Juli 2011, Labuan Bajo. Aku menggeret koper hitamku, di sampingku ada Nadia, sepupuku, Sementara di depan sana ada Om Liam, saudara Papa. Om Liam dan tante Sonya adalah orang tua Nadia. Kebetulan kami, aku dan Nadia baru saja libur semester di bangku kuliah. Jadi Om Liam mengajak kami untuk jalan-jalan. Kenapa memilih Labuan Bajo?
Alasannya, karena Tante Sonya berasal dari sana jadi sekalian pulang kampung.
"Nes, kamu belum pernah lihat
Komodo kan?" tanya Nadia, saat
kami sudah berada di dalam mobil untuk menuju ke tempat penginapan dekat rumah Keluarga Tante Sonya. Sebernarnya kami sudah ditawarkan untuk menginap sana
saja, namun rasanya tidak enak karena di sana juga banyak anggota keluarga yang tinggal jadi Om Liam memutuskan kami akan menyewa penginapan terdekat. "Udah pernahlah," balasku.
"Di TV?"
Aku menggeleng.
"Lah di mana?" tanya Nadia bingung. "Di sini, di depanku Komodonya."
Hening. Nadia sepertinya masih mencoba mencerna ucapanku. "Oh, hei sialan! Kamu kira aku
Komodo?" ujarnya sembari
menatapku dengan matanya yang
melotot.
"Nadia, mulutnya."
Aku menahan tawaku mendengar Tante Sonya yang sedang memperingati.
"Maaf Ma," ucap Nadia dengan
nada super kalem.
"Nes, kamu jomblo kan?" tanya
Nadia saat kami sedang bersantai di Balkon kamar penginapan. "Tya, udah tahu masih nanya lagi," balasku jengkel. Entah kenapa akhir-akhir banya sekali orang yang selalu menanyakan status kejombloanku.
Memangnya kenapa dengan itu? Apakah itu aib?
"Santai seyeng, nggak usah nge-gas
gitu dong," ucap Nadia sambil merangkul pundakku. "Nes, Aku kasi kamu tantangan
Mau?" tanya Nadia lagi.
"Tantangan, maksud kamu?" "Kalau kamu bisa kenalan sama cowok di sebelah balkon ini dan berhasil dapetin nomornya, aku
bakalan beliin 10 novel yang kamu inginkan." Gila, ini tawaran yang sangat-sangat mengiurkan.
Nadia sangat tahu bahwa aku ini adalah seorang perempuan penggila novel.
Aku menatap cowok yang dimaksud Nadia. Tetangga kamar kami. Cowok yang kutafsir kira-kira berusia 24 tahun itu nampak sedang menerima telepon. "Boleh aja sih Nad, tapi kalau udah punya cewek, tunangan atau yang
lebih parah punya istri gimana?
Malu lah."
Memalukan kalau sampai tebakanku benar, bagaimana kalau sebenarnya cowok itu datang honeymoon bersama istrinya di
sini? Bisa dikira pelakor aku.
"Kan cuman mau kenalan aja. kalau dia udah punya istri ya nggak balakan ngasih nomor, coba dulu.
Siapa tahu dia jodoh kamu."
"Ngaco," sahutku. Nadia tertawa. "10 Novel Iho Nes, nggak mau?"
Bocah gila ini malah semakin
merayuku. "Ya udah deh," putusku akhirnya dan menerima tantangan Nadia.
Demi 10 novel yang bakal coming soon aku rela membuang malu.
"Fhmm Permisi," teriakku sedikit
kencang. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh malah sibuk dengan ponselnya,
tidak lagi menelpon namun
sepertinya sedang mengetik pesan.
"Mas!"
Nadia tertawa mendengar teriakanku. "Biasa aja Nes, nggak usah se-usaha
itu," cibirnya. "Diam dan siapin uang kamu untuk beliin aku novel," sahutku. Tapi tunggu, bocah itu ada uang
tidak? Jangan sampai tantangan ini bahkan tidak pulang pokok, aku sudah harus malu tapi tidak mendapatkan apapun dari Nadia.
"Nad, ngomong-ngomong kamu
punya duit?"
Nadia menoleh padaku dan
memasang senyuman super
sumringah. "Tenang aja, beasiswaku baru aja cair."
"Bedeh gila," tuturku heboh.
Ya, Nadia Septia sepupu cantikku
ini memang mendapatkan beasiswa
ful di kampus karena menjadi
mahasiswi berprestasi denga IP 4,00. Gila nggak sih dia? Nggak perlu bayar kuliah dan dapet uang saku tiap bulan ditambah uang
saku dari om Liam dan tante Sonya
lengkaplah kegembiraannya.
Duh andai aja otakku yang jadi
seperti dia.
"Mas, permisi," teriakku untuk
ketiga kalinya.
Untungnya teriakan yang ketiga
ini membuat cowok itu menoleh.
Dia menatapku dengan tatapan
bingung.
"Oh hai, kenapa ya?" tanyanya
sembari mendekat ke arah
pembatas balkon.
"Mas namanya siapa?" tanyaku
langsung keintinya.
"Eh? Ehm saya Refaldi, adek ada
perlu apa ya?"
Adek? Gila, apa aku sekecil itu
sampai dipanggil adek? Perasaan
aku tidak semungil itu. Sementara
Nadia bahkan sudah mau terbahak
mendengar ucapan cowok itu.
"Oh, boleh saya minta nomor ponsel
Masnya? Saya lagi kebanyakan
pulsa dan mau transfer."
Entah apa yang sedang ada di
dalam pikiranku, tiba-tiba saja
terpikir seperti itu, aku sendiri tidak
mengira akan berucap demikian.
Sementara lelaki itu hanya mampu
melongo setelah aku selesai
berucap, saat itulah Nadia tidak
bisa lagi menahan tawanya.
Tiba-tiba aku sadar dan berhenti
melamunkan peristiwa yang telah
terjadi di tahun 2011 silam. Di mana
pertama kali aku dan Mas Adi
berkenalan.
Pertanyaannya, apakah aku berhasil?
Tentu saja iya, aku mendapatkan
nomor ponsel Mas Adi saat itu dan
mendapatkan pula 10 novel yang
kuinginkan.
Pagi ini setelah sarapan, aku berdiri
di balkon menikmati udara segar,
tiba-tiba terlintas bayangan masa lalu
bersama Mas adi. Namun tiba-tiba
aku merasa sedikit aneh. Aku mohon
jangan sekarang. Dengan sedikit
meringis aku menuju ke kamar mandi
untuk memastikan sesuatu dan ya, aku
datang bulan.
Aku ingin menjerit dan mengumpat.
Aku lupa dengan yang satu ini, salah
satu kodrat seorang perempuan dan
aku sama sekali tidak ada persiapan.
Tidak membeli pembalut dan obat
anti nyeri. Sekarang bagaimana, tidak
mungkin meminta bantuan pihak hotel
karena itu sangat memalukan.
Dito? Tidak kami baru kenal. Lagipula
malulah aku minta tolong sama dia
yang notabene adalah seorang lelaki
yang haru ku kenal beberapa hari ini.
Mas Adi?
Dia jadi salah satu kandidat tercocok
untuk aku meminta bantuan. Namun
mengingat aku yang baru mengusirnya
beberapa waktu yang lalu, rasanya aku
tidak punya wajah lagi kalau sampai
pergi meminta bantuannya.
Tapi aku butuh pembalut dan obat anti
nyeri itu sekarang.
Kali ini ya, kali ini saja.
Akhirnya aku mengambil ponsel dan
menghubungi nomor ponsel Mas Adi
yang memang masih ku simpan.
"Halo," sapanya.
"Maaf menganggu, bisa meminta
bantuan?" tanyaku langsung pada
intinya dengan bahasa yang sangat
sopan.
"Kamu butuh bantuan apa Fira? Kamu
baik-baik saja kan?" tanyanya dengan
nada yang sedikit panik sepertinya.
"Ak baik-baik aja sekarang, tapi
Aku lagi butuh sesuatu. Pak Adi bisa
membantu?"
"Panggil Mas, Fira," koreksinya dengan
nada tidak suka.
Aku mendengus, kalau saja sedang
tidak butuh. Aku bahkan tidak suka
dibantu.
"Iya Mas, Mas Adi bisa bantu Aku?"
"Apa yang bisa Aku bantu?" tanya. Mas
Adi dengan nada bicara super cool
yang malah terdengar seperti seorang
Customer Service bank, terlalu formal.
"Boleh pergi belikan saya pembalut
dan obat anti nyeri haid?"
Mas Adi nampak sangat terkejut
mendengarnya.
"Apa?" tanyanya lagi.
Aku tahu, Mas Adi dapat
mendengarnya dengan jelas namun
dia memutuskan tanya lagi. Sepertinya
dia sedang memastikan telinganya
masih berfungsi dengan haik atau
tidak.
"Bellin pembalut dan obat anti nyeri
haid, Mas."
Mas Adi diam. Entah apa yang
dipikirkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments