Adara mengangguk kecil karena dia mendengar juga kabar yang sama, yaitu tentang dosen pengawas barunya yang katanya memang berasal dari luar negeri. Namun, meskipun kabar itu sudah sering didengar dari beberapa teman, entah mengapa perasaannya tetap merasa tidak asing dengan sosok dosen tersebut. Ada sesuatu yang terasa ganjil, seperti ada memori yang samar-samar muncul, tetapi dia tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya merasa begitu.
“Sudahlah, lupakan itu, ayo kita temui yang lain!” ujar Dean sambil menepuk pelan pundak Adara. Sentuhan kecil itu cukup menyadarkan Adara yang masih terdiam dengan ekspresi termenung. Dia menoleh ke arah Dean dan akhirnya tersenyum tipis.
“Ya, ayo,” jawab Adara dengan suara pelan, mengikuti langkah Dean menuju gerbang kampus. Mereka berdua berjalan berdampingan di bawah teriknya matahari siang, sesekali berbincang ringan tentang tugas kuliah yang mulai menumpuk.
Setibanya di gerbang, Adara tidak sengaja menoleh kembali ke arah dosen pengawas tersebut yang sedang berjalan menuju sebuah mobil hitam elegan yang tampaknya adalah mobil milik dosen itu sendiri. Adara memperhatikan sosok pria itu dengan seksama, mulai dari cara jalannya, gaya pakaiannya, hingga mobil yang dinaikinya. Namun, tetap saja, tidak ada satu pun hal yang terlihat familiar.
Mobil hitam itu perlahan meninggalkan area kampus. Sampai akhirnya mobil tersebut benar-benar menghilang dari pandangan, Adara belum juga memalingkan tatapannya. Pikirannya terus memutar kemungkinan-kemungkinan tentang siapa sebenarnya dosen itu, tetapi semua itu hanya menambah kebingungannya.
“Adara, ayo! Jangan melamun terus!” seru Zara tiba-tiba sambil menarik lengan Adara dengan sedikit tenaga.
Adara tersentak kaget, menoleh ke arah Zara, lalu mengangguk. “Iya, maaf.”
Mereka pun bergabung dengan teman-temannya yang lain di gerbang sebelum akhirnya berpencar menuju aktivitas masing-masing.
---
Sepulang dari kampus, Adara tidak langsung pulang ke rumah seperti biasanya. Hari masih siang, dan matahari masih cukup terik. Adara memutuskan untuk langsung menuju sebuah kantor tempat dia bekerja paruh waktu. Kantor itu adalah milik sepasang suami istri yang sudah sangat dekat dengannya sejak lama.
Sesampainya di sana, Adara memarkirkan mobilnya dengan rapi di area parkir gedung besar tersebut. Setelah turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam gedung sambil disapa beberapa karyawan yang kebetulan dia lewati di sepanjang lorong menuju ruangannya.
Setelah itu, Adara langsung menuju toilet untuk merapikan penampilannya. Di depan cermin besar di dalam kamar mandi, dia memoles sedikit wajahnya agar terlihat lebih segar. Tidak lupa, Adara juga merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat perjalanan tadi. Dia memastikan semuanya tampak rapi sebelum melangkah keluar.
Adara mengenakan rok hitam selutut yang membuatnya tampak profesional namun tetap sederhana. Penampilannya terlihat cukup formal, sesuai dengan suasana di kantor itu.
Saat membuka pintu ruangannya, Adara langsung dikejutkan oleh pemandangan yang tak terduga. Di dalam ruangan itu, sudah ada Ama dan Apa—begitu dia menyebut sepasang suami istri yang menjadi pemilik perusahaan itu—bersama dua sosok yang sangat dikenalnya, yaitu Jaka dan Jihan.
“Kalian? Kapan kalian kembali?” tanya Adara dengan ekspresi terkejut.
