Adara berjalan dengan gontai menuju tempat duduk di tepi area bermain di pusat perbelanjaan mall itu. Suasana di sekelilingnya riuh dengan tawa anak-anak, suara permainan elektronik, dan musik latar dari toko-toko sekitar. Dia baru saja selesai bermain komedi putar, dan seperti yang dia katakan sebelumnya, dia hanya akan bermain sekali saja. Jaka dan Jihan sudah mencoba membujuknya agar bermain lagi, tapi Adara tetap teguh pada kesepakatan itu—hanya sekali.
Dengan perlahan, dia menjatuhkan tubuhnya ke kursi panjang yang sedikit berdebu. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Senyumnya sempat merekah saat mengingat bagaimana permainan tadi membawa memori masa kecilnya. Dia ingat betapa bahagianya dulu, saat keluarganya masih utuh, ketika setiap momen dihabiskan bersama dengan tawa. Namun, tak lama, senyumnya memudar. Kenangan indah itu juga membawa rasa sakit. Semua kebahagiaan itu seperti direnggut paksa dari hidupnya.
Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang seakan bergelut dengan emosi. "Kenapa aku terus terjebak dalam kenangan yang sama?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. Saat sedang sibuk melamun, tiba-tiba langkah kaki seseorang terdengar mendekatinya.
"Eh, kau lagi!" serunya mendengus, tanpa menoleh.
"Memangnya kenapa jika aku?" jawab suara itu dengan nada santai. Adara mengangkat kepalanya sedikit. Pria misterius itu lagi. Dia selalu muncul tiba-tiba seperti hantu, entah darimana. Seperti biasanya, dia selalu mengenakan scarf.
Adara memutar bola matanya malas. "Mau apa lagi kau kesini?" tanyanya dengan suara datar, jelas menunjukkan keengganannya. Hari ini dia sudah terlalu lelah untuk menghadapi orang seperti pria ini.
"Emm... mau apa ya?" jawab pria itu dengan senyum misterius, membuat Adara semakin jengkel. Tanpa diminta, dia langsung duduk di samping Adara, seolah tempat itu memang sudah menjadi miliknya.
Adara melirik sekilas ke arah Jaka dan Jihan yang masih asyik bermain. Jarak mereka cukup jauh dari tempat Adara duduk, sehingga tidak mungkin mereka menyadari kehadiran pria aneh ini. "Kau ini... selalu ada saja," gumamnya.
Pria itu hanya tersenyum, lalu tiba-tiba berdiri. "Tunggu sebentar!" ujarnya, sebelum berjalan pergi tanpa penjelasan.
Adara mengangkat alis, bingung sekaligus lega. "Aneh sekali orang itu," pikirnya. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya, namun tak lama pria itu kembali. Kali ini, dia membawa sesuatu di tangannya—sebuah satu cup es krim berwarna hijau.
"Ini untukmu," kata pria itu, menyodorkan es krim rasa matcha ke arah Adara.
Adara mengernyitkan dahi. "Aku tidak suka es krim," katanya, mendorong cup itu kembali. Tapi pria itu dengan cepat menyembunyikan tangannya di balik punggungnya sambil terkekeh kecil.
"Aku tahu kau suka rasa matcha. Itu favoritmu, kan?" katanya dengan nada penuh keyakinan.
Adara terdiam sejenak. Bagaimana dia bisa tahu? Itu adalah rahasia yang dia simpan rapat-rapat sejak lama. Rasa matcha memang menjadi favoritnya, tapi dia berhenti menyukainya sejak hubungan dengan kakak-kakaknya memburuk. Rasa itu terlalu penuh kenangan, terlalu menyakitkan untuk diingat.
"Sudah, terima saja sebelum mencair," bujuk pria itu lagi.
Adara mendesah panjang. Akhirnya, dia menerima cup itu, meski hatinya masih penuh keraguan. Dia menatap es krim itu dalam-dalam, seolah sedang memutuskan sesuatu yang berat.
"Em!" Sebuah gumaman kecil keluar dari mulutnya tanpa sadar saat ia mencicipi sesendok es krim itu. Rasanya persis seperti yang dia ingat—manis, lembut, dan membawa sejuta kenangan.
