Pukul tujuh malam, Daniel baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus menyelesaikan urusan Erina di kampus tadi siang. Merasa lega, ia meregangkan tubuhnya, menghilangkan rasa lelah yang mendera. Pandangannya kemudian jatuh pada sosok Erina yang tertidur lelap di atas sofa, seolah terbuai oleh kenyamanan ruangan kantor yang tenang.
"Kenapa dia tidak kembali saja ke rumah tadi jika hanya untuk tidur di kantor?" gumam Daniel pada dirinya sendiri.
Ia berjalan mendekati sofa, lalu berjongkok di depan wajah Erina. Wajah cantik itu terlihat begitu damai dalam tidurnya, tanpa sedikit pun jejak kekacauan yang sering ia bawa dalam kesehariannya. "Dia terlihat seperti anak yang penurut jika sedang tertidur," bisik Daniel pelan, menahan diri untuk tidak tersenyum lebih lebar.
Dengan lembut, Daniel membangunkan Erina. "Nona, bangunlah. Kita akan pulang," ucapnya, suaranya lembut namun tegas.
Erina menggeliat sedikit, kemudian membalikkan tubuhnya, membuat rok pendek yang dipakainya tersingkap dan menampakkan celana dalamnya dengan jelas. "Sial," umpat Daniel dalam hati, berusaha untuk tidak terlalu lama menikmati pemandangan yang tidak disengaja itu. Ia segera menurunkan rok Erina, menutupinya dengan hati-hati.
"Bagaimana dia bisa memakai rok sependek ini tanpa celana pendek di baliknya?" gerutu Daniel, menggelengkan kepala.
Namun, meskipun sudah membangunkannya dengan lembut, Erina tetap saja tak kunjung bangun. Daniel pun memutuskan untuk mengambil tindakan lebih tegas. Ia melepas jasnya dan melingkarkannya di pinggang Erina untuk menutupi pakaian yang tersingkap. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuhnya.
Saat Daniel mengangkatnya, Erina mengerang pelan, matanya sedikit terbuka. "Daniel? Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
"Kita akan pulang, Nona. Tidurmu lebih baik dilanjutkan di rumah, bukan di sini," jawab Daniel sambil berjalan menuju pintu, menggendong Erina dengan hati-hati.
Erina menguap lebar, lalu memeluk leher Daniel erat-erat, membenamkan wajahnya di bahunya. "Kau baik sekali, Daniel," gumamnya sebelum kembali tertidur.
Daniel merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya. "Hanya menjalankan tugasku, Nona," bisiknya, meski ia tahu Erina mungkin sudah tidak mendengarnya lagi.
Dengan langkah pasti, Daniel membawa Erina keluar dari kantor, menuju mobil yang sudah menunggu di luar. Ia dengan lembut mendudukkan Erina di kursi mobil dan memakaikan seatbelt-nya, lalu sedikit menurunkan sandaran kursi agar tubuh mungil Erina dapat beristirahat dengan nyaman. Cahaya lampu kota yang remang-remang memantulkan kehangatan di wajahnya yang tertidur, memberikan aura damai pada gadis yang biasanya penuh semangat itu. Daniel menatapnya sejenak, merasakan keheningan malam yang syahdu, sebelum akhirnya melangkah ke sisi kemudi. Mesin mobil menderu pelan, dan di bawah langit malam yang berbintang, mereka melaju pulang.
*
*
*
Meksiko
Di bawah naungan langit malam yang berhiaskan bintang, Lukas menepikan mobilnya di pinggir jalan setelah pulang dari kantor pukul sembilan malam. Hembusan angin malam yang lembut membawa serta aroma kehidupan kota yang tidak pernah tidur. Di tengah keramaian yang seolah merangkulnya, matanya tertuju pada seorang wanita cantik berambut merah yang waktu itu menghipnotisnya dengan suara merdunya. Ia masih berada di trotoar jalan, memetik gitar dengan penuh perasaan, suaranya mengalun seperti melodi yang menggugah jiwa.
Lukas memarkirkan mobilnya tidak jauh dari sana, cukup dekat untuk melihat dan mendengar dengan jelas setiap nada yang keluar dari bibir wanita itu. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan musik membawa pikirannya terbang ke tempat-tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia bisnis yang selalu membelenggunya.
Tidak tahan lagi dengan godaan, Lukas keluar dari mobilnya dan berjalan mendekat. Setiap langkahnya diiringi oleh denting gitar dan nyanyian lembut wanita itu. Ketika ia berhenti di hadapan sang pengamen, ia membuka dompetnya dan memasukkan beberapa lembar uang ke dalam kotak kecil di depan wanita itu.
Sang wanita mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut. "Terima kasih, Tuan. Apakah Anda menikmati lagunya?" tanyanya dengan suara yang sama indahnya dengan nyanyiannya.
Lukas mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Sangat menikmatinya. Suaramu... seperti pelukan hangat di malam yang dingin."
Wanita itu tersipu, lalu melanjutkan nyanyiannya, kali ini dengan semangat yang lebih besar, seolah kehadiran Lukas memberinya energi baru. Lukas berdiri di sana, mendengarkan, meresapi setiap nada, merasakan sejenak kedamaian yang jarang ia temukan dalam hidupnya yang penuh tekanan.
"Siapa namamu?" tanyanya ketika lagu usai.
"Juliette," jawab wanita itu singkat, tetapi dengan senyum yang tidak memudar.
Lukas mengulurkan tangannya. "Lukas."
Juliette menerima uluran tangannya dengan hangat. "Senang bertemu denganmu, Lukas."
"Bagaimana kalau kita lanjutkan mengobrol di kafe itu?" ucap Lukas, suaranya lembut namun penuh harap, sambil menunjuk kafe yang terletak di seberang jalan, di bawah kelap-kelip lampu kota yang berkilauan.
Juliette, wanita pengamen cantik berambut merah, tersenyum dengan sopan, namun ada sedikit penyesalan dalam matanya. "Maaf, tapi aku harus segera pergi karena ada urusan penting," jawabnya dengan nada menolak yang halus, namun tetap mempertahankan senyum manisnya.
Lukas tidak menyerah begitu saja. "Bagaimana kalau lain kali? Aku sangat ingin mengobrol denganmu, Juliette," ucapnya, nada memohon terdengar jelas dalam suaranya, seolah berharap waktu bisa berhenti sejenak untuk mereka berdua.
Juliette menatap Lukas sejenak, melihat ketulusan di matanya. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baiklah, lain kali aku akan menerima tawaranmu," jawabnya dengan senyuman yang lebih hangat. Ia lalu mulai membereskan barang-barangnya, gitarnya dimasukkan ke dalam tas, dan kotak kecil berisi uang ditutup dengan hati-hati.
Sebelum pergi, Juliette memandang Lukas sekali lagi. "Terima kasih, Lukas. Sampai jumpa lagi," ucapnya dengan lembut, lalu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Lukas yang masih berdiri di tempat, meresapi pertemuan singkat namun bermakna itu.
Lukas menatap kepergiannya, hatinya penuh dengan harapan akan pertemuan mereka berikutnya. Saat siluet Juliette menghilang di balik keramaian, Lukas menghela napas panjang, merasakan kehangatan yang tak biasa. Namun, tiba-tiba ia tersadar. "Sial, kenapa aku lupa meminta nomor ponselnya," gerutunya dengan nada frustrasi, begitu ia masuk ke dalam mobilnya.
Dengan sedikit kecewa, Lukas menyalakan mesin mobil dan mulai melajukannya pelan. Ia memutar lagu lawas yang dinyanyikan oleh Juliette tadi, suara lembutnya masih terngiang di telinga. Tanpa sadar, Lukas pun ikut bersenandung kecil mengikuti alunan musik. "Suaranya bahkan lebih bagus dari penyanyi aslinya," gumamnya, kagum, seraya tersenyum kecil. Melodi yang mengalun membawa pikiran Lukas kembali ke momen singkat namun mendalam bersama Juliette.
Lukas keluar dari kamar mandinya, tubuhnya segar setelah mandi, helai-helai rambutnya masih basah dan meneteskan air. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja, saat layar menyala, sebuah pesan baru terlihat. "Besok datang ke pelabuhan dan cek barang yang akan dikirimkan untuk besok!" tulis Shen dengan nada otoritatif yang hampir bisa didengar Lukas melalui layar.
Pesan itu belum selesai. "Ini perintah langsung dari bos!" lanjutnya, menambahkan tekanan yang tak terelakkan.
Lukas menghela napas berat, merasakan gelombang kejengkelan yang tiba-tiba membanjiri hatinya. "Shen benar-benar menyebalkan," gerutunya pelan, nada suaranya sarat dengan kelelahan dan ketidakpuasan. Tatapannya terpaku pada ponsel, seolah berharap pesan itu bisa terhapus dengan sendirinya.
Dengan enggan, Lukas menepis rasa malasnya, tahu bahwa tidak ada jalan lain selain mematuhi perintah itu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
who am I
shen gitu loh, tau kalo cuma perintahnya bakal dibantal sama kamu, lukas 🤣🤣
2024-07-31
0
who am I
wah, si kulkas dapat godaan angin lebih sejuk 🤣
2024-07-31
0