Bruk!
"Adara!!" Suara gebrakan pintu memecah keheningan rumah. Semua orang di ruang tamu spontan menoleh ke arah suara tersebut. Kevin, kakak Adara, masuk dengan langkah besar dan wajah yang memerah karena amarah. Langkahnya cepat, mengejar Adara yang baru saja melewati ruang tamu, hendak naik ke lantai dua.
Adara, seperti biasa, tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Ia tetap berjalan menuju tangga tanpa menoleh sedikit pun, meski ia tahu Kevin sedang mengikutinya. Wajahnya datar dan sikapnya seolah tidak peduli.
"Hei, apa yang sebenarnya terjadi?" suara tegas Arga, ayah mereka, memecah suasana. Ia bangkit dari duduknya, berdiri di tengah ruangan untuk menghentikan anak-anaknya.
Adara terpaksa menghentikan langkahnya karena Arga mengulurkan tangan, menghalangi jalannya menuju tangga. Kevin juga berhenti, berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya.
"Ada apa ini?" tanya Karina, ibu mereka, dengan nada bingung.
"Dia, Ma! Aku cuma bertanya kenapa dia bisa mengenal Elina!" jawab Kevin dengan suara keras, napasnya memburu. Sorot matanya penuh amarah, tertuju langsung pada Adara.
Mendengar nama itu, Clarissa, adik perempuan mereka, mengerutkan kening. Nama itu terdengar familiar baginya, seperti kenangan lama yang mulai muncul di benaknya. "Elina?" tanyanya pelan, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
"Elina yang melanjutkan pendidikan di Amerika itu?" tanya Clarissa lagi, kali ini dengan nada lebih jelas. Wajahnya menyiratkan keingintahuan yang besar. Ia ingat betul sosok itu, seorang gadis yang cukup terkenal saat mereka masih di sekolah dulu.
Kevin menoleh ke arah Clarissa, tampak semakin bingung. "Bagaimana kau tahu, Clarissa? Elina yang aku maksud adalah wanita yang aku sukai. Kau tidak mungkin mengenalnya!"
Clarissa tersenyum tipis, mengingat masa lalu. "Dia kan teman sekolah kami dulu, Kak. Dan setahuku, Elina dan Adara adalah sahabat dekat. Bukankah begitu, Adara?" Clarissa memalingkan wajahnya ke arah Adara, berharap mendapatkan jawaban.
Namun, Adara tetap diam. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Ia tidak menunjukkan sedikit pun ketertarikan pada pembicaraan itu, seolah nama Elina tidak berarti apa-apa baginya.
"Jawab, Adara!" Suara tegas Arga memecah kebisuan. Namun, Adara tetap bungkam, seperti tidak mendengar apa pun.
"Adara, kamu dengar nggak sih? Ayahmu sedang bertanya!" Karina mulai kehilangan kesabarannya.
"Adara, jangan diam saja! Apa benar Elina sahabatmu? Kenapa kau tidak mau menjawab?" Davin, kakak laki-laki mereka yang lain, ikut berbicara. Nada suaranya terdengar gusar.
Adara, yang sudah merasa muak dengan drama ini, tiba-tiba melangkah maju. Ia menggeser tubuh Arga dengan kasar, membuat pria tua itu sedikit terhuyung ke belakang.
"Adara! Kurang ajar kamu ya!" Kevin berteriak keras, menunjuk Adara dengan jari telunjuknya.
"Kamu kok jahat banget sih, Adara? Ini itu Papah kita, loh!" Clarissa mendekat, memeluk Arga yang tampak sedikit lemah. Karina menatap putrinya dengan ekspresi penuh kekecewaan.
Adara, yang kini sudah berada di tengah tangga, menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap keluarganya dengan sorot mata dingin. Tatapannya membuat semua orang terdiam sesaat.
"Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan kalian. Dan untukmu, Kevin, aku pastikan kau tidak akan pernah mendapatkannya." Suaranya terdengar datar, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa tajam seperti belati.
Setelah mengatakan itu, Adara kembali melangkah menuju kamarnya. Makian demi makian terlontar dari mulut keluarganya, tapi Adara tidak peduli. Baginya, drama ini tidak layak untuk mendapatkan perhatian.
---
Hari itu adalah hari yang sangat sibuk bagi Adara. Ia menghabiskan hampir sepanjang hari di kampus, mengurus sidang-sidangnya. Sebagai mahasiswa semester akhir, banyak sekali dokumen yang harus ia lengkapi. Dari pagi hingga siang, ia bolak-balik ke ruang dosen dan perpustakaan, memastikan semua persyaratan sidangnya terpenuhi.
Tidak hanya itu, sore harinya Adara langsung menuju tempat kerjanya. Ia harus memastikan semua dokumen klien tersusun dengan rapi dan sesuai jadwal.
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, malam pun tiba. Adara baru tiba di rumah sekitar pukul 12 malam. Langkah kakinya berat saat ia berjalan menuju kamarnya. Wajahnya tampak sangat lelah, dan yang ia inginkan saat ini hanyalah tidur tanpa gangguan.
Namun, saat ia hendak membuka pintu kamarnya, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Sudah tidur sama siapa aja?"
Adara menoleh perlahan. Di belakangnya, Kevin berdiri dengan wajah penuh amarah.
Adara tidak menghiraukannya. Ia tetap membuka pintu kamarnya, tapi Kevin dengan cepat menahan tangannya dan mencengkeramnya dengan kasar.
"Apa maksud ucapanmu kemarin? Kenapa kau bilang aku tidak akan mendapatkan Elina?" Kevin bertanya dengan nada tinggi, cengkeramannya semakin kuat.
Adara, yang sudah sangat lelah, menatap kakaknya dengan pandangan dingin. "Apa pertanyaanmu harus sebegitu penting sampai aku harus menjawabnya?" tanyanya dengan suara datar.
Cengkeraman Kevin semakin kuat. Kukunya yang panjang menekan kulit Adara hingga menimbulkan rasa sakit. Darah segar mulai mengalir dari luka kecil di tangan Adara.
Adara, yang sudah tidak tahan lagi, langsung memelintir tangan Kevin dengan gerakan cepat. Kevin meringis kesakitan, melepaskan cengkeramannya.
"Aku tidak pernah mengganggumu. Jangan pernah mencoba menggangguku lagi, atau kau akan tahu akibatnya!" Adara berkata dengan suara tegas, lalu mendorong tubuh Kevin hingga tersungkur keluar dari kamarnya.
Dengan cepat, Adara menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam.
Kevin, yang masih terjatuh di lantai, melihat bercak darah di kukunya. "Darah?" gumamnya pelan. Ia menatap pintu kamar Adara dengan sorot mata penuh kebencian dan ketidakpercayaan.
Di dalam kamar, Adara duduk di tepi ranjangnya. Ia memandangi tangannya yang terluka, lalu menghela napas panjang.
Adara merasa bahwa keluarganya selalu memaksanya untuk ikut terlibat dalam drama mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ninik Srikatmini
sabar ya dara.. saudara laki2 itu jahat
2025-04-15
0