🌷biasakan beri like di setiap babnya, jangan menabung bab untuk penilaian retensi pembaca, dimohon kerjasamanya 🌷
...----------------...
Anton melepas lensa kameranya. Menyimpannya dalam tabungnya lalu meletakkannya bersama kamera yang baru dibelinya sebulan yang lalu ke dalam tas khusus penyimpanan kamera.
Dia tergila-gila dengan kamera. Setiap tahunnya, semenjak ia bergabung di B Group, dia membeli kamera. Kamera bukan barang murah. Apalagi kamera dengan fitur-fitur yang semakin canggih.
Hobi fotografinya tersalurkan lagi berkat penghasilan besar yang ia peroleh dari gaji dan bonus yang ia dapat di B Group.
Dia ingat, kamera pertama yang dibelikan oleh Nainai untuknya. Yang membuat Damian begitu iri hati dan membocorkan hubungannya dengan Aline kepada kedua orang tuanya.
Tentang Damian, bagaimana kabarnya sekarang? Apakah masih tinggal di Singapura ataukah sudah kembali ke Bandung? Bahkan Nainai pun tidak mengetahui banyak kabar cucu-cucunya.
Hingga hari ini, belum ada satu pun cucunya selain Anton yang menengoknya. Bahkan Papa Aguan dan Mama Anita pun sudah lama tidak menengok Nainai.
Om Paulus dan istrinya berkunjung bila ada perlunya saja. Menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan ataupun tentang aset-aset Nainai.
Yang Anton dengar dari Bang Bramasta dan Daddynya, GongXi tengah goyah. Ekspansi gegabah yang dilakukan Paulus yang dilakukan hanya berdasarkan ambisi tanpa perhitungan yang matang membuat GongXi oleng.
Sahamnya selalu turun. Beberapa anak perusahaannya ditutup untuk efisiensi. Pihak bank pun sudah memberikan warning kepada GongXi.
Saat Anton menceritakannya kepada Nainai, Nainai hanya menggeleng.
“Masaku dengan GongXi sudah habis. Aku tidak ada urusan lagi dengan GongXi. Paulus mengambil semuanya. Bahkan tega menendang Aguan, kakaknya dari sana.”
“Apa yang terjadi sekarang pada perusahaan peninggalan Papahnya, semoga dia bisa mengambil hikmah,” suara Nainai terdengar dingin.
Anton mengusap wajahnya untuk menghapus bayangannya tentang orangtua Aline. Matanya difokuskan lagi ke layar monitor yang tengah menampilkan hasil jepretan kameranya.
Menambahkan beberapa sentuhan pada hasil fotonya. Mengurangi atau menambahkan kekontrasan, saturasi warna, dan sebagainya.
10 menit lagi, jam kantor dimulai. Anton bergegas menyelesaikan editing foto-fotonya. Pintu ruangannya diketuk. Wajah Indra muncul sambil mengucap salam.
“Hi Bro, Lu datang jam berapa?” Indra masuk ke dalam ruangannya dengan langkah panjangnya.
“Jam 7 tadi. Ngedit foto site yang baru dibeli Pak Boss di Lembang, Boss.”
Anton memanggil Bramasta dengan panggilan Pak Boss. Sedangkan memanggil Indra dengan panggilan Boss. Karena Indra adalah atasan langsungnya.
“Sudah sarapan belum?” Indra mengerutkan keningnya.
“Kafetaria belum buka tadi. Gue langsung ke sini. Supaya fotonya siap untuk dipresentasikan,” dengan Indra, mereka berGue-Lu karena hubungan mereka yang sudah sangat akrab dan dekat.
“Yuk, gue temani sarapan. Lu sudah ngabsen kan?”
“Ofcourse...” membereskan mejanya dengan gerak cepat.
Menyimpan tas kameranya pada lemari dinding.
“Boss, 10 menit lagi jam kantor loh.”
“Iya, gue tahu. So what?” Indra terkekeh, “Gue juga pengen ngemil..”
Mereka berdua berjalan ke arah lift. Tidak saling berbicara karena banyak kru B Group yang berlalu lalang di sekitar mereka. B Group tidak menggunakan istilah karyawan kepada para pegawainya tetapi kru.
Mereka memasuki lift khusus para petinggi B Group. Begitu pintu lift terbuka, ada Bramasta di dalam lift.
“Assalamu’alaikum,” Indra merangkul Bramasta bergantian dengan Anton.
“Wa'alaikumussalam. Kalian mau kemana?”
“Ke bawah. Nganterin Anton sarapan. Gue sekalian mau ngopi.”
“Kenapa belum sarapan?” Bramasta menatap Anton heran.
“Terlalu pagi datangnya. Kafetaria belum buka,” Indra terkekeh, “Demi mengedit foto-foto site proyek B Group yang baru, THE CLIFF.”
“Wah...,” mata Bramasta berbinar. Sudah jadi foto-fotonya?” Bramasta menepuk bahu Anton, “Ayo ke kafetaria bareng.”
Indra dan Anton tertawa. Anton menekan tombol lantai dasar, padahal saat itu lift sudah sampai di lantai 6. Lantainya para petinggi B Group berada.
