Bersamamu
77
Apa Kamu Sungguh-sungguh Mencintaiku?
78
Obsesi Membakar Cinta
79
Visual

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!