🌷biasakan beri like di setiap babnya, jangan menabung bab untuk penilaian retensi pembaca, dimohon kerjasamanya 🌷
...----------------...
Lisbeth Wijaya tidak takut miskin karena ia berasal dari orang susah. Ia menerima pinangan Iwan Wijaya, masih kerabat jauhnya, saat sama-sama miskin.
Menikahi kerabat jauh sebagai sesama marga Huang saat itu diharapkan dapat memperkuat marga Huang di masyarakat, begitu kata tetua zaman itu.
Ia tidak keberatan untuk bekerja keras bersama dengan suaminya. Hidup hemat untuk sekedar tempat tinggal yang layak. Untung saja, mereka dikaruniai anak pertama mereka di usia pernikahannya yang ketujuh tahun.
Saat itu bisnis mulai menanjak. Bisnis awal suaminya saat itu adalah jual beli hasil bumi. Setelah itu merambah ke pembelian kapas. Hingga akhirnya mempunyai pabrik tekstil sendiri di Kabupaten Bandung.
Mata Lisbeth Wijaya mengerjap. Di kamarnya yang sempit dan sederhana, dia memajang foto Iwan Wijaya. Cintanya sepanjang waktu.
Ada foto Anton yang ia simpan di laci sebelah dalam. Sengaja ia sembunyikan, khawatir Paul ataupun Sherly menggeledah isi lacinya.
Mengambil kain sobekan bajunya, ia mengelap kaca dan bingkai foto Iwan Wijaya.
“Pah, ma'afkan Mamah sudah gagal mendidik anak. Anak bungsu kita, Paul, yang selalu kita manjakan menjadi serigala yang memakan ibunya sendiri. Aguan si sulung yang selalu kita tempa pun dibuat tak berdaya oleh Paul...,” Lisbeth Wijaya cepat mengelap air mata yang jatuh meluncur.
Ia tidak mau menangis. Tetapi air mata ini hadir tanpa permisi.
Pintu kamarnya diketuk. Perawat muncul sambil tersenyum.
“Ada yang datang berkunjung. Mau diterima?” tanyanya.
Yang ia sukai dari panti jompo ini, siapapun yang berkunjung, pasti ia akan ditanyai dulu apakah mau menerima tamu atau tidak.
Ia tahu, Paulus ataupun Sherly membayar orang di sini untuk memata-matainya.
“Siapa?”
“Pak Ujang dan anaknya.”
Ia mengernyit tapi kemudian mengangguk. Pak Ujang adalah salah satu tukang kebunnya. Sedangkan ia sama sekali tidak mengenal anaknya Pak Ujang.
“Ayo saya bantu Oma bersiap. Mau berganti pakaian?”
Lisbeth Wijaya menggeleng. Dia hanya mengambil syal segi empat besar hasil rajutannya sendiri.
“Saya antar ya Oma....”
Suster itu ramah, tapi ia tidak tahu apakah suster itu orang bayaran Paulus Wijaya atau bukan.
Melangkah perlahan menuju ruang duduk. Beberapa penghuni panti yang menerima keluarganya juga tampak berada di ruang duduk ini.
Pak Ujang duduk dengan gelisah. Kedua jemarinya saling terkait tapi jempolnya saling beradu dan memutar. Sementara anak muda berbaju koko lengan pendek dan rambut pendek yang ditutupi peci putih dengan bordiran biru muda terang tampak menunduk memperhatikan ujung-ujung kakinya di bawah meja.
Saat Lisbeth Wijaya mendekat, Pak Ujang berdiri dan langsung menyambutnya.
“Nyonya Besar...” Pak Ujang membungkukkan tubuhnya.
“Eh.. Sudah, sudah... Bawa kabar apa dari rumah?” Lisbeth Huang duduk di depan remaja laki-laki yang masih menunduk, tangan remaja berkali-kali mengusap matanya.
“Semakin kacau, Nyonya...”
“Kacau bagaimana?”
“Tuan Aguan beserta keluarganya dipaksa keluar dari rumah.”
“Bagaimana mungkin?”
“Sekarang rumah dijadikan seperti villa akhir pekan bagi keluarga Tuan Paulus, Nyonya.”
“Aguan tinggal di mana sekarang?”
“Di Sukabumi, Nyonya. Di rumah produksinya.”
“Dia sudah tidak di GongXi lagi?”
“Kabar yang saya dengar dari supir, Tuan Paulus memecatnya karena dianggap tidak becus menjadi direktur pemasaran.”
Tangis Lisbeth Wijaya pecah. Dia bukan lagi Lisbeth Wijaya yang penuh kuasa dulu. Sekarang dia hanyalah wanita jompo lemah yang tidak punya kekuatan dan kekuasaan.
“Nyonya...” nada suara Pak Ujang terdengar khawatir.
“Nainai, jangan menangis...,” anak muda di samping Pak Ujang berbicara dengan suara lirih.
Lisbeth Wijaya bagai tersiram air es mendengar suara itu. Cepat dihapusnya air mata dengan punggung tangannya. Pandangan matanya masih kabur oleh sisa air mata.
“Anton? Cucuku?”
Anton tertawa kecil sambil mengangguk. Meraih punggung tangannya lalu menciumnya beberapa kali.
Lisbeth Wijaya menangis sambil tertawa.
“Jangan menangis lagi. Nanti wajah Nainai jadi aneh...”
Lisbeth Wijaya dan Pak Ujang tertawa.
“Anton mau mengantarkan ini.. Seperti janji Anton 3 bulan yang lalu,” Anton menyerahkan sebuah kertas tebal berwarna emas dan ungu di dalam plastik bening, kertas dengan logo kampusnya.
“Apa ini?”
“Undangan wisuda. Undangan untuk kursi VIP untuk orangtua yang anaknya berhasil lulus dengan predikat cumlaude.”
Lisbeth Wijaya kembali menangis sambil memeluk Anton.
“Nyonya...,” Pak Ujang mengingatkan, “Jangan membahayakan diri Anda sendiri, Nyonya. Mata-mata...”
Lisbeth Wijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kamu orang benar. Aku lupa...”
Tangannya gemetar saat membuka plastik pembungkus sampul undangan. Dia membukanya dengan hati-hati. Seolah takut merusaknya. Barang berharga pertamanya yang ia peroleh di sini.
Huruf demi huruf ia baca dengan hati-hati. Telunjuknya menuntun tulisan nama Anton.
“Anton Nicholas Akbar?”
Mata Lisbeth Wijaya mengembun. Dia mendongak mengamati Anton.
“Baju ini... Songkok ini... Dan nama Akbar menggantikan nama Wijaya...”
Anton mengangguk. Dia tersenyum dengan mata yang tergenang.
“Anton sudah jadi muslim, Nainai. Anton menemukan kedamaian dalam keyakinan baru. Tidak ada lagi banyak pertanyaan di kepala Anton. Tidak ada lagi keraguan dalam menjalankan hidup. Saat Anton mengucap dua kalimat syahadat, Anton merasa berada di jalan pulang.”
Pak Ujang menyeka matanya dengan punggung tangannya. Dia terisak.
Lisbeth Wijaya menatap nanar dengan mata berkaca. Lalu memeluk Anton erat.
“Nainai tidak marah kan?”
Lisbeth Wijaya masih memeluknya saat menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Bagaimana Nainai bisa marah kepada kamu orang? Sedangkan kamu orang berada di jalan yang benar. Saat kamu orang merasa berada di jalan pulang, artinya kamu orang berada di jalan yang benar.”
“Nyonya Besar...,” Pak Ujang mengingatkan.
“Iya... Iya... Kamu orang benar, Pak Ujang,” Lisbeth Wijaya tertawa kecil sambil menyeka matanya.
“Anton bawakan ini...” Anton mengambil paperbag dari bawah meja.
Lisbeth Wijaya memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ia tidak menyangka Anton akan membawakan sesuatu baginya. Kehadirannya saja di sini sudah cukup.
“Apa ini?”
“Kesukaan Nainai.”
Membuka paperbag warna krem dengan cepat kemudian berseru senang. Untuk pertama kalinya di dalam panti wreda ini dia tersenyum lebar dengan mata berbinar cerah. Dia bahagia.
Ada benang rajut katun aneka warna gradasi merah di dalamnya. Warna kesukaannya.
Dia menyukai benang rajut katun daripada wol. Katun sangat cocok dipakai di daerah tropis seperti di Indonesia daripada wol. Wol akan terasa panas dan gatal di hari terik dan berkeringat.
“Anak baik... Kamu orang anak baik,” tangan Lisbeth Wijaya membingkai wajah Anton.
“Ada lagi, Nai...” Anton berbisik sambil terkekeh.
“Ada lagi?”
Anton menganggukkan kepalanya berkali-kali.
.
🌷
*bersambung*
🌷
Lisbeth Wijaya menemukan kebahagiaannya lagi di panti wreda dengan kedatangan Anton yang menyamar.
Binar bahagia pertamanya di sana dengan kedatangan cucu kesayangannya yang sangat peduli dengannya.
Tawa pertamanya di penjara yang diciptakan oleh anak bungsu dan menantunya.
🌷
Bagaimana?
Suka ceritanya?
Bantuin Author untuk promosikan novel ini ya.
Jangan lupa like, minta update, sawerannya, subscribe dan beri penilaian bintang 5nya ya🥰
Follow akun Author di Noveltoon 😉
Love you more, Readers 💕
Jangan lupa baca Qur’an.
🌷❤🖤🤍💚🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
stnk
ternyata itu anton yg menyamar ya....
kasihan nainai...seringnya begitu kalo anak yg terlalu dimanja...seperti layaknya pagar makan tanaman,maka anak itulah yg akan menikam kita...
2024-08-25
1