Kontrak macam apa ini?! Pikir Dina ketika melihat sebagian isi kontrak.
• 100.000.000 untuk tanda tangan kontrak
• 200.000.000 jika ia berhasil hamil
• 300.000.000 jika anak mereka lahir dengan Damian mendapat hak asuh penuh. Ditambah sebuah rumah yang akan menjadi hak milik Dina jika kontrak mereka telah usai.
Dina menatap Damian dengan mulut menganga. Matanya mengerjap berkali-kali membuat Damian harus mangatupkan bibir dan memasang ekspresi sedatar mungkin untuk menyembunyikan senyumnya.
"Bukannya Bapak sudah memiliki istri?" tanya gadis itu kemudian.
"Aku menginginkan anak dan istriku tidak bisa memberikannya," ujar Damian santai seolah sesuatu yang baru saja ia katakan hanya sekedar ramalan cuaca.
Dina kemudian teringat dengan percakapan Damian dan teman-temannya malam itu. Tentang bagaimana istri Damian menutupi kenyataan jika dirinya pernah melakukan aborsi.
Meski Dina merasa istri Damian memang bersalah, namun sebagai sesama wanita, Dina tetap saja merasa prihatin padanya. Jika dia menerima perjanjian ini, bukankah sama saja dia menjadi seorang pelakor? Apakah hati nuraninya cukup mampu menjadikannya sebagai orang kedua dalam pernikahan orang lain?
Tapi nominal ini...
Mengingat kondisi ibunya saat ini, Dina tidak berani langsung mengambil keputusan untuk menolak. Bagaimanapun ini merupakan satu-satunya kesempatan yang ia punya.
Namun ia jelas tidak berani untuk langsung menerima. Bagaimanapun ini bukanlah masalah yang sederhana. Menikah dan hamil anak dari pria yang tidak benar-benar kamu kenal. Ditambah pria itu juga telah menikah dan masih berstatus sebagai suami orang.
Dina tidak boleh gegabah. Bagaimanapun ini menyangkut masa depannya. Apakah dirinya rela dijadikan istri kedua?
"Boleh saya..., pikirkan dulu Pak?" tanya Dina sesaat sebelum ponselnya tiba-tiba berdering.
Dina melirik layar ponselnya yang berada di atas meja. Terpampang nama adiknya Adrian disana. Dina kembali merasakan hatinya goyah. Adiknya pasti menelpon untuk menanyakan keputusannya. Damian yang juga dapat melihat layar ponsel Dina hanya mengerdikan bahu sambil mengerling ke arah ponsel Dina yang terus berdering.
"Boleh saja, itupun jika kondisimu memungkinkan," ujar pria itu kemudian dengan nada santai. Pria itu mengambil sebuah pena yang sudah ia siapkan di saku kemejanya, kemudian tanpa ragu membubuhkan tanda tangannya di kolom pihak pertama.
Damian kemudian mengulurkan pena itu kepada Dina. Gadis itu terdiam sesaat, menghela nafas sebelum akhirnya memantapkan hatinya. Dengan cepat gadis itu membubuhkan tanda tangannya di kolom pihak kedua.
Damian tersenyum sebelum kemudian mengulurkan tangan kanannya ke arah Dina untuk berjabat tangan. "Terimakasih atas kerjasamanya..." gumam pria itu sambil tersenyum puas, seolah ia baru saja memenangkan tender yang bernilai miliaran rupiah.
___
Akhirnya Dina paham apa yang dimaksud orang-orang bahwa hidup itu ibaratnya roller coaster. Bagaimana tidak, baru pagi tadi gadis itu berpikir jika hidupnya akan berakhir sebentar lagi karena masalah ekonomi. Sedangkan detik ini, matanya terus terperangah menatap nominal yang tertera di layar ponselnya. Berulang kali gadis itu menghitung jumlah angka nol yang tertera disana.
Ia sama sekali tak salah lihat. Angka yang tertera di sana memang seratus juta! Sesuai isi kontrak, Damian langsung mentransfer ke rekeningnya sebesar seratus juta rupiah. Sedangkan sisanya akan pria itu kirimkan jika persyaratan lainnya sudah terpenuhi.
Persyaratan lainnya... Dina mengingat syarat berikutnya dengan hati berdenyut nyeri. Hamil dan melahirkan keturunan untuk pria itu. Menghela nafas pelan Dina pasrah menerima nasib. Bagaimanapun uang sudah ia terima, tidak mungkin juga ia melarikan diri. Yang ada malah masuk bui.
Yang pertama kali gadis itu lakukan adalah meminta cuti di tempatnya bekerja untuk beberapa hari ke depan. Gadis itu ingin segera menyelesaikan urusan administrasi di rumah sakit sehingga operasi ibunya dengan cepat bisa ditangani.
Ketika akhirnya ia tiba di kediamannya yang sederhana, adiknya Adrian datang menyambutnya dengan ekspresi lega yang kentara. Remaja tanggung itu langsung memeluk kakaknya dengan erat. Merasa jika kakaknya sudah di sini, maka semuanya akan baik-baik saja.
Meskipun terlahir sebagai anak lelaki, namun ternyata mentalnya belum sekuat Dina sang kakak. Adrian bahkan terkadang heran bagaimana kakaknya bisa sekuat itu. Beban yang kakaknya tanggung jelas jauh lebih besar dari yang ia rasakan.
Jika ia yang hanya diberi tanggung jawab menjaga dan merawat Ibunya saja terkadang merasa lelah, bagaimana kakaknya yang harus menanggung semua biaya dan kebutuhan keluarga.
Karena itulah setiap kali rasa lelah itu datang, Adrian akan kembali mengingat perjuangan kakaknya di luar sana. Dia kemudian akan merasa malu sendiri dengan statusnya sebagai anak laki-laki. Karena di saat kakaknya sibuk membanting tulang di luar sana, dirinya malah menghabiskan waktu dengan mengeluh dan meratapi nasib.
"Kakak..., ibu akan baik-baik aja kan?" tanya remaja itu sambil menatap wajah kakaknya dengan tatapan memelas.
"Iya, Ibu pasti akan baik-baik aja. Secepatnya ibu akan dioperasi. Kemudian ibu akan kembali bersama kita di sini," ujar Dina meyakinkan. "Sekarang ayo bersiap-siap dulu. Kamu siapin perlengkapan Ibu, Kakak siapin surat-surat untuk administrasi nanti."
"Semuanya udah siap Kak, baju-baju sama perlengkapan Ibu semua udah Rian masukin ke tas. Berkas-berkas juga sudah dibantu kemarin sama Mas Rangga sekalian bikinin surat rujukan juga. Mana tahu katanya bisa dapat keringanan dari pihak rumah sakitnya."
Dina mengangguk mendengar ucapan Adrian. Gadis itu benar-benar merasa beruntung memiliki Rangga sebagai sahabatnya. Jika tidak ada pria itu entah Dina bisa sekuat ini atau tidak. Atau justru gadis itu telah menyerah pada nasibnya sejak lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments