Menunggu

Erina memandang keluar jendela, mengamati pemandangan kota yang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Ketika Daniel mengambil belokan yang bukan menuju rumah, ia pun bertanya dengan lembut, "Kita akan kemana?"

Daniel meliriknya sejenak sebelum kembali fokus pada jalan di depan. "Kita akan ke perusahaan Lambor," jawabnya dengan suara tenang, penuh kendali seperti biasa. "Aku ada meeting sebentar di sana. Apa kau tidak masalah menunggu di sana sebentar?" tanyanya, menoleh singkat ke arah Erina, memastikan bahwa ia tidak merasa terganggu.

Erina tersenyum, merasa senang bisa menghabiskan waktu lebih lama bersamanya, meskipun hanya untuk menunggu. "Hmm, tidak masalah," jawabnya, anggukan kepalanya mengiringi senyumnya yang manis, sementara matanya tetap terarah pada Daniel. Dia selalu kagum pada caranya yang tenang dan fokus, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti mengemudi.

Perjalanan mereka berlanjut dalam keheningan yang nyaman, seolah dunia di luar tak perlu mengganggu momen kebersamaan mereka. Hanya suara mesin mobil yang lembut mengisi udara, menemani pikiran-pikiran yang terpendam di dalam hati masing-masing.

Setelah tiga puluh menit berlalu, mereka akhirnya tiba di perusahaan Lambor.

Daniel mematikan mesin dan keluar dari mobil, segera beranjak ke sisi penumpang untuk membukakan pintu untuk Erina. Dengan lembut, dia membantunya keluar. Erina tersenyum sejenak, pandangannya kemudian tertarik ke seberang jalan, di mana sebuah kafe kecil tampak menarik perhatiannya.

"Daniel, aku akan menunggu di sana saja," ujar Erina, menunjuk ke arah kafe itu, matanya berbinar dengan antusiasme yang sederhana.

Daniel mengikuti arah pandangannya, melihat kafe yang ditunjuk Erina. Sejenak, ia mempertimbangkan, lalu menatapnya dengan penuh perhatian. "Baiklah, nona," ucapnya akhirnya, dengan nada yang serius, "tapi berjanjilah untuk tidak pergi ke mana pun."

Erina menganggukkan kepala dengan patuh, senyum menggemaskan terpancar di wajahnya, mengingatkan Daniel pada seorang anak kecil yang mematuhi aturan dengan manis. Melihat itu, ia merasa sedikit gemas.

Daniel pun memberi izin, tapi sebelum membiarkannya pergi, dia memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mengikuti Erina ke kafe tersebut, memastikan bahwa dia akan aman selama menunggu.

Erina pun berjalan menuju kafe dengan langkah ringan, sementara Daniel memperhatikannya sejenak sebelum berbalik memasuki gedung Lambor.

Erina memasuki kafe yang hangat dan nyaman, aroma kopi segar segera menyapa inderanya, mengisi ruangan dengan kehangatan yang akrab. Ia melangkah menuju konter, senyum tipis terukir di bibirnya saat memesan secangkir kopi dan sepiring camilan ringan.

"Secangkir cappuccino, dan mungkin... croissant hangat?" ucapnya dengan suara lembut, seolah berbicara pada diri sendiri. Barista mengangguk sambil tersenyum, lalu segera menyiapkan pesanannya.

Setelah itu, Erina memilih tempat duduk di dekat jendela, di mana sinar matahari sore menembus kaca, memberikan cahaya keemasan yang menenangkan. Ia duduk, menyesap kopi hangatnya perlahan, merasakan setiap tegukan seolah memberinya ketenangan yang dalam.

Di luar, dunia terus bergerak, namun di dalam kafe ini, waktu terasa melambat. Erina memandang ke jalanan, melihat orang-orang berlalu lalang, namun pikirannya tetap kembali pada Daniel. Ia bertanya-tanya berapa lama lagi ia harus menunggu, tapi tak ada keluhan yang terselip di hatinya. Setiap menit terasa berharga, meski hanya diisi dengan kesendirian yang tenang.

Ia memandang croissant di hadapannya, menggigit perlahan, merasakan kelembutan dan kehangatan yang menyebar di mulutnya.

Hampir satu jam berlalu, Erina duduk sendirian di kafe, memandangi cangkir kopi kosong di hadapannya. Udara sore mulai mendingin, dan keheningan di dalam kafe semakin menebal. Erina menghela napas panjang, memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Dia bangkit, menyelesaikan pembayaran, dan berjalan kembali ke konter.

"Bisakah aku memesan satu cangkir kopi lagi, to-go?" tanyanya dengan senyum lembut. Barista mengangguk dan segera menyiapkan pesanannya.

Erina merencanakan sesuatu yang sederhana namun manis—ia ingin memberi Daniel secangkir kopi sebagai tanda perhatiannya. Dengan hati-hati, ia membawa cangkir kopi itu keluar dari kafe, melintasi jalan yang mulai ramai, dan melangkah menuju gedung perusahaan tempat Daniel berada.

Langkahnya mantap saat memasuki lobi perusahaan yang megah. Namun, tak disangka, seorang karyawan wanita yang tampak terburu-buru tiba-tiba menabraknya dari samping. Cangkir kopi yang dipegang Erina terlempar, isinya tumpah, membasahi baju Erina.

"Oh, ma-maafkan aku, nona!" ucap wanita itu panik, wajahnya memucat. Dengan cepat ia meraih tisu dan mencoba membersihkan noda kopi yang meresap di kain baju Erina. Ada rasa bersalah yang dalam terpancar dari matanya.

Penjaga yang setia mengikuti Erina segera mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Nona, apakah Anda baik-baik saja?"

Erina menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri dari kejadian tak terduga itu. Ia menatap penjaga dan wanita yang cemas di depannya dengan senyum yang lembut. "Aku baik-baik saja, jangan khawatir," jawabnya dengan tenang, berusaha menenangkan mereka.

Erina kemudian memegang tangan wanita yang masih bergetar karena rasa bersalah itu. "Tidak apa-apa," ucapnya dengan suara menenangkan, matanya menunjukkan ketulusan. "Tenanglah, aku tidak terluka."

Wanita berkacamata itu mengangguk dengan gugup, matanya masih berkaca-kaca. "A-aku benar-benar minta maaf, nona," katanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam, suaranya hampir terisak.

Erina menggelengkan kepala dengan lembut. "Tak perlu merasa bersalah. Ini hanya sebuah insiden kecil," katanya dengan senyum hangat. Wanita itu terlihat sedikit lebih tenang, namun masih ada rasa bersalah yang tersisa di wajahnya.

Erina melangkah menuju toilet dengan langkah yang tetap tenang, meskipun noda kopi masih menghiasi bajunya. Di dalam ruangan yang sepi, ia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya sejenak. Tangan lembutnya mulai membersihkan bekas tumpahan kopi di lengannya, sementara ia mencoba membasuh sedikit noda di bajunya.

Air mengalir perlahan, menemani suara lembut hembusan napasnya yang terdengar di ruangan sunyi itu. Erina menggosok bajunya dengan perlahan, namun noda kopi itu tetap membekas, seakan menolak untuk hilang sepenuhnya.

Saat ia membasuh tangan, pintu toilet terbuka, seorang wanita yang lebih tua masuk dengan membawa peralatan kebersihan. Wanita itu menatap Erina dengan tatapan simpatik. "Kau baik-baik saja, Nona?"

Erina menoleh dan tersenyum, mengangguk pelan. "Ya, aku baik-baik saja. Ini hanya sedikit kopi, tidak masalah." Wanita itu mengangguk, lalu berlalu ke wastafel lain.

Erina keluar dari toilet, langkahnya ringan namun sedikit lebih lambat dari biasanya. Ia memutuskan untuk menunggu Daniel di sofa lobi, di mana sinar matahari sore masuk melalui jendela besar, menciptakan bayangan hangat di atas lantai marmer. Sepuluh menit berlalu dalam keheningan yang nyaman, hingga akhirnya suara lift yang terbuka memecah keheningan tersebut.

Erina mengangkat kepalanya, melihat Daniel yang tampak gagah keluar dari lift, diikuti oleh seorang pria. Senyuman langsung menghiasi wajahnya, dan dengan semangat yang tiba-tiba muncul, ia berlari kecil menghampiri Daniel.

Pria di sebelah Daniel, yang dikenalnya sebagai Dion, memandang Erina dengan tatapan yang penuh kekaguman. "Dia semakin cantik setelah dewasa," gumam Dion, tidak mengalihkan pandangannya dari Erina.

Tatapan Daniel berubah tajam, ia segera menoleh ke arah Dion. "Aku tidak segan-segan menghajarmu jika kau berani mengganggunya!" Ancam Daniel dengan nada yang dingin dan tegas.

Dion hanya tersenyum miring, seolah menikmati reaksi Daniel. "Tenang saja, aku mana berani bermain-main dengan keluarga Grey... kecuali jika dia yang memintanya." Jawab Dion dengan nada menggoda.

Daniel menanggapi dengan tindakan, menginjak kaki Dion dengan keras. Dion meringis kesakitan, raut wajahnya yang biasanya tenang berubah menjadi kesal. "Hei, aku hanya bercanda," keluh Dion.

Daniel, tanpa memperdulikan Dion lebih lanjut, kembali memfokuskan perhatiannya pada Erina yang kini berdiri di hadapannya. "Kau sudah selesai?" tanya Erina dengan suara lembut, namun penuh perhatian.

Daniel mengangguk pelan, Namun, pandangannya segera tertuju pada noda di baju Erina, dan keningnya berkerut. "Ada apa dengan bajumu, Nona?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya memeriksa bekas noda yang jelas terlihat di baju Erina.

Erina menundukkan sedikit kepalanya, mencoba menutupi kekhawatirannya dengan senyuman. "Hanya sedikit insiden kecil, tidak apa-apa."

Tatapan Daniel tetap serius, tangannya meraih tangan Erina dengan lembut, menariknya lebih dekat. "Anda benar-benar tidak terluka? Apakah perlu kita cek ke rumah sakit?" tanya Daniel khawatir terjadi sesuatu pada Erina karena insiden kecil itu.

Bersambung

Terpopuler

Comments

who am I

who am I

wah, si dion bisa bisa gatel tuh mulutnya liat si kulkas khawatirin erina 😁

2024-08-13

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!