Jaka dan Jihan adalah kakak beradik yang hanya terpaut usia setahun. Mereka sudah lama menjadi teman dekat Adara sejak SMA. Hubungan mereka semakin dekat karena Jaka dan Jihan sering mengajak Adara ke rumah mereka. Dari situlah Adara mulai mengenal keluarga mereka hingga akhirnya dianggap sebagai bagian dari keluarga itu.
“Baru saja,” jawab Jihan sambil tersenyum lebar.
“Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih dulu? Aku bisa menjemput kalian di bandara,” ujar Adara dengan nada sedikit protes.
“Namanya juga kejutan, Ra. Ayo sini, kami rindu!” ujar Jaka sambil membuka tangan lebar, mengajak Adara untuk berpelukan.
Ketiganya pun saling berpelukan erat, menunjukkan betapa dekatnya hubungan mereka. Bagi Adara, Jaka dan Jihan bukan sekadar teman lama, tetapi mereka adalah orang-orang yang selalu membuatnya merasa dihargai dan diterima apa adanya.
Di sisi lain, Jasmine dan Bima—orang tua Jaka dan Jihan sekaligus pemilik perusahaan ini—memperhatikan pemandangan itu dengan senyuman penuh kehangatan. Mereka sangat senang melihat anak-anak mereka begitu menyayangi Adara, wanita yang sudah banyak membantu keluarga mereka dalam berbagai hal.
“Kau tidak berubah, masih memiliki mata tajam seperti elang!” ledek Jaka sambil tertawa kecil, mencoba mengalihkan suasana.
“Kau juga tidak berubah, masih suka memacari banyak wanita, ya?” balas Adara cepat tanpa basa-basi.
Mendengar itu, Jaka langsung melotot, tampak tidak percaya bahwa rahasianya terbongkar. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya dengan nada protes.
Adara hanya tersenyum penuh arti. “Apa yang tidak aku tahu tentang kalian?”
Jihan yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara. “Kalau aku? Apa yang kau tahu tentangku?” tanyanya dengan nada ragu-ragu, seolah takut mendengar jawabannya.
“Kau?” Adara menatapnya sebentar sebelum menjawab. “Kau masih suka makan seafood, kan? Padahal dokter sudah melarangmu,” jawab Adara santai.
Mendengar itu, Jihan langsung lemas. Dia menunduk, merasa tertangkap basah. Jasmine dan Bima yang mendengar pengakuan itu langsung menatap kedua anak mereka dengan sorot mata tajam. Tatapan itu seolah berkata, kalian habis ini!.
“Adara sialan!” pikir Jaka dan Jihan bersamaan. Mereka menatap Adara seolah meminta pertolongan, tapi Adara hanya tersenyum penuh kemenangan.
Bagi Adara, keluarga ini bukan sekadar orang-orang yang dia bantu. Mereka adalah keluarga yang selama ini dia anggap sebagai rumah kedua. Tidak seperti keluarganya sendiri, hubungan mereka lebih hangat, lebih tulus, dan penuh kebersamaan.
Adara mengamati Jasmine dan Bima yang sedang mengomeli kedua anak mereka. Di tengah itu semua, Adara merasa hatinya penuh dengan rasa syukur. Betapapun kerasnya hari yang dia lalui, keberadaan mereka juga menjadi alasan baginya untuk bertahan.
"Sudah, Ra, jangan senyum-senyum begitu," protes Jihan yang merasa semakin disudutkan.
"Kenapa? Aku senang melihat kalian dimarahi," jawab Adara sambil tertawa kecil.
"Kau memang tidak berubah, selalu suka mengacaukan hidupku," gerutu Jaka sambil memutar bola matanya.
Adara hanya tertawa kecil melihat mereka yang tampak kesal. Momen-momen seperti ini adalah hal yang selalu dirindukan oleh Adara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Evy
Beruntung nya Adara bisa menjadi bagian keluarga yang penuh cinta dan kehangatan akan kasih sayang.
2025-04-17
0