Pria itu langsung menoleh, matanya menyipit karena menahan tawa. "Aku tahu kau akan menyukainya," katanya penuh kemenangan.
Adara mendelik, lalu dengan cepat menutup mulutnya. "Ini tidak berarti aku suka," ujarnya, mencoba menyangkal.
Namun, pria itu tidak menggubris. Dia tertawa lebar, bahkan sampai menepuk lututnya. Adara mendengus kesal, lalu mengambil sendok es krimnya dan menyentuh wajah pria itu dengan sengaja. "Kau terlalu banyak bicara," katanya.
Pria itu terkejut, lalu mengusap wajahnya sambil tertawa kecil. "Hati-hati, es krimmu hampir habis di wajahku," candanya.
Adara hanya membuang muka, berusaha menutupi rasa malunya. Tapi pria itu, tanpa diminta, mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibir Adara dengan lembut. "Kau selalu berantakan setiap makan sesuatu," katanya, hampir seperti sebuah bisikan.
Adara terdiam, membeku. Sentuhan itu membuatnya bingung, campuran antara rasa kaget dan sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Namun, dia segera menepis tangan pria itu dan menjauhkan diri. "Jangan sentuh aku!" katanya dengan nada tinggi.
Pria itu hanya tertawa lagi. "Baiklah, baiklah," ujarnya, mengangkat kedua tangan seolah menyerah.
Adara menatapnya tajam. "Kenapa kau hanya beli satu? Kalau kau juga suka, kenapa tidak beli untukmu sendiri?" tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa malunya.
Pria itu tersenyum lagi, senyumnya kali ini terlihat lebih hangat. "Kalau aku ikut makan, kau akan melihat wajahku," jawabnya ringan.
Adara mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa kalau aku melihat wajahmu?" tanyanya penuh penasaran.
Pria itu mendekat sedikit, menatap Adara dengan mata yang berkilauan. "Karena..." Dia berhenti sejenak, seperti sedang berpikir keras.
"Karena apa?" desak Adara, merasa jengkel dengan kebiasaan pria itu yang suka menggantung kalimatnya.
Pria itu tersenyum lebar. "Karena aku sangat tampan, hahaha!" ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Adara melotot, lalu tanpa berpikir panjang, dia menjitak kepala pria itu dengan keras. "Kau ini benar-benar menyebalkan!" katanya.
Pria itu mengelus kepalanya yang baru saja kena jitak. "Aduh, kenapa sih kau selalu kasar? Aku kan cuma bercanda," ujarnya dengan nada manja, yang justru membuat Adara semakin kesal.
Namun, di balik semua kekesalannya, ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Adara penasaran. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa dia selalu muncul di saat yang tidak terduga?
Adara menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran itu. Tapi satu hal yang pasti pria misterius itu, dengan segala tingkah lakunya, berhasil membuat hari Adara yang suram menjadi sedikit lebih cerah.
Adara masih duduk di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Pria itu benar-benar aneh—dan entah bagaimana, juga mengganggu. Namun, dia tak bisa memungkiri, ada sisi dirinya yang merasa sedikit terhibur. Senyuman tipis sempat terlintas di wajahnya, tapi dengan cepat dia menghapusnya. Tidak mungkin dia membiarkan pria itu berpikir bahwa dia berhasil membuatnya tersenyum.
Sementara itu, pria misterius itu tampak sibuk sendiri, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Kadang-kadang, dia menunjuk sesuatu di kejauhan sambil tersenyum kecil, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Adara mengangkat alis. "Apa dia selalu seperti ini?" pikirnya.
"Aku tahu kau sedang memperhatikanku," ujar pria itu tiba-tiba, tanpa menoleh.
Adara langsung terkejut. "Siapa yang memperhatikanmu? Jangan ge-er!" katanya cepat, sambil memalingkan wajahnya.
Pria itu terkekeh pelan. "Tenang saja, aku tidak keberatan jika kau tertarik padaku. Aku memang punya daya tarik alami," katanya dengan nada menggoda.
"Dasar narsis!" balas Adara ketus. Dia merasa wajahnya memanas, meskipun dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan reaksinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments