Erina tersenyum manis. "Aku sangat senang kau khawatir padaku," ucapnya dengan nada lembut, matanya berbinar-binar memandang Daniel.
"Tentu saja aku khawatir. Jika sampai terjadi sesuatu denganmu, Bos dan Shen pasti akan membunuhku," jawabnya, sambil meraih tangan Erina dengan lembut tetapi tegas.
"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang," lanjut Daniel, menariknya dengan niat yang jelas untuk memastikan bahwa Erina benar-benar baik-baik saja.
Namun, Erina dengan halus menarik tangannya kembali, menghentikan langkah mereka sejenak. "Aku tidak apa-apa, Daniel, sungguh," ucapnya, suaranya penuh keyakinan, mencoba menenangkan Daniel yang terlihat begitu cemas. Mereka berdua berdiri di depan lobby perusahaan, angin sore menyapu lembut rambut Erina yang tertiup ke belakang.
Daniel menatapnya, matanya mencari kepastian. "Aku harus memastikannya," kekeh Daniel, mencoba untuk tetap tegas meski ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikannya.
Erina tersenyum lebih lebar, lalu menghela napas pelan sebelum berkata, "Daniel, aku sungguh tidak apa-apa. Ini hanya sebuah tumpahan kopi dingin, kau tidak perlu khawatir, okay?" ucapnya, suaranya menenangkan, matanya menatapnya dengan lembut.
Daniel menatapnya serius, mempertimbangkan kata-katanya. "Sungguh?" tanyanya, masih dengan nada khawatir.
Erina menganggukkan kepalanya dengan meyakinkan, "Hmm, sungguh," jawabnya dengan senyuman yang membuat Daniel sedikit lebih tenang.
Akhirnya, Daniel menyerah pada keyakinan Erina, dan dengan enggan memutuskan untuk tidak membawa Erina ke rumah sakit. "Baiklah, tapi kalau anda merasa ada yang tidak nyaman atau sakit, anda harus segera mengatakannya," ucap Daniel dengan tegas, menunjukkan bahwa dia masih peduli meski akhirnya setuju dengan Erina.
Erina mengangguk lagi, senyum manisnya tak pernah pudar. "Okay," ucapnya, merasa beruntung memiliki seseorang seperti Daniel di sisinya.
Dengan lembut, Daniel menutup pintu mobil setelah Erina duduk nyaman di dalamnya, lalu mengemudikan mobil menuju mansion. Di tengah perjalanan yang diiringi oleh senja yang mulai memerah di cakrawala, Erina memecah keheningan. "Orang yang bersamamu tadi, apakah itu Tuan Dion? Pengusaha perhotelan yang terkenal di seluruh Asia?" tanyanya dengan nada penasaran.
Daniel menganggukkan kepala, matanya tetap fokus pada jalan di depan. "Ya, dia adalah Dion. Kau mengenalnya?" tanya Daniel, suaranya datar namun penuh rasa ingin tahu.
Erina menggelengkan kepalanya perlahan, senyumnya mengembang saat ia mengenang masa lalu. "Tidak, tapi aku pernah sekali bertemu dengannya ketika usiaku sepuluh tahun, di sebuah perjamuan makan malam," jawab Erina, matanya sedikit menerawang mengingat kenangan itu.
"Hmm," gumam Daniel singkat, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Erina melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih ringan, "Wajahnya ternyata tidak banyak berubah. Tetap tampan seperti dulu," ucapnya dengan nada memuji, seakan itu adalah pernyataan yang tak terelakkan.
Daniel melirik Erina sekilas, ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit ditebak. "Lalu, Anda tertarik padanya?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, suaranya terdengar sedikit lebih serius.
Erina terkekeh pelan, mengangkat alisnya dengan main-main. "Wanita waras mana yang tidak tertarik pada pria tampan seperti dia," jawabnya, setengah bercanda, setengah jujur.
"Anda harus fokus belajar, Nona. Jika tidak, Bos Aarav dan Shen akan mengurungmu," ucap Daniel, nada suaranya kembali serius.
Erina tertawa kecil mendengar peringatan Daniel. "Aku akan lebih fokus, tenang saja. Aku tidak ingin dikurung, apalagi oleh mereka," jawabnya, masih tersenyum, namun kini ada sedikit kesadaran dalam suaranya.
Daniel mengangguk pelan, tersenyum tipis sambil terus mengemudi. Perjalanan kembali ke mansion terasa singkat, dan keheningan kembali melingkupi mereka.
*
*
*
Di sebuah ruangan yang elegan, dindingnya dipenuhi karya seni klasik, Daniel tampak sibuk beberapa hari terakhir ini, menyambut tamu dari berbagai belahan dunia. Setiap percakapan yang ia lakukan membawa nuansa profesionalisme yang kental, seolah setiap kata yang diucapkannya adalah bagian dari sebuah simfoni yang teratur.
“Bonjour, monsieur,” ucap Daniel sambil menjabat tangan kliennya yang datang dari Prancis bernama Corin. “Je suis ravi de vous accueillir ici.”
“Merci, monsieur Daniel. Votre hospitalité est toujours impeccable,” jawab Corin dengan senyum ramah, merasa nyaman dengan keramahan Daniel yang mengalir seperti angin musim semi.
Di sudut lain, seorang klien dari Spanyol menyapa, “Daniel, es un placer verte de nuevo. ¿Cómo has estado?”
“Muy bien, gracias,” balas Daniel dengan senyum khasnya, menunjukkan betapa mahirnya ia beradaptasi dengan berbagai budaya. “Espero que disfrutes tu estancia aquí.”
Setiap tamu yang datang merasa dihargai dan dihormati, seolah kehadiran mereka adalah bagian penting dari karya besar yang sedang Daniel ciptakan. Dan meskipun waktu berlalu cepat di tengah kesibukan itu, Daniel selalu memastikan bahwa setiap pertemuan berakhir dengan senyum dan kesepakatan yang manis.
Pukul sepuluh malam, langit telah menyelimuti dunia dengan selimut pekatnya, dan Daniel akhirnya kembali ke mansion. Langkahnya terasa berat, seiring dengan beban hari-hari yang sibuk yang kini terpahat di wajah lelahnya. Sepasang mata yang dulu memancarkan ketegasan kini sedikit meredup, seakan menyimpan segala penat dari tuntutan pekerjaan yang tiada henti.
Malam itu, keheningan mansion pecah ketika seorang kepala pelayan dengan sigap menghampiri Daniel, yang baru saja tiba dengan kelelahan tampak di wajahnya. “Selamat malam, Tuan. Saya akan menyiapkan air hangat untuk Anda,” ucapnya dengan hormat, suaranya lembut namun penuh perhatian.
“Hm,” jawab Daniel singkat, suaranya nyaris tenggelam dalam kepenatan. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa di kamarnya, membiarkan kepala dan punggungnya menyender pada sandaran sofa, mencari sejenak kedamaian dalam keheningan malam itu.
Beberapa menit kemudian, sang pelayan kembali dari kamar mandi, menghampiri Daniel dengan langkah tenang. “Airnya sudah siap, Tuan,” ucapnya, memberi tahu bahwa segala persiapan telah selesai.
“Terima kasih,” balas Daniel dengan nada pelan, nyaris tak terdengar namun penuh penghargaan. Kepala pelayan itu menganggukkan kepala, bersiap untuk meninggalkan kamar, namun langkahnya terhenti ketika suara Daniel memanggilnya lagi.
“Apa dia baik-baik saja? Karena aku tidak mengantar dan menjemputnya beberapa hari ini,” tanya Daniel, nada khawatir terselip dalam suaranya.
Kepala pelayan itu menoleh dan tersenyum kecil, “Nona baik-baik saja, Tuan. Dia tahu Anda sedang sibuk di perusahaan saat ini,” jawabnya lembut.
Daniel hanya mengangguk pelan, namun dalam hati, ia merasa sedikit lega. Ketika pelayan itu meninggalkan ruangan, Daniel tetap duduk sejenak, merenung di bawah pancaran cahaya temaram, sebelum akhirnya ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, membiarkan air hangat yang telah disiapkan meredakan kelelahan di tubuh dan pikirannya.
Daniel keluar dari kamar mandi, udara hangat yang tersisa dari uap mandi masih menggelayut di sekelilingnya. Tubuhnya yang baru saja disegarkan oleh air terasa lebih ringan, meskipun beban pikirannya masih tetap sama. Saat ia baru selesai mengenakan pakaian, tiba-tiba ponselnya berdering, membelah keheningan malam. Suara itu membangunkannya dari sejenak ketenangan yang ia coba ciptakan.
Dengan tatapan tajam, Daniel meraih ponsel itu dan menjawab panggilan, suaranya sedingin malam di luar jendela. "Ada apa?" tanyanya, nada dingin dan tegas, seperti kilatan pisau yang siap menebas.
“Bos, Tuan Corin dan orang-orangnya sedang dikejar oleh seseorang,” jawab suara di seberang, terdengar sedikit tergesa-gesa, namun tetap berusaha tenang di hadapan Daniel.
Daniel mengerutkan kening, matanya menyipit tajam. “Kirim lokasinya sekarang,” ucapnya singkat namun penuh perintah, tak memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, ia memutuskan sambungan telepon, gerakannya cepat dan pasti.
Dengan cekatan, ia meraih jaket kulit hitamnya yang tergantung, mengenakannya dalam satu gerakan yang begitu terlatih. Langkah kakinya mantap, membelah malam, meninggalkan kehangatan kamar untuk menjemput dinginnya aksi. Pandangan mata Daniel telah berubah; kini bukan lagi pria lelah yang baru saja membersihkan diri, melainkan seorang pemimpin yang siap menghadapi apapun di medan yang telah menantinya.
Sambil keluar dari mansion, Daniel memeriksa lokasi yang baru saja dikirimkan oleh anak buahnya. Tanpa ragu, ia melompat ke dalam mobilnya, mesin menderu nyaring saat ia menancapkan gas, menembus malam yang gelap.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
who am I
semoga bukan jebakan 🧐
2024-08-16
0