Adara menatap datar kakak laki-lakinya, Davin, yang berada di depannya dengan tatapan penuh rasa tidak suka. Dia tidak menunjukkan emosi apa pun, seolah-olah keberadaan Davin tidak berarti sama sekali baginya. Perlahan, dia mengalihkan tatapannya kembali ke depan, memilih untuk tidak menggubris pertanyaan kakaknya yang terus-menerus mengganggu pikirannya. Rasa benci terhadap kakaknya yang selama ini dia pendam semakin menguat, seperti bara api yang disiram minyak.
Davin, yang sudah sejak tadi tersulut emosi, merasa jengkel luar biasa karena sikap Adara yang selalu menjauhi dirinya tanpa alasan yang jelas. Dalam sekejap, gelas yang ia pegang dengan tangan kanannya dilempar begitu saja ke atas rerumputan taman. Denting gelas yang menghantam tanah seolah menggambarkan frustasinya. Dengan langkah cepat dan penuh emosi, ia mendekati Adara yang masih berdiri kaku di tempatnya. Tanpa ragu, ia mencengkeram tangan Adara dengan kuat, seolah ingin memaksanya memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang terus berkecamuk di dalam pikirannya.
"Ada apa denganmu?!" tanyanya dengan suara yang lebih keras daripada biasanya, menatap tajam ke arah mata Adara. Sorot matanya mencerminkan kemarahan bercampur kekecewaan. Adara memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan rasa sakit akibat cengkraman tangan Davin yang begitu kuat menembus bahan tipis bajunya. Rasa nyeri itu seperti menusuk hingga ke tulang, namun dia menolak untuk menunjukkan kelemahannya.
Davin menggoyangkan tubuh Adara dengan gerakan frustasi, tidak sabar menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. Adara, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mata dan memberikan senyuman sinis kepada kakaknya, senyuman yang penuh dengan rasa ketidaksukaan dan penghinaan.
"Kau tidak berubah sejak dulu, Davin. Selalu menyakiti Adara," bisik Adara dengan nada sinis, hampir seperti gumaman namun cukup keras untuk didengar Davin. Kata-kata itu menggantung di udara, membawa makna yang jauh lebih dalam dari sekadar ucapan. Dia merasa jijik memanggil Davin sebagai kakak, merasa bahwa hubungan di antara mereka tidak layak disebut sebagai hubungan saudara. Dengan gerakan kasar, Adara melepaskan cengkraman Davin yang membuat kulit lengannya memerah. Dia segera berbalik dan meninggalkan Davin yang masih terdiam di tempatnya, seolah sedang mencerna ucapan Adara yang tajam dan menyakitkan.
Davin tetap terdiam, matanya menatap kosong ke arah tanah. Kata-kata Adara terus terngiang di kepalanya, menghantui pikirannya yang mulai dipenuhi oleh rasa bersalah bercampur amarah. Ia tidak suka melihat sikap Adara yang menurutnya egois, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ada sesuatu yang membuat Adara berubah menjadi sosok yang dingin dan kasar. Namun, dia tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaikinya. Suasana di taman yang awalnya tenang kini dipenuhi ketegangan, seperti badai yang siap menerjang kapan saja.
Hari mulai terang, dan matahari bersinar terik, memanaskan udara pagi yang awalnya sejuk. Adara sudah bersiap dengan kaos oblong hitam favoritnya dan celana jeans belel yang selalu membuatnya merasa nyaman. Sepasang sepatu sneaker putih melengkapi penampilannya yang sederhana namun tetap terlihat menarik. Dia membawa tas selempang kecil berwarna hitam yang senada dengan pakaiannya, tas yang selalu ia bawa ke mana-mana karena ukurannya yang pas dan praktis. Adara menyukai pakaian sederhana, tetapi entah mengapa aura yang dimilikinya selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Dia sudah bersiap untuk mengunjungi tempat rehabilitasi ibunya yang baru. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam spekulasi tentang kondisi sang ibu yang sudah lama tidak dia temui. Dengan langkah mantap, Adara menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai atas rumahnya dengan ruang tamu di bawah. Ketika melewati meja ruang makan yang dipenuhi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak ingin dia lihat, Adara memilih untuk tidak menoleh sama sekali. Semua orang di sana adalah manusia yang dia benci, orang-orang yang menurutnya hanya membawa luka dan rasa sakit dalam hidupnya.
"Adara, kamu tidak makan?" suara itu membuat langkahnya terhenti sejenak. Suara ayahnya, Arga, memanggilnya dengan nada datar namun penuh perhatian. Adara tidak berbalik, hanya berdiri diam tanpa memberikan respons apa pun.
"Yang benar saja, dia mau bergabung, pah? Sedari dulu dia kan tidak mau bergabung dengan kita. Dia hanya asik bergabung dengan gengnya yang berandalan itu," sindir kakak lelakinya yang lain, Kevin, dengan nada mengejek yang sangat Adara kenal. Rasa kesalnya semakin bertambah mendengar ucapan Kevin yang tidak pernah berubah.
"Kakak, kakak tidak boleh begitu. Adara kan keluarga kita juga," suara manis dan lembut itu datang dari saudari tirinya, Clarissa. Meskipun ia seumuran dengan Adara, Clarissa sudah menikah sebulan yang lalu dan kini berprofesi sebagai model profesional, mengikuti jejak ibunya.
Adara masih terdiam di tempatnya, mendengarkan drama singkat yang terjadi di belakangnya tanpa niat untuk ikut campur. Merasa muak dengan semua itu, ia segera melanjutkan langkahnya meninggalkan mereka semua. Ia enggan berurusan dengan orang-orang yang hanya menambah beban pikirannya yang sudah penuh sesak.
"Lihatlah putrimu itu, sedari dulu tidak memiliki sopan santun," ujar Karina, ibu tiri Adara, dengan nada sinis yang khas. Semua orang di meja terdiam, tidak berani membantah ucapan Karina yang selalu berhasil membuat orang lain terdiam.
Adara akhirnya keluar dari rumah, menuju mobil sport miliknya yang berwarna silver mengkilap. Mobil itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa bebas dari semua tekanan yang ada di rumah. Ia menyetir sambil melihat peta di layar handphone-nya, mencari jalan menuju rehabilitasi tempat ibunya dirawat. Setelah beberapa saat, ia sampai di sebuah bangunan bercat putih yang tampak sederhana namun luas. Adara turun dari mobil, mengamati bangunan itu dengan seksama.
"Mama dipindahkan ke sini?" gumamnya pelan, merasa campur aduk antara harapan dan keraguan. Pikirannya dipenuhi berbagai macam pertanyaan, tetapi dia memilih untuk menyimpannya sendiri.
Tring... tring...
Handphonenya berbunyi, menampilkan nama Reno, salah satu sahabatnya yang selalu mendukungnya.
"Ada apa?" tanyanya singkat setelah mengangkat telepon.
"Aku ada urusan, nanti aku akan menyusul," jawab Reno dengan nada terburu-buru sebelum mematikan panggilan. Adara menghela napas panjang, merasa sedikit kesal tetapi memutuskan untuk mengabaikannya.
Dengan langkah mantap, Adara memasuki gedung rehabilitasi itu dan langsung menuju meja resepsionis. "Benarkah seorang ibu bernama Santi dipindahkan ke rehabilitasi ini?" tanyanya kepada perawat yang berjaga di depan pintu masuk.
Perawat tersebut tersenyum ramah dan mengangguk. "Ya, dia baru saja dipindahkan kemarin. Silakan ikuti saya, saya akan menunjukkan ruangan tempat beliau berada," jawabnya dengan sopan.
Adara merasa sedikit lega mendengar jawaban itu. Dengan cepat, dia mengikuti langkah perawat tersebut, berharap bisa segera bertemu dengan ibunya yang sangat dirindukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Agus Tina
Awal cerita yang bagus ...
2025-02-09
0
Bahrozi Papanya Dauzz
bagus jalan ceritanya
2025-04-15
0