“TIDAK AYAH! TIDAK, IBU MASIH ....” Nurvati merengek, serta meronta, tak sudi meninggalkan ibunya di belakang.
“Kita tak akan sanggup! Kita butuh bantuan!” sela sang ayah mendesak.
Dia membopong Nurvati, berlari menuju kota. Gemuruh serta petir yang membahana terus melingkupi pelarian menegangkan Nurvati, berlari di hamparan rumput warna biru, menuju bantuan terdekat.
Namun secara mendadak, mereka dicegat dua prajurit berbadan bedegap, dan secara impulsif, sang ayah terhenti, terkejut nan bimbang. Dan kala sayap sang ayah hendak menghajar dua prajurit itu, secepat kilat, niat sang ayah sirna, tepat kala dari arah belakangnya akar listrik mencekat kedua sayap sang ayah, menahannya agar tak menyerang, berbarengan dengan itu, sebuah sengatan listrik berhasil menyengat tubuh ayah Nurvati, mengakibatkan Nurvati lepas dari bopongan sang ayah, ia tersungkur ke rerumputan dan ayahnya pun berlutut kesakitan.
Kini lima prajurit, mencegat pelarian anak dan ayah itu, berdiri di depan serta di belakang, menutup celah untuk kabur.
Ini belum apa-apa, tepat saat sang ayah berhasil mengubah dirinya menjadi api putih, sebesar kepalan tangan pria dewasa, berusaha untuk terbebas. Prajurit ras Barqo, buru-buru meraih bola api putih itu dengan tangan kanannya yang beraliran listrik, mencengkram ayah Nurvati kuat-kuat, lantas menghempaskannya ke rerumputan dan dalam gerakan cepat, tangan kanan sang prajurit menembakkan petir pada bola api putih itu, hingga menimbulkan bunyi, 'krrrzzzzzrrrsst'.
Melihat ayahnya diserang, Nurvati berteriak ketakutan.
“AYAAAAH ...!”
Sukses! Itulah hasil dari serangan prajurit tadi, diri ayah Nurvati kembali pada wujud aslinya, namun terkapar sekarat.
Nurvati yang merangkak berusaha mendekati ayahnya, tiba-tiba, perbuatannya dihentikan oleh seorang prajurit. Tangan kanan prajurit itu merengkuh pinggang Nurvati sampai terangkat pada dekapan sang prajurit. Nurvati meronta dan menjerit minta dilepaskan, kendati nyatanya, tak ada dampak sama sekali.
Kecuali, saat iris hijau Nurvati, tertuju pada ayahnya. Kesan ingin menyelamatkan tersirat dari tangan kiri ayahnya yang sempat sedikit terangkat.
“Gah ... Nur ....” Tak sempat sang ayah menuntaskan kalimatnya.
Bersamaan dengan tangan kiri ayahnya yang jatuh ke tanah, nyawa sang ayah, ikut hilang, menjadi vonis yang disebut tewas. Tentu saja, sang ayah tewas, selain dari dampak serangan tadi, ia juga sudah banyak melawan prajurit di udara, ditambah, sang ayah yang notabene bukanlah kalangan militer, menambah konsekuensi kematiannya yang lebih besar.
Dan di sana, dalam dekapan prajurit ras Barqo; Nurvati merengek menyedihkan, menangis dalam kepedihan, dan diselingi oleh jeritan kehilangan.
“AYAAAAAAAAAAAAH ...!” teriaknya begitu menyakitkan dan tak siap melihat kejadian impresif ini.
Udara mengalun hangat, situasi masih menegangkan, daerah rumah Nurvati terlampau jauh dari kota, dilakukannya demi Nurvati yang tak suka keramaian. Dan secara impresif pula, hari ini, Nurvati menanggung realitas menyakitkan.
Di perkotaan yang berdiri gedung-gedung bertatahkan berlian, jalan sepi bak terlupakan, warga sipil aman tanpa kendala berdarah, mereka bersembunyi dalam ruangan khusus, tak ingin berperang dan tak diizinkan bila bukan keadaan darurat, hanya saja, di pinggir kota, para prajurit Peri berjibaku dengan prajurit Barqo, saling menyerang demi membunuh satu sama lain. Tak lepas dari situasi menegangkan, di langit dalam kumpulan awan abu berselimut listrik nan kebiruan, perang di udara pun begitu sengit terjadi.
Angin menggiring pesan kehancuran, aura yang meliputi memancarkan pilu, kematian sosok yang dicintai menciptakan rasa sakit di hati, Nurvati yang sakit, terus meronta ingin lepas.
“Cepat bunuh bocah itu!” desak salah satu prajurit sembari melangkah pergi.
Tapi selang satu detik, bom cahaya putih berhasil melingkupi kelompok tersebut, membuat pandangan menyilaukan, para prajurit ras Barqo dengan sigap terbang dari bom cahaya tersebut, menghindari kemungkinan buruk yang terjadi. Sialnya, mereka terlambat menghentikan itu. Seorang prajurit yang menahan Nurvati, terhempas sejauh satu meter dari bom cahaya, karena seorang anak laki-laki dari ras Peri berhasil menyelamatkan Nurvati.
Bom cahaya, hanya sebatas alat penyamaran, atau pengalih perhatian semata, tak memiliki efek buruk, hanya saja siapa yang diliputi cahaya tersebut, dipastikan buta beberapa saat, atau dunia manusia bisa menyebutnya flashbang, namun ini dengan daya efek yang lebih 'wow'.
Anak laki-laki itu berlari sembari menggandeng tangan kiri Nurvati, mereka berlari menuju hutan, menghindari adanya pertumpahan darah. Empat prajurit itu tak berusaha mengejar, selain mata mereka agak buta, dampak dari bom cahaya tadi, akibatnya mereka tak mampu mengejar Nurvati. Lagi pula, melenyapkan orang tua Nurvati juga adalah hal yang layak diapresiasi.
Nurvati tak mengenal anak laki-laki itu, malahan rasa sedihnya masih kentara menyeruak dalam jiwanya, tangisan sedu sedan masih bergaung bersama pelariannya, matanya sempat buta berkat bom cahaya tadi, tangan kanannya sampai tergerak untuk mengucek mata demi menghapus keburaman mata, sedangkan penglihatan anak laki-laki itu, normal, karena menggunakan selaput mata. Nurvati pun tidak tahu, apa dia harus bersyukur, atau dia harus merasa kecewa.
Langit gelap dengan guntur nan mengerikan masih betah menghias langit, yang nyatanya itu memberi kesan kematian. Butuh waktu satu menit lebih, sebelum akhirnya Nurvati serta anak laki-laki itu berhasil memasuki hutan. Mereka terus berlari tanpa henti, di antara pohon-hohon menjulang tinggi yang berdiameter dua meter itu, mereka terus berlari, entah ke mana, tetapi, secepat mereka bisa, secepat itulah mereka berlari.
Saat jarak telah sejauh dari tempat awal, setelah cukup jauh ke dalam hutan, ketika telah berlari tujuh menit lebih, dalam remang-remang hutan, mereka akhirnya berhenti.
“Sepertinya di sini aman,” ujar anak laki-laki itu dengan celingak-celinguk penuh waspada.
Anak tersebut telah melepas genggaman tangannya demi konsentrasi pada kondisi sekitar dan memang tempat ini terlihat lumayan aman.
Nurvati masih menangis senguk-sengak, dan menatap ke depan penuh tanya pada anak laki-laki itu. Secara berbarengan, anak tersebut memutar tubuh ke arah Nurvati, malah dalam menatap Nurvati, bibir tipisnya mengembangkan senyuman tenang, seolah kengerian perang tak pernah ada dalam otaknya.
Jelas Nurvati seketika mengernyit kening keheranan.
“Sudah tenang, kita aman,” tutur anak laki-laki berwajah oval dengan iris warna biru, dan bola matanya seperti ular.
Pernyataannya itu entah bagaimana membuat rasa geram terlonjak di batin Nurvati.
“Tenang? Hiks ... kau bilang tenang?” tanya Nurvati mengejek nan serius.
Tentunya, bagi Nurvati situasi saat ini masih belum layak dibilang tenang. Di luar sana ada perang, dan tak ada jaminan absolut tempat ini melindungi diri dari kematian perang.
Namun, anak laki-laki itu terdiam membisu.
“Seharusnya ... kau biarkan aku mati saja,” lirih Nurvati dengan berputus asa, bahkan tatapannya begitu tajam pada anak laki-laki itu.
“Eh?” heran anak laki-laki itu. Sebuah kalimat yang tak sebanding dengan ekspektasi anak laki-laki itu, bahwa nyatanya, ada seorang gadis yang tak bersyukur telah selamat dari kematian.
“A-aku hiks ... aku ... aku tak tahu untuk apa aku hidup,” keluh Nurvati tertunduk memilukan.
Benar! Perasaan Nurvati berkecamuk dalam bimbang, orang tuanya tewas, itu terasa gegera Nurvati, dan meski Nurvati masih mampu melanjutkan hidup, itu hanya berarti satu hal, yaitu, Nurvati akan menanggung penderitaan lebih banyak lagi.
Anak laki-laki yang berdiri di depan Nurvati masih sengap, hanya saja, matanya memindai diri Nurvati, mengidentifikasi pola pikir Nurvati, syukur-syukur jiwa Nurvati ikut teridentifikasi; hanya untuk tahu, apa yang membuat seorang gadis muda memilih kematian menyedihkan, ketimbang kesempatan hidup demi membalas dendam.
“Ini terasa tak adil buatku ... sepantasnya aku ikut mati,” beber Nurvati.
Di antara gemerisik dedaunan yang seirama dalam embusan angin menyejukan, mereka masih berdiri dalam jarak satu meteran.
“Nurvati ...,” panggil anak laki-laki itu dengan penuh perenungan.
“Eh, tunggu ... kau tahu dari mana namaku?” usut Nurvati menatap serius dan curiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 205 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
mampir
2020-10-04
0