Pipi Sheila memerah, tamparan keras yang dilayangkan oleh Leonard meninggalkan jejak lima jari di pipinya.
Dengan pandangan mata nanar, Sheila menengadahkan kepala seraya memegangi pipinya yang terasa panas.
Leonard mendengus kasar, ia menarik kakinya menjauh dari Sheila yang masih berlutut di hadapannya.
Hawa di antara keduanya begitu mencekam, Leonard dengan kesedihan dan kemarahannya menatap Sheila begitu tajam.
"Awasi dia, jangan sampai wanita iblis ini kabur!" perintah Leonard pada Bean dengan suara serak.
"Baik, Tuan." Bean dengan sigap berdiri di samping Sheila, memelototi wanita itu dengan penuh ancaman.
Sheila tidak perduli dengan tatapan si petugas keamanan yang berlagak seperti pahlawan itu. Ia menolehkan kepala, mengikuti gerak Leonard yang pergi masuk ke dalam ruangan ICU.
Tanpa kata Sheila beranjak berdiri, ia memperhatikan punggung Leonard dari kejauhan.
"Kau ini, kerja kok tidak becus. Lihat! Nyonya Zora kehilangan nyawanya gara-gara dirimu, dasar wanita jahat!" cibir Bean.
Kedua tangan Sheila mengepal, ia menoleh ke arah pria berbibir julid di sebelahnya.
"Bisakah kau diam? Tolong jangan memperkeruh keadaan," balas Sheila sengit, matanya yang terus mengeluarkan bulir bening menatap marah ke arah Bean.
Bean, pria gemuk berambut hitam itu membalas tatapan Sheila tak kalah tajam. Ia berdecih dengan angkuh seraya memutar bola mata malas
"Sebentar lagi masuk penjara saja sok hebat menyuruhku diam," ucap Bean sewot.
Sheila menarik napas dalam-dalam, membuang wajah ke arah lain, menghindari tatapan dari pria julid di sebelahnya.
Tiba-tiba Leonard keluar dari pintu ruang ICU, Sheila yang melihatnya sontak memundurkan badan karena Leonard keluar bersamaan dengan brankar yang didorong oleh tim medis.
Bibir Sheila bergetar melihat seorang wanita yang seluruh tubuhnya ditutupi dengan selimut rumah sakit.
Brankar itu berhenti tepat di dekat Sheila berdiri.
"Sayang bangun, jangan seperti ini. Bagaimana dengan anak-anak kita? Bagaimana denganku?" Leonard mengiringi jasad istrinya dengan deraian air mata.
Raungan Leonard menusuk hingga ke telinga Sheila, membuat Sheila semakin merasa bersalah pada pria tampan bertubuh tinggi itu.
"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan tuan saat ini, tapi saya dan para dokter ada di sini, bersedia mendengarkan serta membantu tuan sebanyak yang kami bisa," ucap sang dokter, memberikan semangat ke pada Leonard yang menangisi jasad istrinya.
Leonard tidak menghiraukan perkataan dokter di sampingnya, ia tetap memegangi brankar rumah sakit yang membawa tubuh tak bernyawa sang istri.
"Ada dua putri cantik yang sangat membutuhkan, Tuan," tambah dokter tersebut.
Leonard mengangkat kepalanya, ia sangat terpukul akan perginya sang istri sampai melupakan dua malaikat kecil yang baru hadir di hidupnya.
"Pihak rumah sakit akan segera mengurus kepulangan istri tuan ke rumah duka, permisi," ucap dokter, sebelum akhirnya brankar rumah sakit kembali didorong untuk tindak selanjutnya.
Leonard mundur dengan langkah goyah, ia terduduk di bangku rumah sakit dengan kepala tertunduk.
Air matanya terus mengalir, kepergian sang istri yang tidak terduga membuatnya sangat terpukul.
Sheila tidak berani mendekati Leonard, ia berdiri dengan jarak yang cukup jauh dari pria yang sedang berduka itu.
Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, sampai sebuah suara memanggil nama Leonard.
"Leo, bagaimana keadaan menantu dan cucu Mommy?" Hanny, ibu dari Leonard berjalan dengan tergesa, raut wajahnya tampak sangat khawatir.
Suara wanita berumur 63 tahun itu memecah keheningan di antara Leonard, Sheila serta Bean.
Sontak mereka menoleh ke arah sumber suara.
"Zora ... Zora meninggalkanku, Mom," ucap Leonard dengan suara serak.
"Apa?!" Mulut Hanny menganga lebar, ia terkejut dengan apa yang putra semata wayangnya katakan.
"T-tidak mungkin! Tadi Zora izin sama Mommy pergi ke toko mainanmu, dia mau membeli box music untuk calon bayi kembar kalian, t-tidak mungkin Zora meninggal!" Hanny menggeleng tidak percaya.
Sheila menunduk takut, kedatangan ibu dari Leonard membuatnya semakin merasa tersudut.
"Dia!" Jari telunjuk Leonard membidik ke arah Sheila yang tengah berdiri di dekat pintu ruang ICU. "Dia orang yang membuat Zora pergi secepat ini," sungut Leonard.
Deg!
Hati Sheila seakan ditikam dengan beribu belati, saat perkataan Leonard terus menudingnya sebagai seorang pembunuh.
"M-maksudmu apa, Leo?" tanya Hanny dengan suara yang lemah. Ia bahkan harus berpegangan pada dinding rumah sakit agar kakinya tetap kuat menompang tubuh rentanya.
Leonard berdiri, ia berjalan menghampiri Sheila yang ketakutan.
Grep!
Dengan kasar Leonard menarik lengan Sheila, menyeretnya secara paksa ke hadapan Hanny, sang mommy.
Sheila yang ditarik tidak dapat memberontak karena kekuatan Leonard tak sebanding dengan kekuatannya.
"Wanita ini yang membuat Zora terpeleset hingga meninggal!" ungkap Leonard, menghempaskan lengan Sheila dengan kuat.
Tubuh Sheila terhuyung ke depan, dengan jantung berdebar kencang ia mencoba mengangkat kepalanya secara perlahan.
"Kau ... pembunuh menantuku!" Mata Hanny menelisik Sheila dari atas kepala hingga ujung kaki.
"Bukan, aku bukan pembunuh!" Sheila menggelengkan kepala kuat, namun suaranya terdengar begitu lirih.
Hanny beralih menatap ke arah putranya, Leonard. "Bagaimana dengan keadaan cucu kembar, Mommy?" tanyanya pelan, tidak memperdulikan sangkalan wanita muda di depannya.
Leonard menarik napas berat, wajahnya menunjukkan kesedihan yang tidak terbendung.
"Kata dokter, kedua putriku harus ditempatkan di dalam inkubator untuk sementara waktu," jelas Leonard pada ibunya.
Mendengar hal itu, membuat Hanny menangis. Ia tidak tega dengan nasib malang yang menimpa kedua cucunya.
"Ya Tuhan, mereka kehilangan sosok mommy-nya di usia sekecil ini," ucap Hanny terisak pilu.
Sheila memejamkan mata kuat, hatinya merasa teriris, mendengar wanita tua itu membicarakan nasib malang dua bayi yang tidak berdosa.
"Semua ini gara-gara dia, Mom. Aku harus segera menelepon pihak yang berwajib," sergah Leonard.
Sontak mata Sheila terbuka lebar, jantungnya nyaris berhenti berdetak karena ucapan penuh emosi Leonard.
"Jangan, Leo!" Hanny menghentikan pergerakan putranya yang hendak merogoh saku.
Leonard menatap wajah ibunya dengan tatapan tidak percaya, begitu pun dengan Bean yang berada di antara mereka.
Kenapa sang mommy melarang Leonard? Padahal jelas-jelas Sheila adalah penyebab kematian Zora.
Hanny menyeka air matanya yang mengalir, ia menatap Bean dengan wajah berubah tegas.
"Kau, kembalilah bekerja!" seru Hanny pada Bean yang sedari tadi asyik menonton kemalangan keluarganya.
Bean tampak tidak rela. Namun, mau tidak mau ia pergi menuruti perintah dari ibu bos-nya, pemilik toko mainan terbesar dan hotel berbintang lima di kota New York.
Kini hanya ada Sheila, Leonard dan Hanny di tempat itu.
Suasana terasa begitu mencekam, dinginnya rumah sakit menusuk hingga ke tulang-tulang Sheila.
"Maksud mommy apa melarangku untuk menghubungi pihak berwajib? Dia harus segera mendapatkan hukuman atas perbuatannya!" ucap Leonard merasa geram, ia tidak mengerti ke mana arah pikiran ibunya.
Hanny menarik napas dalam-dalam, ia menatap putranya dan wanita muda di depannya secara bergantian.
"Daripada menghukumnya seperti itu, lebih baik nikahi dia, jadikan wanita muda ini sebagai pengasuh seumur hidup untuk kedua cucuku," ucap Hanny tenang.
Deg!
Tubuh Sheila menegang seketika, matanya membelalak lebar.
Menikah?
Bersambung ....
Bagaimana kisah selanjutnya?
Kalau rame, besok Othor double up ya🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Susi Susiyati
q rasa nie mister bean harus di waspadai jngn2 zora meninggl gara2 kecelakaan ulah bean idiot itu q ykin geprek aja tu si bean.dodolnya si moster percy aja omngn bean
2024-07-24
3
Dewi Anggya
pilihan syuliiiiiit....
2024-07-19
0
Ani
awas nanti kalau Si singa bucin sama sheila
2024-07-17
0