Gusar, kecewa, dua hal itu yang setiap harinya menyiksa Nurvati. Keputusasaan pernah pula menyeruak dalam jiwanya. Orang tuanya memiliki sayap, dan nampak seperti ras Peri sebagai mana adanya. Pertanyaan penuh penyelidikan pernah Nurvati lakukan. Memastikan apakah dirinya adalah bagian dari ras Peri, atau syukur-syukur dia anak kandung dari orang tuanya.
Ratusan kali Nurvati bertanya pada ayah ibunya, dan ratusan kali terjawab. Nurvati adalah anak kandung. Nurvati adalah ras Peri dan itu tak boleh disangkal. Kendati nyatanya, keraguan tak pudar dalam jiwa Nurvati.
Kali ini, Nurvati pulang ke rumahnya, dengan niat yang sama, ia akan menyelisik keturunannya!
Rumahnya sendiri agak dekat dengan hutan, dan terpinggir dari kota. Rumah bernuansa putih berkilau dengan bertatahkan batu berlian ungu. Rumah yang bisa dikatakan minimalis bila itu di alam Peri, namun kemewahannya bukan main.
Kedua kaki Nurvati telah berpijak di segumpal awan putih, kemudian, awan tersebut membawa Nurvati naik ke udara —awan tersebut berfungsi sebagai lift seperti di dunia manusia— dan dengan terburu-buru Nurvati melangkah menuju pintu emas. Ia langsung masuk ke dalam rumah, melangkah melawati ruang tengah, lantas mengetuk pintu emas ruang meditasi ibunya.
Tak butuh waktu lama, pintu terdedah dan bersamaan dengan Nurvati yang masuk ke dalam ruangan, pintu secara otomatis tertutup.
Ruangan yang bernuansa putih batu mutiara, ruangan yang dikelilingi api warna kehijauan, lantainya pun bening terbentuk dari berlian, dan hanya itu yang ada di ruangan seluas 5X8 meter ini.
Nurvati berdiri di tengah ruangan dengan geram kepiluan.
“Ibu, teman-temanku kembali menyindirku ...,” keluh Nurvati menggantung kalimatnya.
Setelah menarik napas panjang, Nurvati menuntaskan kalimatnya, “... ibu, tolong jawab dengan jujur, apa aku memang putri kandung ibu?”
Bahkan dalam pertanyaan itu, tangan Nurvati agak bergetar, marah serta kecewa, itulah alasannya.
Sebenarnya, Nurvati sudah pernah menguji darah kedua orang tuanya, mirip seperti pencocokkan DNA manusia, perbedaannya di sini menggunakan energi tubuh untuk merasakan kecocokan genetik. Jadi jawabannya sudah bisa dipastikan, Nurvati adalah anak kandung orang tuanya, hanya saja, yang namanya anak-anak, masih membutuhkan pengakuan sangat tedas, atau dengan kata lain, Nurvati hanya terendam dalam perasaan kekecewaan dan kembali mencoba membulatkan kenyataan.
Butuh waktu lima detik, sebelum akhirnya suara tanpa wujud, menjawab pertanyaan Nurvati.
“Butuh berapa pertanyaan dan jawaban, agar kamu percaya?”
Nurvati mengernyit kening, mengepal jari dengan kecewa, menatap api hijau yang berkobar di depannya.
Untung baginya, sang ibu membuat api tidak panas, karena bagaimana pun Nurvati belum mampu mendinginkan api.
“Ibu ... aku sudah pergi ke rumah kakek, pergi ke seluruh sanak saudara, mereka memang menjawab aku anak kandung ibu, tapi ...,” ucapan Nurvati tertahan.
Telinganya dikejutkan oleh perkataan sang ibu yang menyela, “Jangan ragu, kamu hanya terhasut oleh omongan orang-orang di luar sana.”
“TAPI SEMUA RAS PERI MEMILIKI SAYAP!” sentak Nurvati hingga suaranya bergema dalam ruangan, menjadikan api di sekitarnya sempat berkobar-kobar.
Nurvati tertunduk muram, seraya berkata, “Dan ibu, selalu masa bodoh dengan sekolahku, ibu tak peduli padaku.” Kemudian kepalanya kembali terangkat menghadap ke depan pada api hijau yang berkobar, dan Nurvati berujar, “Aku memang bukan jin Peri, aku ... benar-benar kecewa pada semuanya.”
Tiba-tiba, api yang berkobar di depan Nurvati membesar serta menyala semakin terang, seketika, api tersebut membentuk sesosok wanita; kedua sayap putih menyelimuti tubuh wanita tersebut bak kelelawar yang bergantung menutup dirinya, kepalanya putih terang benderang, bak matahari di siang terik. Dan dia adalah ibu Nurvati.
Dalam hal ini, peri yang memiliki ilmu yang telah tinggi, wajahnya akan diselimuti cahaya, maka, Nurvati menatap wajah ibunya dengan tajam.
”Bukankah ibu sudah mengingatkan, engkau itu anak kandung ibu, bukankah ibu pula sudah mengingatkan, kamu itu tidaklah cacat?“ Sang ibu mencoba meneguhkan kembali hati Nurvati.
Nurvati paham, apa yang ibunya katakan, Nurvati juga berusaha untuk kuat mendengar cemoohan banyak orang, namun, sudah ratusan tahun ia diremehkan, dihina, dan bukan itu saja, ia selalu gagal untuk menguasai beberapa ilmu, kecuali satu ilmu; bahasa dunia, yaitu sebuah kemampuan untuk memahami maksud dari seluruh bahasa yang dimiliki seluruh ras jin, begitu pun bahasa siluman.
”Tapi, tak ada peri yang tak memiliki sayap, jika pun cacat, minimal, aku memiliki satu sayap, dan sampai sekarang, belum ada,“ protes Nurvati kecewa.
Kala perkataan Nurvati tuntas, sunyi sempat merebak, beberapa detik sang ibu termenung, lantas berujar, ”Ibu bukan masa bodoh padamu, ibu bukan tak ingin membantumu ....“
“Lalu apa?!” sergah Nurvati meradang kesal.
“Kamu selalu ragu kala ibu mengatakan kamu anak kandung ibu, coba kamu pikirkan, ratusan kali kamu menanyakan hal yang sama, dan selama puluhan tahun kamu terus menanyakan statusmu,” sindir sang ibu.
“Apa ibu jengkel?” tanya Nurvati memastikan.
“Tentu,” jawab sang ibu.
“Begitu pun dengan aku, aku lebih jengkel ketimbang ibu, setiap harinya, warga kota menatapku dengan aneh dan jijik, setiap hari, teman-teman sekolah selalu menjauhiku, setiap hari dan setiap harinya, mereka menganggap aku bukan ras Peri!” papar Nurvati dalam pilu.
Sontak, kalimat yang mencuat dari bibir tipis Nurvati, berhasil menyentuh hati sang ibu. Pastinya tersentuh, bagaimana pun, anak kandungnya, sedang kesulitan, dan ini adalah masalah mental, lebih dari itu, sang ibu sangat menyayangi anak satu-satunya ini.
”Kamu terlalu mendramatisir situasi, kakekmu, sanak saudaramu tidak begitu, orang-orang di kota, juga tidak semuanya begitu.“ Sang ibu berusaha menenangkan Nurvati.
Tapi kenyataannya gagal.
“Ini bukan tentang mendramatisir situasi, tapi, ini tentang tekanan batin yang terasa menyakitkan buatku, aku memang mulanya masa bodoh dengan itu ... namun, saat cemoohan itu terus memvonisku, terus dan terus, seperti waktu yang tak mau berhenti, itulah yang menciptakan sebuah realitas yang disebut segregasi ... dan lagi, seluruh warga kota seakan-akan menginginkan agar aku lenyap,” komplain Nurvati dengan lantang nan dinamis.
“Jangan bicara begitu!” tegur sang ibu.
“Tentu aku harus bicara begitu! Ribuan tahun aku harus menanggung penghinaan ini, mereka bukan hanya mengejekku, mereka telah mengusirku!” sentak Nurvati.
“Bukankah kita pindah agar tak ada lagi yang mencemoohku? Tapi, itu sama sekali tak berguna,” imbuhnya sangat serius dan menyalang menatap ibunya.
Suasana hening sesaat, situasi sudah tegang sejak tadi, detik berlalu bersama dua peri yang terpegun dalam bimbang, sang ibu sempat merenung untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Pasalnya, sang ibu pun menginginkan yang terbaik bagi putrinya.
“Nurvati,” seru sang ibu dalam kecintaan pada anaknya, terlebih hanya demi memanggil anaknya nada suaranya dibuat semakin lembut.
Nurvati mendekus, dengan bersedekap menyilang tangan, tetapi sorot mata tajamnya, masih melekat pada wajah ibunya.
“Kamu adalah anak kandung ibu, dan apa pun yang kamu dengar dari orang-orang, adalah realitas untuk menguji kemampuan mentalmu ... memang kadang kenyataan pahit terasa menyakitkan karena sering menimpa kita, kebaikan kita terkadang seperti dosa, cinta terkadang seperti kriminal, kejahatan terkadang seperti adat istiadat, tapi yakinlah Nak, itu adalah hal yang berharga untuk melihat sebarapa mulia kita,” pesan sang ibu.
“Untuk menguji kemampuan mentalku? Ha ... aku ragu untuk bisa bertahan,” keluh Nurvati dengan rambang.
”Jangan melarikan diri dari kenyataan, terkadang yang dipandang buruk adalah kemurnian sejati, tak butuh pengakuan, yang kau butuh hanyalah percaya diri sendiri, kepercayaan itu penting,“ tegas sang ibu.
“Nyatanya aku tetap saja bodoh ...,” ucap Nurvati dalam inferioritas. Lebih-lebih Nurvati langsung tertunduk meratap.
”Dan ibu bangga memiliki anak sepertimu,“ balas sang ibu dengan lantang nan bangga tanpa mengurangi sedikit kasih sayang pada Nurvati.
”Eh?“ heran Nurvati sampai rela kembali menghadapkan wajah pada wajah sang ibu.
”Berbahagialah selama kamu tidak berbuat jahat seperti orang yang menyakitimu, senanglah karena kamu bukan orang jahat, penting bagimu untuk mempelajari kehidupan di luar sekolah, bentuklah dirimu sesuai hatimu, pecahkan siklus hipokrit itu, dan buat mimpimu menjadi kenyataan yang elegan, atau setidaknya, nikmati setiap bentuk hidup yang menimpamu,“ pungkas sang ibu dengan eksplisit nan mantap.
Nurvati tertunduk, ia merenungi baik-baik interpretasi ibunya, tapi itu masih belum membuat andam karam lukanya, rasa kesedihannya lebih banyak mengungkapkan ribuan kata dari hatinya yang sakit, sang ibu tak menjawab tanyanya, semua terdengar omong kosong, sebuah formalitas agar tak ada pertumpahan darah.
Nurvati tahu pasti akan hal itu, dia hanya percaya, bahwa ibunya berusaha mengandamkan pada ikatan kekeluargaan dan hanya sebatas kosa kata yang akhirnya untuk menguntungkan pribadi, sehingga tak pernah mampu mengubah dunia.
Dan dalam renungannya, sang ibu tiba-tiba meregangkan sayap putihnya, namun ia agak melipatnya agar tak tersentuh ke dinding, kaki nan putihnya melangkah ke depan, lalu mendekap putri satu-satunya sebagai bentuk empati dan rasa sayang.
Nurvati terdiam, apatis dengan perbuatan ibunya, dia hanya percaya, bahwa ibunya hanya basa-basi semata. Ingin rasanya memberontak, namun setitik kebaikan hati Nurvati menyekat niat buruknya. Percuma saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
like this
2020-10-04
0
Ayu
novel nya bagus bat, ngga kaya yang lain isinya ku menangis semua
2020-08-16
4