“Menurut kamu, bagaimana tempatnya?”
“Keren, Pak Boss. Tebing kecilnya bisa kita pakai buat latihan panjat tebing pemula,” Anton menatap Bramasta yang tengah tersenyum senang.
Entah kenapa, site yang baru dibeli terasa sangat istimewa bagi Pak Boss.
“Kapan kita main ke site?” tanya Indra.
Lift berdenting. Mereka menunggu pintu lift terbuka.
Kafetaria sudah lengang. Mereka bertiga mengambil nampan dan mulai memilih makanan yang tersaji di sana.
Obrolan ringan mengalir di sela-sela Anton menikmati sarapannya. Obrolan tentang site THE CLIFF berlanjut di ruangan Anton.
Bramasta dan Indra tampak sangat puas sekali melihat hasil foto-foto Anton dari laptop Anton.
Obrolan berlanjut di ruangan Anton usai mereka sarapan.
“Presentasikan sekarang saja depan saya dan Pak Indra,” membicarakan pekerjaan, mereka berubah menjadi formal.
“Baik Pak Boss. Saya akan pakai big screen saja karena warnanya lebih bagus daripada pakai proyektor,” Anton menyambungkan kabel-kabel.
Anton melakukan presentasi dengan ringan tanpa beban. Ini bidang yang ia kuasai. Totalitas penuh ia kerahkan pada The Cliff.
“Penggunaan atap membran, selain memberikan tampilan yang lain bagi pengunjung juga untuk meminimalisir beban bangunan terhadap tebing.”
Bramasta dan Indra terpesona dengan rancangan bangunan dan mendengarkan penjelasan Anton.
“Bagian dataran yang berada di sepanjang area ini, terlalu disayangkan kalau dijadikan lahan parkir. Kita bisa memanfaatkannya untuk area glamping, glamour camping.”
“Sedang digemari banget ya glamping ini,” Indra melihat foto-foto area yang diusulkan untuk menjadi area glamping.
“Masyarakat urban yang ingin mencoba tidur di alam terbuka bisa memanfaatkan glamping area,” Anton menjelaskan lagi.
Bramasta mengangguk setuju.
“Then, untuk lahan parkirnya?”
Indra menatap Anton.
Anton tersenyum lebar.
“Pak Boss beli lagi lahan di samping lahan The Cliff. Datarannya lebih luas dan tidak berada di atas tebing.”
Anton mengajukan foto-foto lahan di samping site The Cliff.
“Gak dijual, Ton..”
“Pasti sebentar lagi dijual karena tanah yang di sebelahnya sudah dibangun. Lagipula tanahnya tidak produktif karena kurang subur. Hanya bisa ditanami singkong dan ubi. Ditanami jagung pun jelek hasilnya.”
“Estimasi luas dan harga?” Bramasta memiringkan kepalanya.
“2000 meter persegi dengan estimasi harga 2,5 juta / m².”
Bramasta dan Indra saling berpandangan. Keduanya mempunyai cara tersendiri dalam berkomunikasi. Bahasa tanpa ucapan.
Alis Indra terangkat sebelah di dalam benaknya penuh angka-angka proyeksi. Kemudian menyengir lebar lalu mengangguk.
Bramasta terkekeh senang.
“OK. Wrap it!”
Pesawat interkom di atas mejanya berbunyi. Anton menekan tombolnya saat mengangkat gagang pesawat teleponnya.
“Assalamu’alaikum. Ya, Mbak?”
Jeda. Anton mengerutkan keningnya. Tengah berpikir.
“20 menit lagi suruh naik ya Mbak. Saya masih meeting dengan Tuan Bramasta dan Pak Indra.”
Anton meletakkan gagang telepon sambil berpikir, Damian Wijaya mengajaknya bertemu? Setelah sekian lama? Untuk apa?
Kemana saja dia selama ini? Apalagi setelah pengusiran malam itu? Jangankan mencarinya, menanyakan kabarnya saja tidak pernah.
Baru muncul setelah wajahnya terpampang dalam berita arsitektur di berbagai surat kabar online sebagai arsitek muda berbakat yang hasil rancangannya dipuji para arsitek dalam dan luar negeri.
.
🌷
*bersambung*
🌷
The Cliff, akan menjadi ikon kisah cinta Bramasta, CEO B Group.
Kisahnya ada di novel pertama Author, CEO: Rescue Me!
🌷
Bagaimana?
Suka ceritanya?
Bantuin Author untuk promosikan novel ini ya.
Jangan lupa like, minta update, sawerannya, subscribe dan beri penilaian bintang 5nya ya🥰
Follow akun Author di Noveltoon 😉
Love you more, Readers 💕
Jangan lupa baca Qur’an.
🌷❤🖤🤍💚🌷
Selalu do’akan kebaikan untuk negeri yang sedang tidak baik-baik saja.
💙🔵🔵🔵🔵🔵🔵💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
stnk
gara Rescue me nih q jadi jaatuh cinta pada tulisanmu...😍😍😍
2024-08-31
2