Namun, di malam berikutnya, Citra kembali ke klub malam Blue Lounge dengan harapan bisa melarikan diri dari perasaan hampa yang terus menghantuinya. Saat tiba di klub, suasana meriah langsung menyambutnya. Musik berdentum keras, lampu berkilauan, dan aroma minuman memenuhi udara. Citra segera menuju area VIP, di mana teman-temannya sudah menunggu.
"Citra! Kamu telat, kita sudah mulai tanpa kamu," seru Rina sambil mengangkat gelasnya.
"Aku butuh sesuatu yang lebih kuat malam ini," jawab Citra sambil duduk dan mengambil segelas minuman dari meja.
Beberapa jam berlalu, dan Citra merasa semakin mabuk. Namun, perasaan kosong itu tetap ada. Ia mulai memperhatikan sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih hidup.
"Hei, Rina, aku dengar ada seseorang di sini yang bisa memberikan 'hiburan' tambahan. Kamu tahu siapa dia?" bisik Citra ke teman dekatnya.
Rina tersenyum dan memberi isyarat kepada seorang pria yang berdiri di sudut ruangan. "Itu dia, namanya Anton. Dia bisa memberikan apa yang kamu butuhkan."
Citra mendekati Anton dengan langkah anggun. "Aku dengar kamu bisa memberikan sesuatu yang lebih kuat dari minuman ini," katanya dengan tatapan menggoda
Anton mengangguk dan mengeluarkan sebuah paket kecil dari saku jaketnya. "Ini, tapi hati-hati. Ini bukan mainan," katanya sambil memberikan paket itu kepada Citra.
Tanpa ragu, Citra mengambil paket itu dan berjalan kembali ke meja VIP. Teman-temannya memperhatikan dengan penasaran saat ia membuka paket itu dan menemukan beberapa pil berwarna cerah. Dengan cepat, Citra menelan satu pil dan meneguk minumannya.
Beberapa menit kemudian, Citra mulai merasakan efek dari pil tersebut. Seakan Dunia milih dia sendiri dan teman-teman nya. Citra menikmati sensasi yang tubuh nya rasakan.
Tiba-tiba, seseorang dari staf keamanan klub mendekati meja mereka. "Maaf, Nona Citra, tapi kami mendapat laporan tentang penggunaan obat terlarang di sini. Kami harus memeriksa tas Anda," kata pria itu dengan tegas.
Teman-teman Citra langsung panik, namun Citra hanya tertawa. "Kamu bercanda? Ini klubku, semua orang di sini mengenalku," katanya dengan nada mengejek.
"Maaf, Nona, tapi aturan tetap aturan," jawab pria itu sambil mengulurkan tangan untuk memeriksa tas Citra.
Saat pria itu menemukan sisa pil di dalam tas Citra, ekspresi wajahnya berubah serius. "Nona Citra, Anda harus ikut kami ke ruang belakang untuk klarifikasi lebih lanjut," katanya.
Teman-temannya mulai berbisik-bisik, dan beberapa dari mereka bahkan mulai menjauh. Citra merasakan gelombang ketakutan dan malu menghantam dirinya. Ia menatap Rina, yang hanya bisa membalas dengan pandangan kosong.
Di ruang belakang, Citra diinterogasi oleh manajer klub dan staf keamanan. Mereka memberitahu bahwa meskipun ia pelanggan tetap, penggunaan dan distribusi obat terlarang tidak bisa ditoleransi. "Ini adalah peringatan terakhir, Nona Citra. Jika ini terjadi lagi, kami tidak akan ragu untuk melibatkan polisi," kata manajer dengan nada serius.
Citra hanya bisa mengangguk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Setelah selesai, ia diantar keluar oleh staf keamanan.
Pak Arif sudah menunggu di luar dengan mobil mewah nya. Rasanya citra ingin sekali melampiaskan kemarahan nya tapi tubuh Citra tidak bisa dia kendalikan, mungkin efek obat yang dia konsumsi tadi.
"Dari mana saja, Nona? Saya khawatir sekali," kata Pak Arif dengan nada prihatin.
"Ke rumah, Pak Arif. Cepat," jawab Citra dengan suara gemetar menahan marah dan juga tangis
Dalam perjalanan pulang, Citra merenungkan apa yang baru saja terjadi. Ia merasa malu dan marah pada dirinya sendiri. Perasaan kosong itu semakin menghantuinya, membuatnya sadar bahwa mungkin sudah saatnya mencari cara lain untuk menemukan kesenangan lain.
.
Setelah kejadian memalukan di klub malam, Citra merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia merasa lelah dengan kehidupan glamor yang selama ini dijalaninya. Meskipun memiliki segala yang diinginkan, mulai dari kekayaan, kemewahan, hingga teman-teman yang selalu ada di sekitarnya, perasaan kosong itu tetap ada dan semakin menguat.
Keesokan harinya, Citra bangun dengan perasaan gelisah. Ia berjalan ke balkon kamarnya dan menatap pemandangan kota dari atas. Cahaya matahari pagi menyinari wajahnya, tetapi tidak mampu mengusir awan kelabu yang terus membayangi hatinya. Citra merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, namun ia belum bisa mengidentifikasi apa itu.
Citra memiliki segalanya, namun tidak pernah merasakan cinta dan perhatian yang tulus dari orang tuanya. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan dan bisnis, meninggalkan Citra dalam kemewahan tanpa bimbingan atau kasih sayang yang nyata.
Ayahnya, seorang pengusaha sukses, selalu mengajarkan pentingnya kerja keras dan disiplin, tetapi tidak pernah hadir dalam momen penting hidupnya. Ibunya, seorang sosialita terkenal, lebih sering bepergian daripada berada di rumah.
Malam itu, Citra duduk di balkon kamarnya dan membuka album foto lama. Di sana, ia melihat foto-foto masa kecilnya, saat ia masih bahagia dan tidak terbebani oleh ekspektasi orang lain. Dalam foto-foto itu, ada senyum yang tulus dan keceriaan yang murni. Citra menyadari bahwa kebahagiaan sejatinya tidak pernah datang dari harta atau pesta, melainkan dari momen-momen sederhana bersama orang-orang yang ia cintai.
Di tengah renungannya, Citra teringat akan neneknya yang dulu sering bercerita tentang arti kebahagiaan sejati. Neneknya selalu mengatakan bahwa kebahagiaan datang dari dalam hati, dari rasa syukur dan kasih sayang. Citra merasa sudah terlalu lama mengabaikan nasihat neneknya, terlalu sibuk mencari kebahagiaan di tempat yang salah.
.
Citra duduk di meja riasnya, merenung dengan perasaan yang campur aduk. Pikirannya dipenuhi keraguan dan ketakutan, namun ia tahu bahwa ia harus berbicara dengan orang tuanya. Hari ini adalah titik balik dalam hidupnya.
Setelah berjam-jam merenung Citra memutuskan untuk menghadapi orang tuanya dan mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. Dengan langkah tegas, ia meninggalkan kamarnya menuju ruang makan, di mana ayah dan ibunya sedang makan malam.
Di ruang makan, suasana yang awalnya hangat berubah menjadi tegang saat Citra memasuki ruangan. "Ayah, Ibu, kita perlu bicara," kata Citra dengan nada tajam.
Pak Surya, ayah Citra. menatapnya dengan kening berkerut. "Ada apa, Citra? Kenapa bicaramu seperti itu?"
Citra menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Aku merasa hidupku hampa. Semua kemewahan ini tidak memberikan kebahagiaan yang sejati."
Bu Dina ( Ibu Citra ) menggelengkan kepala. "Citra, kamu punya segalanya. Apa lagi yang kamu inginkan? Kami memberikan yang terbaik untukmu."
"Tapi kalian tidak pernah hadir untukku! Aku selalu sendirian, meskipun dikelilingi oleh harta dan teman-teman palsu. Kalian terlalu sibuk dengan urusan kalian sendiri," balas Citra dengan suara bergetar.
Pak Surya meletakkan sendoknya dan menatap Citra dengan serius. "Citra, kehidupan ini tidak mudah. Kami bekerja keras untuk memastikan kamu memiliki segala yang kamu butuhkan."
"Apa gunanya semua itu jika aku tidak pernah merasakan cinta dan perhatian dari kalian? Aku butuh lebih dari sekadar uang," kata Citra sambil menahan air mata yang mulai mengalir.
Pak Surya mengernyit, merasa tersinggung oleh kata-kata Citra. "Kamu tidak tahu seberapa beratnya usaha yang kami lakukan untuk mencapai semua ini. Kamu tidak bisa begitu saja mengabaikan apa yang telah kami korbankan."
Citra merespons dengan suara yang lebih tegas.
"Aku tidak mengabaikan kerja keras kalian, Ayah. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan hampa yang aku rasakan setiap hari. Aku butuh kehadiran kalian, bukan hanya materi."
"Kehadiran kami? Setiap hari kami bekerja untuk memastikan masa depanmu terjamin. Itulah bentuk cinta kami." Ujar Pak Surya dengan nada tinggi
Citra menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. "Masa depan yang terjamin, tapi masa kini yang kosong. Aku merasa seperti asing di rumahku sendiri. Tidak ada percakapan yang berarti, tidak ada momen kebersamaan."
Pak Surya menggelengkan kepala, tampak frustasi. "Kamu terlalu manja, Citra. Hidup ini tidak hanya tentang perasaan. Kami harus memastikan kamu bisa hidup dengan nyaman dan aman kelak nantin.”
Citra menggelengkan kepala dengan putus asa. "Ini bukan soal manja, Ayah. Ini tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Aku butuh lebih dari sekadar kenyamanan materi. Aku butuh perhatian, cinta, dan pengertian."
Pak Surya menatap putrinya dengan tatapan keras. "Perhatian? Cinta? Apakah kamu tidak melihat semua yang telah kami lakukan untukmu sebagai bukti cinta kami?"
Citra menghela napas panjang. "Cinta yang hanya berupa uang dan kemewahan belum cukup. Aku ingin merasakan kehadiran kalian di hidupku, berbicara, berbagi cerita, merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya."
Pak Surya merapatkan bibirnya, seakan menahan kata-kata yang ingin dilontarkannya. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara yang lebih lembut namun tegas.
"Citra, cinta kami mungkin tidak terlihat seperti yang kamu inginkan, tapi itu bukan berarti tidak ada. Kami mencintaimu dengan cara kami."
Citra menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Cara yang membuatku merasa sendirian, Ayah. Aku ingin hubungan yang lebih dekat dengan kalian. Aku ingin merasa dicintai, bukan hanya diberi."
Pak Surya terdiam, merasa tertantang oleh kata-kata putrinya. Ia menyadari bahwa meskipun ia telah memberikan segalanya dalam bentuk materi, ia mungkin telah mengabaikan kebutuhan emosional Citra. Namun, kebanggaan dan egonya membuatnya sulit untuk mengakui kekurangan tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments