Aku tidak membalas pesan singkat yang dikirim oleh Mas Adi namun membiarkannya sampai pagi. Sejujurnya aku sama sekali tidak berniat memberitahukan hal ini padanya. Kami sudah bercerai dan apa yang kami lakukan di malam itu hanyalah sebuah kehilafan yang harusnya tidak terjadi. Ya, hanya kehilafan saja. Aku tidak butuh lagi tanggung jawabnya.
"Nest"
Terdengar suara Mama di balik pintu kamarku, aku mengusap mata pelan lalu turun dari tempat tidur.
"Hmm?" tanyaku dengan mata yang terbuka sebelah. Aku masih sangat mengantuk pagi ini. "Sarapan, udah jam 9 lho ini, tumben kamu bangun jam segini." Aku terhenyak ketika mendengar
ucapan mama, tidak mengira bahwa ini sudah pukul 9 pagi. "Hmm, Aku mau nyuci muka dulu Ma," balasku. Saat aku sedang dalam kamar mandi, ponselku berdering. Aku dapat mendengarnya sebab keran air sedang kumatikan.
"Halo," jawabku.
"Nes, temanku minta nomor ponsel kamu Aku sedikit mengangkat alis, secepat itu rencana Nadia? Wah rupanya perempuan itu telah berubah menjadi emak-emak yang suka mencomblangkan orang.
"Terus?"
"Udah aku kasi ke dia. Kamu tungguin
aja dia hubungin," sahut ibu hamil itu dengan nada yang begitu antusias. Aku mendengus, Aku memang seorang Janda namun perceraianku bersama Mas Adi bahkan belum genap 4 bulan namun Nadia sudah mulai menjodoh-jodohkanku bersama
temannya. "Emang kamu nggak punya
pekerjaan selain ngurusin masalah
percintaanku?" tanyaku kesal.
"Nggak, aku sekarang lagi ngidam mau lihat kamu punya gandengan," ucap
Nadia yang diakhiri kekehan.
Ngidam pantatnya? Aku tahu bahwa ngidam hanya dia gunakan sebagai alasan agar aku mau menurutnya.
"Terserah deh, pokok jangan sampai suami orang. "Tenang aja, dia ini masih perjaka ting-ting. Dijamin nggak bakal nyesal." Apa maksud dari ucapan itu? Ya sudahlah, membuka suara hanya akan menciptakan debat dan aku malas berdebat. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri sambungan telepon saat merasa bahwa tidak ada lagi yang harus kami bicarakan.
Baru saja aku akan keluar dari kamar, ponselku bergetar. Ada nomor baru masuk dan mengirim pesan lewat aplikasi Whatsapp. Dengan ogah-ogahan aku membuka pesan
tersebut. 6285289XXXXXX
Selamat pagi
Aku hanya membaca pesan singkat
itu tanpa berniat membalas. Tanpa bertanya aku langsung menduga kalau itu pasti lelaki yang ingin dikenalkan Nadia. Namun tunggu, ada yang sedikit mengganjal. Ku putuskan untuk melihat foto profilnya dan itu sangat mengejutkan karena sepertinya aku kenal dengan orang itu. Ya sudahlah,
siapa yang peduli dengan itu.
Setelah menikmati rujak mangga
yang dipetik langsung oleh Papa, aku kembali ke kamar. Seharian ini aku benar-benar berubah menjadi sapi malas. Aku juga tidak pergi ke Toko Roti karena mual-mulai yang menyerangku pada pagi ini dan mendorongku untuk menjadi malas bekerja. Mama dan papa juga mulai heran denganku, aku hanya berharap bahwa
mereka tidak mencurigaiku.
Oh iya mengenai orang yang sepertinya tadi ku kenal itu memang benar, itu adalah Dito. Seorang laki-laki yang kutemui ketika berlibur untuk menghabiskan uang pesangonku.
Laki-laki itu juga kaget ketika tahu
itu aku. Kami sudah sepakat untuk
bertemu nanti, saat ada waktu luang.
1 Minggu kemudian.
Aku membuka pintu rumah, pagi ini
aku ingin mengikuti senam hamil yang
sudah ku download melalui aplikasi
youtube meskipun rasanya aku harus
sembunyi-sembunyi jangan sampai
orang rumah tahu kalau yang akan
kulakukan pagi ini adalah senam ibu
hamil. Bisa gawat kalau mereka tahu.
Aku baru saja akan meregangkan
otot tangan sebelum akhirnya mataku
dibuat terkejut dengan apa yang ada di
depanku.
Refaldi Tano. Iya, mantan suamiku
itu sudah berdiri gagah di
depanku bersama dengan senyum
mengerikannya.
"Mas ngapain di sini sepagi ini?"
Ya, waktu bahkan baru menunjukan
pukul 07.15 dan lelaki itu sudah ada di rumahku. Seperti yang kalian ketahui bahwa Mas Adi itu tinggal dan bekerja di Kota Jakarta. Kalau sepagi ini dia sudah ada di sini, jadi jam berapa dia
dari Jakarta? Itu menjadi pertanyaan yang cukup rasional.
Atau jangan-jangan.
Mas Adi tersenyum padaku dengan
senyum yang menurutku sangat
menjijikan.
"Mau lihat calon anak dan istri,"
jawabnya dengan nada super santai.
"Anak? Istri? Maaf Pak Adi, kalau
bapak lupa kita sudah bercerai dan
Aku tidak sedang hamil. Bibitmu tidak.
tumbuh."
Mas Adi menatapku dengan padangan
tidak percaya sementara aku tertawa.
"Kenapa? Bapak kecewa? Ya, kali ini
gagal pak. Bapak bisa mencoba lagi
pada wanita lain."
Kulihat wajah Mas Adi semakin kesal
dan rahangnya mengetat, sepertinya
aku baru saja memancing amarahnya.
"Kamu pikir Aku percaya Kanesa
Alfira? Tidak sebelum Aku
memastikannya secara langsung."
Tanpa kata, selanjutnya Mas
Adi menarikku pelan mengikuti
langkahnya.
"Bapak mau bawa saya ke mana?"
tanyaku sembari mencoba
menyeimbangkan diri dengan langkah
panjangnya.
"Ke dokter kandungan," sahutnya
keras sebelum akhirnya membanting
pintu mobil.
Aku mendengus, dia pikir ada dokter
kandungan yang buka sepagi ini?
Aku menghela napas kasar, laki-laki
di depanku masih menatapku dengan
tatapan tajamnya. Kami sedang
berada di sebuah restoran yang
berseberangan dengan salah satu toko
roti milik keluargaku.
Aku sebenarnya sudah ingin pulang
ketika urusan kami selesai di dokter
kandungan. Pagi ini, Mas Adi
menelepon kenalannya yang berstatus
sebagai dokter kandungan dan
memaksaku untuk diperiksa apakah
hamil atau tidak. Akhirnya aku tidak
bisa menyembunyikan apa-apa, pria
pemaksa itu tahu bahwa benihnya
sedang tumbuh dirahimku.
Namun anak ini sepenuhnya milikku,
hanya miliku. Tidak dengan Mas Adi,
aku tidak berniat memberikannya
kesempatan. Oh jangan
menganggapku sebagai perempuan
tidak tahu malu yang terlalu sok
jual mahal. Namun aku memikirkan
segala risiko dengan pertimbangan
masing-masing.
Dulu ketika ingin bercerai dengan
Mas Adi, aku telah memikirkannya
secara matang-matang, bukan
hanya pemikiranku hari itu namun
pemikiran untuk masa depan kami
sehingga keputusan akhir yaitu
perceraian ku ucapakan.
Kini ketika aku mengandung
anaknya, aku juga tidak ingin
gegabah mengambil keputusan.
Namun, hal tersebut telah kupikirikan
matang-matang beberapa minggu
sebelum ini karena aku yakin bahwa
suatu saat Mas Adi pasti akan tahu
tentang kehamilanku jadi yang
kupikirkan yaitu bagaimana cara
agar Mas Adi hisa bertanggung jawab
namun tanpa terjadi pernikahan lagi
antara aku dan dia.
"Kamu pikir Aku bodoh? Aku adalah
pemilik benih itu dan Aku tentu
akan menyadari kalau mereka
tumbuh subur," ucap Mas Adi dengan
seringaian seperti biasa.
"Kamu tidak berhak atas bayi ini Mas.
Aku tidak ingin kembali bersama."
"Kamu gila?" teriaknya.
"Aku memang sudah gila, jadi
kusarakan agar Mas segera
menjauhiku dan tidak ada pernikahan
lagi.
Aku hendak berdiri namun
pergelangan tanganku dicegat oleh
mantan suamiku itu.
"Kalau kamu tahu, kita tidak
benar-benar bercerai. Surat perceraian
itu sudah ku bakar, pengacaramu tidak
datang ke persidangan waktu itu."
Aku melotot.
"Mas."
"Kamu, masih istriku kanesa Alfira."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments