Langit senja sudah berubah menjadi gelap ketika Adara akhirnya pulang ke rumah. Udara malam mulai menusuk dingin, membuat suasana semakin sunyi. Hanya deru mobilnya yang memecah keheningan sepanjang perjalanan. Jalanan sudah lengang, lampu-lampu jalan menyala redup di sepanjang sisi. Adara duduk diam, fokus pada kemudi, namun pikirannya tidak sepenuhnya di sana. Rasanya hari itu terlalu panjang, penuh tekanan, dan sekarang dia hanya ingin segera masuk ke dalam kamarnya yang sunyi.
Mansion megah tempat tinggalnya akhirnya terlihat di ujung jalan. Namun, seperti biasa, perasaan asing menyergapnya begitu mendekati gerbang tinggi yang menjulang. Tempat itu mungkin tampak seperti istana bagi orang luar, tapi bagi Adara, mansion ini hanyalah sebuah penjara besar yang menyimpan luka-luka lama.
Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Adara berhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, matanya tertuju pada sebuah mobil hitam elegan yang terparkir di sudut garasi. Mobil itu tampak bersih dan terawat, terlihat jelas bahwa pemiliknya adalah seseorang yang sangat menjaga citra.
“Mobil ini…,” gumamnya pelan. Adara mencoba mengingat-ingat, dan tiba-tiba dia tersadar. “Ini mobil dosen pengawas tadi siang, kan?” lanjutnya, masih berbicara pada dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tidak nyaman merayap di hatinya, tapi dia memilih untuk mengabaikannya.
Dengan langkah mantap, Adara memasuki mansion itu. Interiornya tetap sama, dingin dan penuh kemewahan yang kosong. Namun, suasana malam ini terasa berbeda. Biasanya rumah itu sepi, hanya ada suara jam dinding dan langkah pelayan yang sesekali terdengar. Tapi kali ini, ada suara obrolan dari ruang tengah.
Adara berniat langsung naik ke kamarnya di lantai atas, namun suara itu memaksanya untuk melirik ke arah ruang tengah. Ketika langkahnya mendekat, matanya langsung menangkap pemandangan yang tidak asing.
Di sana, Clarissa, saudara tirinya, sedang duduk dengan santai di sofa, berdekatan dengan seorang pria. Wanita itu tersenyum manis sambil berbicara lembut, tangan mereka tampak hampir bersentuhan. Pria itu adalah Leon—dosen pengawasnya.
Tidak jauh dari mereka, Arga Karina, Davin, dan Kevin juga terlihat sibuk dengan ponsel masing-masing. Namun, perhatian mereka semua segera beralih ke Adara yang berdiri di ambang pintu, terdiam memandangi mereka.
“Eh, Adara!” Clarissa tiba-tiba menyapa, suaranya penuh semangat. Senyuman lebarnya tampak tulus, tapi bagi Adara, senyuman itu hanya kedok untuk menyembunyikan sesuatu.
Adara tetap diam. Pandangannya tajam, menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Leon. Pria itu tampak terkejut, alisnya berkerut, dan bibirnya sedikit terbuka.
“Loh!” Leon akhirnya bersuara. Dia menatap Adara dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu… mahasiswa di kampus tempat saya bekerja, kan?” tanyanya, suaranya terdengar bingung.
Arga yang sedari tadi duduk diam, akhirnya menimpali. “Ah, benar. Adara ini anak Ayah juga, sama seperti Clarissa. Jadi, dia iparmu sekarang.” Ucapannya terdengar ringan, seolah itu bukanlah hal besar.
Leon menoleh ke arah Clarissa, meminta penjelasan lebih lanjut. “Loh, iya ya? Aku sampai lupa memberitahumu, Sayang!” sahut Clarissa dengan nada ceria. Dia bahkan menepuk pelan lengan Leon, seolah situasi ini lucu baginya.
“Jadi, dia ini saudaraku juga? Tapi dia mahasiswa di kampus tempat saya mengajar?” Leon bertanya lagi, mencoba memahami situasi.
“Kenapa aku baru tahu? Dan kenapa aku tidak melihatnya di pesta pernikahan kita?” tanyanya, kali ini suaranya lebih serius. Dia benar-benar ingin tahu.
Pertanyaan itu membuat suasana mendadak hening. Tidak ada yang langsung menjawab, seolah mereka semua sengaja menghindari topik itu. Leon mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh.
Adara akhirnya bergerak. Dia memalingkan wajahnya, senyuman sinis tersungging di bibirnya. Dia melipat kedua tangan di dada, pandangannya kembali mengarah ke mereka semua.
“Pertanyaanmu tidak penting,” jawab Adara dingin, suaranya datar tapi penuh penekanan. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, dia langsung berbalik dan menaiki tangga ke kamarnya.
Leon yang mendengar jawaban itu hanya bisa terpaku. Dia terkejut dengan sikap Adara yang begitu dingin dan ketus. Namun, dia juga merasa penasaran. Ada sesuatu yang janggal di keluarga ini, dan dia tidak tahu apa.
“Dia memang seperti itu. Kami semua hanya tidak terlalu akrab dengannya,” Clarissa akhirnya berbicara, mencoba meredakan situasi. Wanita itu tersenyum kecil, tetapi Leon bisa merasakan ada ketidaktulusan dalam suaranya.
“Jangan pikirkan dia. Dia memang aneh,” sahut Kevin dengan nada santai, bahkan tanpa sedikit pun rasa segan. Leon hanya diam, tapi rasa penasarannya semakin besar.
Di lantai atas, Adara masuk ke kamarnya dengan langkah berat. Dia membanting pintu dengan pelan, lalu bersandar di baliknya. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan pikirannya.
Beberapa menit kemudian, Adara selesai mandi. Rambutnya masih basah, dibungkus dengan handuk putih. Dia mengenakan pakaian tidur sederhana, lalu duduk di kursi balon favoritnya yang terletak di dekat jendela besar.
Udara dingin menusuk kulitnya, tapi dia tidak peduli. Matanya menatap kosong ke luar jendela, memandangi langit malam yang gelap. Hanya lampu-lampu dari kejauhan yang terlihat, seolah menjadi saksi bisu dari pikirannya yang berkecamuk.
“Leon… suami Clarissa?” gumam Adara pelan, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja diketahuinya. Dia mengingat kembali saat pertama kali melihat foto Leon di ruang tamu mansion ini. Waktu itu, dia tidak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, semuanya jelas.
Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya. Bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman licik yang penuh rencana. Pikirannya mulai berputar, menyusun strategi.
“Dendam…” bisiknya.
Dia bangkit dari kursi, berjalan pelan ke arah meja kerjanya. Tangannya dengan perlahan membuka laci, mengambil sebuah buku catatan kecil. Di dalamnya, ada banyak rencana dan rahasia yang hanya dia yang tahu.
“Ah, aku tahu bagaimana caranya,” ucap Adara dengan nada puas. Senyum jahat di wajahnya semakin lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments