"Dasar pria ambisius."
Hampir saja Zika melayangkan tamparan ke arah Altan, tapi pria itu dengan sigap menepis dan mencekal tangan kekasihnya.
"Maaf, Zika. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini. Kita berdua nggak punya harapan di masa depan. Kamu tahu sendiri kan, kedua orang tuaku tidak menyukaimu, dan mereka sudah merencanakan pernikahanku dengan Clareance. Jadi, ini adalah pertemuan kita yang terakhir," ucap Altan dengan wajah serius.
Seketika, Zika terduduk lemas. Tubuhnya merosot jatuh ke lantai. Air matanya berderai membasahi pipi. Namun, sama sekali tak terdengar isak tangisnya.
Perempuan cantik itu menangis dalam diam. Hatinya sungguh hancur berkeping-keping. Padahal dia sudah berharap lebih pada Altan. Berharap suatu hari nanti, dia akan menyandang status sebagai istri dari pria tampan itu. Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Lelaki itu justru memutuskan hubungan mereka di saat Zika berharap terlalu tinggi pada Altan. Dia tidak bisa menyalahkan pria itu sepenuhnya, karna Altan hanya menuruti apa kata orang tuanya. Tentu saja Pedro Bagaskara yang sombong itu tidak akan pernah setuju jika putra satu-satunya menikah dengan gadis dari latar belakang yang tidak jelas seperti Zika.
Diam-diam, gadis itu mengutuk masa lalunya sendiri. Dia adalah anak yang lahir tanpa tahu siapa ibu dan ayahnya. Sejak kecil Zika tinggal mengikuti orang tua angkatnya, tanpa pernah tahu siapa orang tua kandungnya hingga ia dewasa.
Kini, masa lalu menjelma bak batu besar yang menghalangi jalannya. Andai saja dia terlahir sebagai anak dari keluarga terpandang seperti Clareance, tentu kisah hidupnya tidak akan menjadi seperti ini.
"Zika, aku tahu kamu marah dan kecewa. Tapi, kalau kita tidak memutuskan hubungan, Papa mengancam akan menyingkirkanmu. Dan aku nggak mau kamu terluka, Zika."
"It's bulshit!" Desis Zika dengan mata merah dan wajah penuh air mata.
"Aku nggak akan pergi dari hidup kamu, Al. Kamu nggak bisa ninggalin aku begitu saja! Kamu pikir kamu bisa membuangku setelah satu tahun kita menjalin hubungan!" Teriaknya lagi dengan suara serak.
Altan berlutut, memegang kedua pundak Zika dan menatap gadis itu lekat-lekat.
"Aku nggak punya pilihan lain, Zika. Mau nggak mau aku harus menikahi Clareance. Itu perintah papa."
Zika menggeleng kuat.
"Jangan menikahinya, Al. Aku mohon, jangan menikahinya. Kita bisa pergi berdua, kita bisa lari dari semua ini. Kita bisa memulai hidup baru tanpa aturan papamu lagi." Gadis itu meracau dalam derai tangis.
Melihat air mata mengalir deras di wajah kekasihnya, benar-benar membuat Altan tidak tahan. Pria itu segera merengkuh Zika ke dalam dekapannya, berharap tangisnya akan mereda.
"Al, jangan tinggalkan aku" mohon Zika sekali lagi saat Altan melepaskan pelukannya.
"Maaf, aku nggak bisa, Zika. Aku harus pergi."
"Please ... Jangan pergi." Zika menarik pelan tangan Altan. Mengarahkan ke perutnya yang rata.
"Aku hamil, Altan. Aku hamil anak kamu."
÷÷÷÷÷
Beberapa waktu berlalu sejak percakapan Altan dan Zika di apartemen malam itu. Saat di mana ia mengaku tengah mengandung anak Altan. Sejak saat itu pula, Altan belum pernah lagi menemuinya.
Entah bingung atau tidak tahu apa yang harus ia lakukan, sehingga Altan juga belum lagi muncul di hadapan Zika. Bahkan, pria itu juga menghindari sekretarisnya di kantor, dan hanya berbicara seperlunya saja.
Zika hanya bisa memantau kabar pria tampan yang menjadi kekasihnya itu lewat Hazlyn. Teman dekat Altan yang kebetulan juga dekat dengan Zika.
"Altan ada di sana?" Tanya Zika pada Hazlyn di ujung telpon.
Hazlyn yang merupakan teman sekaligus rekan kerja Altan di kantor, menoleh ke arah sofa panjang di apartemennya. Di sana Altan sedang tertidur karna terlalu banyak menenggak minuman.
Zika khawatir kalau Altan berbuat sesuatu yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Atau pergi ke bar sendirian dan membuat keributan di sana. Ia tak mau ada sesuatu yang buruk menimpa kekasihnya. Karna cinta Zika yang begitu dalam membuatnya terobsesi ingin memiliki Altan untuk dirinya sendiri. Dia tidak ingin membaginya dengan siapapun, apalagi dengan Clareance yang rencananya akan Altan nikahi dalam waktu dekat.
"Altan tidur di tempatku," sahut Hazlyn melangkah menjauhi ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya.
"Kalian bertengkar?"
Zika terdiam sesaat, Hazlyn memang mengetahui hubungan mereka berdua. Pria itu juga punya hubungan dekat dengan Zika, karna Altan sering memintanya menemani Zika saat Altan sedang tak bisa bersama kekasihnya. Tapi, Zika sedang tak ingin berbagi cerita tentang hubungannya dengan Altan. Apalagi soal kehamilannya. Zika tidak ingin membagi informasi itu pada siapapun, kecuali Altan.
"Aku heran saja, kenapa ia bisa sampai kayak begitu. Biasanya Altan nggak pernah seberantakan ini. Dia selalu punya kendali dirinya sendiri," ucap Hazlyn, duduk di tepi ranjangnya.
"Aku lagi ada masalah sama dia."
"Kalian belum putus? Apa kamu nggak tahu kalau hampir setiap hari Pak Pedro gembor-gembor tentang rencana pernikahan Altan dengan model terkenal itu di kantor?"
"Aku nggak mungkin putus begitu saja sama Altan."
"Kenapa?" Tanya Hazlyn dengan nada ketus.
"Sampai kapan kamu mau mempertahankan hubungan tanpa status itu, Zika? Sudahlah lupakan Altan."
"Nggak bisa, Hazlyn."
"Jadi kamu akan terus menempel padanya seperti parasit?" Hazlyn menghela napas gusar.
"Aku bukan parasit. Aku cinta sama Altan, dan dia juga mencintaiku."
"Lalu, hubungan kita selama ini apa?"
"Hubungan apa?!"
Pria itu membuang napas kasar, lalu memindahkan ponselnya dari tangan kiri ke kanan.
"Jadi, keberadaanku selama ini di dekatmu nggak ada artinya sama sekali? Kamu pikir, selama ini aku cuma tempat sampah untuk membuang keluh kesahmu?"
"Lalu apa yang kamu harapkan dari aku, Hazlyn? Kamu tahu kan, aku tuh cintanya sama Altan."
"Tapi, kamu juga sering ngelakuinnya sama aku, Zika! Kamu lupa? Aku sudah mengenalmu luar dan dalam, bahkan aku hafal setiap inci dari tubuhmu. Kita sudah sedekat itu, bahkan lebih dekat dari pasangan kekasih. Aku pikir, hubungan kita lebih dari ini, loh."
Zika terdiam. hening cukup lama, hingga Hazlyn samar-samar mendengar suara isak tangis gadis itu.
"Zika, you okay? I'm sorry, aku nggak bermaksud bicara kasar sama kamu. Aku cuma ...."
"Aku nggak mau kehilangan Altan, Hazlyn. Kamu tahu kan, kalau aku cinta banget sama dia. Kamu mengertikan perasaan aku."
"Kapan aku nggak mengerti perasaan kamu, Zika? Kamu yang nggak mengerti perasaan aku. Kamu tahu kan, aku cinta sama kamu. Tapi kamu, kamu cuma menganggapku alat untuk membunuh kesepian saat Altan nggak ada."
"Aku minta maaf."
"Hm," gumam Hazlyn, masih kesal pada perempuan yang berkali-kali menyakiti hatinya.
"Jangan mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin kamu miliki, Zika. Berpikirlah realistis kamu dan Altan nggak akan mungkin bisa bersatu. Cobalah untuk merelakannya, dan memulai kehidupan baru denganku. Aku janji ...."
"Hazlyn," potong Zika cepat.
"Yang seharusnya berakhir adalah hubungan kita. Aku nggak bisa terus menerus berhubungan denganmu di belakang Altan. Apalagi sekarang, aku sedang mengandung anaknya."
Seketika Hazlyn membelalak kaget, ponsel yang masih menempel di telinga ia remas dengan geram. Dalam hati dia memaki pria brengsek yang bernama Altan. Karna sudah menghancurkan impiannya untuk bersanding dengan Zika.
Tanpa ia sadari, bahwa calon bayi yang ada di dalam kandungan Zika bukanlah anaknya Altan, melainkan darah dagingnya sendiri.
÷÷÷÷÷
"Mau kemana, Rea?"
"Fitting baju, Pap," jawab Rea sambil menggulir layar ponselnya, dan mengetik sesuatu di sana.
"Minggu lalu bukannya kamu sudah fitting baju?" Benyamin Handoko Aldinaya menduduki dirinya di atas sofa, yang berhadapan dengan putrinya.
"Ada yang kurang pas, Pap. Rea kan maunya perfect. Nggak boleh ada yang cacat di hari penting itu," ucap Rea sambil menjentikkan jarinya.
Benyamin Handoko Aldinaya menyalakan TV yang ada di ruangan itu dan mulai menontonnya.
"Di antar siapa? Altan?" Tanyanya, tanpa menoleh ke arah Rea.
Rea hanya mengangguk tanpa melepas pandangannya dari layar ponsel, sepertinya gadis itu sedang sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya. Lihat saja, keningnya sampai mengerut.
"Kok nggak terkirim, sih," gumamnya pelan, seperti sedang merutuki layar ponselnya sendiri.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Tahu nih si Altan. Dari tadi di telpon nggak aktif hapenya," gerutu Rea dengan bibir mengerucut.
"Mungkin lagi ada kerjaan."
"Ini kan hari minggu, Pap."
"Ya siapa tahu. Altan itu kan penerus perusahaan keluarganya. pasti banyak hal yang harus dia kerjakan. Even di waktu weekend begini."
Rea hanya menghela napas kasar saat mendengar perkataan ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments