1 bulan kemudian. Sudah sebulan aku berada di Bandung dan semuanya berjalan cukup lancar. Aku juga masih sering berkomunikasi dengan anak-anak kantor, Mami, Papi dan Gisha. Tapi tidak dengan Mas Adi, lelaki itu sudah ku blokir nomor ponselnya karena sejak pulang
dari Labuan Bajo, lelaki itu terus menghubungiku tiada henti. Aku cukup bersemangat menjalani kehidupan di sini tanpa ada yang berpontensi menyakitiku. Namun akhir-akhir aku merasa begitu lelah, padahal kerjaku tidaklah terlalu berat.
Aku hanya memantau kelacaran toko roti papa yang ada di daerah Bandung. Aku merasa perutku bergejolak dan dengan cepat aku berlari memasuki kamar mandi yang ada di kamarku. Aku muntah di atas wastafel, namun yang kumuntahkan hanyalah air. Mungkin aku sedang masuk angin? Tapi semalaman aku bahkan tak menyalakan AC. Siklus muntahku juga hanya pagi hari.
Tunggu.
Aku menatap wajahku di depan cermin dan mulai panik. Tidak, ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin hamil kan? Astaga. Aku semakin panik karena menyadari bahwa setelah hari itu aku bahkan tak meminum apapun untuk mencegah kehamilan. Bukannya tidak ingin tapi benar-benar melupakannya.
My god! Apa yang harus kulakukan
kalau aku benar-benar hamil? Sebelum pikiranku semakin tidak tenang aku harus pergi membeli testpack, ya aku harus membelinya. Siapa tahu aku memang hanya tidak enak badan atau sakit biasa.
Setelah membuat alasan yang
tepat untuk keluar rumah, aku memberanikan diri untuk pergi ke apotek yang cukup jauh dari tempat tinggalku. Alasan membelinya di tempat yang jauh agar tidak ada orang yang mengenaliku, untuk sekarang
cukup aku sendiri yang tahu.
Mengabaikan pandangan aneh pejaga tokoh, aku menyebutkan beberapa
merek testpack yang ku ketahui.
"Berapa semuanya?"tanyaku.
" Rp115.000, sudah ada 5 testpack kak," jawab sang penjaga apotek. Aku menganggukkan kepala lalu mengambil uang dari dompet dan membayarnya. Setelah itu aku pergi ke salah satu supermarket yang ada di dekat sana sekadar membeli sesuatu agar ketika pulang tidak terlalu aneh. "
Hai Nes," sapa seseorang ketika aku baru saja mengganti sepatuku dengan sandal rumah.
"Halo Nad," teriakku antusias saat menyadari keberadaan sepupuku itu di dalam rumahku..
"Pelan-pelan say, aku lagi hamil," sahutnya dengan wajah sedikit panik karena aku memang memeluknya dengan kencang.
Setelah mendengar ucapannya aku langsung bergegas melepaskan pelukanku. "Wah gila hamil anak ketiga?" tanyaku tak percaya.
Perempuan itu hanya mengulas senyum untuk menanggapi ucapanku, Oh iya, Nadia ini sudah menikah sejak lima tahun lalu bersama sang kekasih yang sudah dipacarinya
sejak masa SMA. Dia sudah punya 2 anak, eh sudah mau 3. Anak pertama kembar cowok dan entah yang diperut sekarang jenis kelaminnya apa aku sendiri tidak tahu. Mendapatkan informasinya sedang hamil saja baru hari ini. "Eh sudah pulang kamu."
Mama dari arah dapur membawa
nampan berisi teh dan camilan. Sementara itu aku menarik Nadia duduk, sementara kedua anak kembarnya malah langsung berlari ke arah kolam ikan Papa. Mereka suka sekali ke sana.
"Iya, baru nyampe udah disambut
sama bumil," tukasku sembari
menunjuk Nadia.
"Kangen katanya sama kamu. Heran
Mama, apanya yang dikanenin dari kamu. Menyebalkan mah iya," ejek Mama dengan wajah yang menurutku
sangat menyebalkan.
"Th Mama," teriakku tidak terima. "Emang benar kan?" sahut Mama lagi. Bicara dengan Mamaku benar-benar harus punya stok kesabaran yang banyak jika tidak ingin naik darah. "Serah Mama deh," pasrahku.
"Ya udah atuh diminum, Nak Andre
diminum ya," ajak Mama pada Nadia
dan suaminya.
"lya, Tante," halas Andre semhari mengulas senyum. Suami Nadia ini orangnya kalem dan
juga cool. Sebenarnya menurutku
tidak cocok dengan Nadia yang malah tidak pernah menjaga image bahkan terkesan ceroboh dan sembrono. Aku malah kasihan sama Andre yang rupanya mengalami musibah karena menikah dengan Nadia. Namun namanya juga takdir, tak bisa
dihindari. Jodoh kita, siapa yang tahu.
Ya kan?
Aku sendiri yang awalnya ku pikir
berjodoh dengan Mas Adi malah
berakhir dengan perceraian. Eh
kenapa malah mengingat dia.
Setelah itu kulihat Mama juga ikut
duduk di sofa tepat di sebelahku.
"Kamu dari mana aja sih? Kerja?"
tanya Nadia setelah meneguk sedikit
teh yang mama hidangkan.
Aku langsung menggelengkan kepala,
karena memang hari ini aku tidak
bekerja.
"Nggak, aku cuma ke Supermarket beli
beberapa produk wanita milikku yang
sudah habis," jawabku.
"Oh, jadi beneran udah mau menetap
di sini?" tanya Nadia lagi.
"Iya, bosan juga di pusat kota.
Ditambah bekerja sekantor dengan
mantan suami rasanya nggak
nyaman. Lagipula di kantor itu juga
selingkuhannya kerja."
Entah kenapa membicarakan hal ini
perasaanku menjadi super gondok.
"Ya udah baguslah kalau kamu udah
menetap di sini kita bisa sering
ngumpul. Eh Nes, mau nggak aku
kenalin sama salah satu teman Andre,
kerja di rumah sakit juga. Katanya
Dokter spesialis kandungan."
"Ih aku nggak se-ngenes itu sampai
harus dikenalin segala," tolakku.
"Temenan dulu apa salahnya sih?
Pokoknya aku bakal kenalin ya titik,"
cetus Nadia tak mau dibantah.
Percuma juga aku mau membantah,
aku sudah tahu Nadia itu seperti apa
orangnya.
"Terserah deh terserah," pasrahku.
Nadia bersama keluarganya sudah pulang sejak sore tadi, kami berbincang-bincang cukup lama hingga aku bahkan lupa dengan tespackku. Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, aku tidak ingin
ada yang masuk ketika aku masih
sedang melakukan pengetesan. Apalagi
kalau mama sampai masuk dan mulai
bertanya macam-macam.
Setelah mengambil air seni,
kubawa wadah kecil itu ke atas
nakas di samping tempat tidur dan
mencelupkan semua jenis tespack
di sana, lalu mengeluarkannya dan
menunggu sekitar 3 menit.
Dengan mata menutup aku berdoa
dalam hati. Semoga saja aku benar-benar tidak hamil. Bukannya menolak titipan Tuhan, namun
situasinya tidak memungkinkan, aku
hanyalah seorang janda. Akan aneh
dan memalukan kalau sampai hamil.
Orang-orang pasti akan menanyakan
siapa yang menghamiliku.
Sehabis herdoa aku membuka mata
dan menatap satu persatu alat tes
kehamilan itu dengan saksama. Air
mataku turun deras setelah melihat
hasil yang sama pada semua alat itu.
Ya, aku hamil.
Ini tidak mungkin keliru lagi karena
aku membeli 5 testpack dengan merek
yang berbeda dan hasilnya sama
semua, dua garis.
Sebuah nyawa kini tumbuh di
rahimku, entah apa yang harus
kurasakan saat ini. Senang, sedih
ataukah marah. Aku sendiri bingung
untuk mendeskripsikannya
sekarang.
Setelah ini aku benar-benar harus
memikirkan langkah apa yang harus
ku ambil. Tidak boleh salah mengambil
keputusan.
Ponselku tiba-tiba bergetar, sebuah
pesan dari nomor tidak dikenal.
Aku ngasih waktu untuk tidak
mencoba menghubungi kamu. Tapi
bukan berarti Aku nggak memantau
kamu, dari seorang pejaga apotek
Aku mendapatkan informasi bahwa
kamu membeli alat tes kehamilan.
Semoga kamu tidak merahasiakan
apa-apa setelah ini.
Aku tahu dengan jelas siapa pemilik
nomor ini dan aku langsung dilanda
kepanikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments