BAB [18]

"Sudah Nyonya duduk saja, tunggu masakannya matang," Wati mulai gemas melihat tingkah majikan barunya yang seolah tak bisa diam.

Wanita itu terus saja menyibukkan dirinya. Sebentar membersihkan ini, sebentar membersihkan itu. Sekarang wanita itu bahkan ikut memasak dengannya di dapur. Kalau terus begini, bisa-bisa Wati kehilangan pekerjaannya.

"Panggil Dina aja Bi, nggak apa Bi, saya bosan kalau cuma duduk diam. Waktu rasanya nggak jalan-jalan," ujar wanita muda itu sambil mengupas kentang. "Kan kerjaan Bibi Wati juga jauh lebih ringan, nanti nggak usah bilang-bilang sama Mas Damian kalau saya ikut bantuin," ujar Dina lagi.

"Apanya yang nggak usah dibilang-bilang sama Mas Damian?" tanya Damian yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu dapur, melihat interaksi antara dua wanita beda usia itu.

"E-eh, Mas udah pulang," ujar Dina gelagapan. Untung dia tidak sedang menjelekkan pria itu di belakangnya. Pria itu entah kenapa sering kali membuatnya terkejut karena muncul tiba-tiba entah dari mana.

"Nak Damian tumben pulang sore, biasanya malam. Kadang bahkan nggk pulang. Nggak lembur lagi ya?" tanya Wati mengerling ke arah Damian penuh arti. Damian memang sudah menganggap Wati sebagai ibunya sendiri, karena itulah wanita itu tidak segan untuk menggoda majikannya itu.

"Lembur kok Bi, entar malem. Di kamar aja lemburnya, sama Dina," seloroh pria itu membuat wati tertawa mendengarnya. Sedangkan Dina, wanita lugu itu hanya bisa menunduk dengan wajah memerah hingga ke telinga.

Dina baru tahu jika sosok bosnya ini sama sekali berbeda dengan yang ia pikirkan selama ini. Damian yang ia bayangkan adalah sosok seperti CEO di film-film. Dengan wajah super tampan namun memiliki karakter yang dingin dan cenderung kejam. Atau CEO muda yang hanya perduli dengan pekerjaan tanpa memikirkan orang sekitarnya. Namun ternyata, kenyataannya sungguh berbeda.

Damian memang jauh terlihat lebih nyata. Dia hanya seorang pemuda kaya, yang memiliki hobby menggoda wanita. Setidaknya itu pendapat Dina tentangnya. Wanita itu tak tahu saja, sisi Damian yang seperti ini, hanya terlihat ketika lelaki itu berada di sisinya.

Tawa mereka terhenti ketika mendengar suara bell pintu yang di tekan berulang-ulang. Wati dengan sigap mencuci tangannya sebelum kemudian berlari kecil untuk membuka pintu.

Sesaat kemudian wanita itu kembali dengan raut wajah yang terlihat jelas menunjukkan ekspresi cemas dan kebingungan. Dipandangnya Damian yang juga tengah menatapnya dengan bingung.

"Nyonya dan Tuan datang. Mereka sedang menunggu di ruang tamu," ujar wanita paruh baya itu nyaris seperti bisikan.

Kentang yang baru saja dicuci Dina terlepas dari genggaman wanita itu. Sedangkan Damian, pria itu hanya mengerjap sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Damian tahu jika jaringan informasi ayahnya memang bekerja dengan sangat cepat, namun ia tak menyangka akan secepat ini.

Menghela nafas, pria itu kemudian meraih tangan Dina, menggenggamnya dengan erat sebelum kemudian menarik wanita itu untuk mengikuti langkahnya. Bagaimanapun, cepat atau lambat keluarganya pasti akan tahu juga. Jadi ya..., hadapi dan jalani saja. Biarkan segalanya mengalir seperti air.

___

Dina hanya terdiam sambil menunduk. Menatap jari jemari tangannya yang ia mainkan untuk mengurangi rasa gugup. Di depannya kini duduk sepasang suami istri paruh baya yang ia kenal sebagai orang tua Damian, dimana secara praktis merupakan mertuanya. Mertua yang baru pertama kali ia temui.

"Ehm!" Dina langsung mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara batuk pelan. Wanita itu menatap Ayah Damian yang juga tengah menatapnya. Tanpa sadar Dina kembali menunduk karena tak sanggup melawan aura intimidasi dari lelaki paruh baya itu.

"Jangan menakutinya Pa," ujar Damian santai yang membuat Dina semakin gugup dibuatnya.

"Jadi kalian sudah menikah?" kali ini suara Lisa, ibu Damian yang angkat suara.

Damian mengangkat bahu sambil mengerdikkan kepalanya ke arah amplop cokelat yang berada di atas meja. "Seperti yang Mama lihat, nama kami berdua sudah tertulis secara sah disana," jawab Damian nyaris seperti gumaman.

"Tanpa prosesi pernikahan?" tanya Ibunya lagi.

"Kami melakukannya, hanya prosesi sederhana. Bi Wati dan Rendi jadi saksinya. Setelah itu baru kami mendaftar ke pengadilan Agama," ujar Damian tanpa rasa bersalah.

"Tanpa kehadiran kami orang tuamu? Damian, kamu tahu kan? Menikah tidak sesederhana itu. Kamu sudah mengalaminya sekali dan itu tidak berjalan sesuai dengan harapan. Apa kamu ingin mengulanginya lagi?" tambah ibu Damian. Sama sekali tidak mengerti dengan keputusan putranya yang begitu mendadak.

Damian terdiam sebelum kemudian menatap ayah dan ibunya dengan lekat. "Ma, Pa, kalian jujur saja. Kalian sudah tahu bukan alasanku menikah dengan Dina. Aku tidak akan berusaha menutupi apapun karena pasti percuma. Pada akhirnya kalian akan tahu juga." Damian menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, "keputusan ini harus diambil secepatnya, jika aku memberitahu kalian lebih dulu, pasti urusannya jadi panjang dan memakan waktu."

Damian menatap ayah dan ibunya secara bergantian, "sebelum mengambil keputusan ini, aku sudah memikirkannya berkali-kali. Aku sudah mengenal Dina lebih dari dua tahun, sejak dia baru saja bekerja di perusahaan sebagai karyawan kebersihan. Aku tertarik sejak pandangan pertama, selalu memperhatikannya diam-diam namun tidak berani mengambil langkah lebih jauh karena sadar statusku yang sudah tidak mungkin lagi mendekati wanita lain."

Dina menghela nafas mendengar ucapan Damian. Apa yang tengah lelaki itu ceritakan? Apakah benar Damian mengenalnya sudah sejak lama? Atau ini hanya karangan pria itu saja?

"Lalu secara tidak sengaja aku bertemu dengannya di club malam, aku sempat merasa marah karena berpikir dia ternyata tak sebaik yang kupikirkan. Namun lama kelamaan aku sadar. Dina berada di club malam karena terpaksa, bukan untuk bersenang-senang. Ia berada di sana untuk bekerja, karena masalah keuangan keluarganya." Damian kembali memperhatikan raut wajah orang tuanya, "kalian tentu juga tahu bukan jika Dina sempat bekerja di club malam?"

Damian tersenyum ketika melihat ibunya mengangguk pelan. Jujur karena kenyataan itu pulalah Lisa dan Dodi memandang Dina dengan sebelah mata. Merasa jika kenyataan ini terdengar sampai keluar, bukan hanya nama keluarga mereka yang akan tercoreng pada akhirnya. Namun nama perusahaan pun pasti akan terseret.

"Dina sudah tidak memiliki Ayah, ibunya sakit parah sedangkan adik laki-laki satu-satunya yang ia miliki masih di bawah umur, masih sekolah di bangku SMA. Jadi hanya dialah satu-satunya harapan keluarga. Pengobatan ibu dan biaya sekolah adiknya, belum lagi biaya hidup mereka setiap hari, tentu saja membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Dia bekerja keras siang dan malam. Aku bahkan pernah mendapatinya pingsan saat membersihkan toilet di kantor."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!