BAB [09]

"-untuk meeting nanti sore...," Damian sama sekali tak mendengarkan entah apa yang tengah asistennya Rendi ucapkan kini. Pria itu sibuk mengetuk-ngetuk ujung bolpoin yang ia genggam di atas meja. Pandangan pria itu menerawang entah kemana.

"Pak?" Rendi menyapa atasannya dengan ragu. Karena dari serentetan jadwal yang ia bacakan, tak satupun direspon oleh bosnya itu.

"Ren...," Damian berujar sebelum mengalihkan pandangannya kepada Rendi yang sudah bersiap-siap menerima tugasnya. "Bisa kamu carikan data karyawan cleaning service yang pingsan tempo hari?" tanya pria itu kemudian.

"Baik Pak, akan segera saya ambilkan..., maaf???" ujar Rendi cepat namun sesaat kemudian langsung berubah menjadi pertanyaan ketika pria itu mencerna apa yang baru saja atasannya katakan.

"Gadis yang pingsan di toilet waktu ini," Damian menjawab dengan santai.

Rendi menggaruk kepalanya yang tak gatal, "karyawan cleaning service Pak?" tanya pria itu kembali memastikan, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Damian.

"Cleaning service di kantor ini tidak begitu banyak bukan, dan kamu juga bisa mencari dengan lebih spesifik. Cari data karyawan cleaning service wanita, bertugas di kantor pusat dan... belum menikah." Untuk kriteria yang terakhir entah mengapa Damian agak ragu. Apakah Sandara masih single atau sudah menikah.

"Ah dan satu lagi, coba cari yang namanya Sandara," ujar pria itu lagi. Damian sebenarnya tak yakin jika Sandara adalah nama asli dari gadis itu. Tapi ya..., apa salahnya mencoba.

"Baik Pak, akan segera saya laksanakan." Rendi berujar pelan setelah sebelumnya sempat berdiri mematung untuk sesaat. Karena bagaimanapun, tidak setiap hari dia mendapat perintah semacam ini dari atasannya.

Dengan cepat Rendi membungkuk sekali sebelum kemudian berjalan tergesa ke luar ruangan Damian. Tak perduli seaneh apa, sebagai karyawan yang baik dan profesional, jika pak bos sudah memberi perintah, ia akan dengan senang hati melakukannya.

___

"Mbak, nanti bisa minta tolong ambilkan saya teh hangat nggk?" Dina tersenyum pada karyawan resepsionis yang tengah menatapnya penuh harap.

Gadis itu tengah mengelap berbagai macam hiasan dinding yang berada di lobby kantor. "Iya Mbak, tunggu sebentar ya, saya naruh ini dulu," jawab Dina kemudian sambil menunjuk alat kebersihan yang tergenggam di tangannya.

"Oke Mbak santai aja. Sekalian camilannya ya, kalau ada...," lanjut wanita itu lagi. Dina hanya menanggapi dengan acungan jempol sebelum kemudian melangkah menuju pantry.

"Si Bumil lagi?" tanya Iwan yang kebetulan juga tengah membuat kopi, Yang dijawab Dina dengan anggukan pelan. "Emang gitu ya kalau wanita lagi hamil. Makaaan mulu," tanya pria itu lagi.

"Yah... Nggak tau deh, belum pernah ngerasain," jawab Dina sekenanya. Setahu Dina bawaan wanita hamil itu berbeda-beda. Ada yang nafsu makannya besar, tapi ada juga yang bahkan sama sekali tak bisa makan.

Seperti teman satu kostnya dulu contohnya. Sama sekali tidak bisa makan hingga harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani perawatan.

"Aku anter ini dulu ya," ujar Dina sambil mengangkat nampan yang sudah lengkap berisi teh hangat dan sepiring biskuit. Sementara Iwan hanya mengangguk pelan sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Wahhhh... makasi ya Mbak," ujar Desi, si karyawan resepsionis tadi.

"Panggil Dina aja Mbak Desi, iya..., sama-sama. Ada yang bisa dibantu lagi Mbak?" tanya Dina tersenyum geli melihat Desi yang langsung melahap biskuitnya dalam satu suapan.

Mata wanita itu tampak berbinar-binar sambil sesekali terlihat mengelus perutnya yang mulai membesar. "Enggak Din, makasih ya," ujarnya kemudian. Terlihat jelas raut bahagia wanita itu menikmati masa-masa kehamilannya.

Tanpa sadar Dina ikut tersenyum melihatnya. Dalam hati gadis itu membayangkan jika dirinyalah yang berada di posisi Desi kini. Memiliki pekerjaan yang bagus, suami yang penyayang, tampan dan juga mapan. Kalau mau, Desi sebenarnya tidak perlu bekerja, karena gajih suaminya saja sudah sangat lebih dari cukup untuk kesejahteraan keluarga. Terlebih ia sedang mengandung. Bukannya lebih baik beristirahat di rumah saja?

Bukan bermaksud sirik atau iri hati, namun entah mengapa Dina merasa semua orang memiliki kehidupan yang sempurna, kecuali dirinya. Namun terkadang gadis itu berusaha menguatkan hatinya. Tak ada kehidupan yang sempurna. Semua orang pasti memiliki masalah dan beban dalam hidupnya. Hanya kadar dan tingkatannya saja yang berbeda.

Dan gadis itu yakin bahwa dirinya saat ini berada di tingkatan yang terbawah. Sehingga jika ia kembali tergelincir dan jatuh, ia tidak akan merasakan sakit yang lebih parah. Karena bagaimanapun, dirinya kini memang sudah berada di titik terendah. Mau jatuh kemana lagi?

____

"Jadi namanya Ardina Maharani...," gumam Damian sambil membaca berkas yang berada di tangannya dengan seksama.

Di atas meja kerja pria itu terlihat tumpukan berkas berisi resume dan data diri Karyawan. Setelah membuka lebih dari sepuluh berkas, pria itu akhirnya menemukan foto gadis yang ia cari sejak tadi.

Sejak pagi hingga menjelang istirahat siang, Rendi sibuk membongkar semua berkas karyawan sesuai kriteria yang diberikan Damian, namun tak kunjung ia jumpai satupun karyawan kebersihan yang bernama Sandara. Akhirnya dengan terpaksa pria itu membawa semua berkas tadi ke ruangan Damian, berharap salah satu berkas ini milik gadis yang tengah dicari bosnya itu.

Rendi baru bisa menarik nafas lega ketika melihat Damian akhirnya membaca salah satu berkas dengan seksama sambil meneriakkan kata, "ini dia!" Dengan wajah sumringahnya.

Rendi kemudian langsung undur diri dan berjalan tergesa ke arah kafetaria yang berada di lantai tiga gedung. Hampir saja dia melewatkan jam istirahatnya. Siapapun gadis yang bernama Sandara ini, sepertinya tidak boleh dianggap sepele.

Ardina Maharani, usia 23 tahun, belum menikah. Sudah tidak memiliki ayah. Ibunya memiliki riwayat asma dan imun tubuh yang lemah. Memiliki seorang adik laki-laki yang baru berusia 15 tahun. Damian memikirkan dirinya yang dulu berusia 15 tahun, masih duduk di bangku SMA. Kelas X kalau tidak salah. Berarti masih di bawah umur.

Jadi, mau tak mau Dina dituntut harus menjadi tulang punggung keluarga. Karena itulah dia terpaksa harus bekerja di dua tempat yang berbeda. Mengingat gadis itu hanya lulusan SMA membuatnya hanya diterima sebagai petugas kebersihan. Gajih sebagai karyawan kebersihan jelas cukup untuk memenuhi segala kebutuhan hidup gadis itu dan keluarganya.

Jadi dosa gadis itu yang telah dengan sengaja menutupi identitasnya termaafkan. Damian mengangguk menyetujui kata pikirannya. Padahal tanpa pria itu sadari, sejak awal pun ia sama sekali tak merasa marah karena di bohongi. Dina bukannya bermaksud berbohong, dia hanya menutupi kenyataan, gumam pria itu dalam hati.

Benar yang dipikirkan Damian sebelumnya. Sandara hanyalah nama samaran. Lagi pula, mana mungkin gadis itu menggunakan nama asli saat bekerja di club malam. Resikonya terlalu tinggi. Apalagi gadis itu jelas tahu jika CEO tempatnya bekerja merupakan langganan disana. Bahkan sempat coba dirayunya juga.

Mengingat itu semua membuat Damian meletakkan tangan di depan bibirnya. Berusaha menyembunyikan senyuman yang secara tak sadar mengembang begitu saja.

Jadi nona Dina.... Apa yang harus Damian lakukan pertama-tama? Mungkin menyimpan sedikit kontak informasi cukup untuk saat ini.

Pria itu kemudian mengambil ponselnya dan menyalin kontak WhatsApp milik Ardina yang tertulis di resume nya.

Jangan salah sangka! Damian hanya ingin berjaga-jaga, siapa tahu suatu saat nanti ada kepentingan mendadak sehingga ia harus menghubungi gadis itu melalui ponselnya! Ya... Tentu saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!