Hari ini, hari keberangkatan Al dan Monalisa ke Eropa. Terpaksa Al harus pergi berdua dengan Monalisa agar tidak mendapat amukan dari mamah nya.
Rossa hanya ikut mengantar kedua nya ke bandara saja.
Naila pun mengetahui jika suami nya berangkat. Tetapi ia sama sekali tidak ikut mengantar. Padahal Rossa berkali-kali menghubungi Naila, agar mau ikut mengantar suami dan madu nya ke bandara. Justru Naila, mematikan ponsel nya. Ia merasa risih jika di hubungi mertua nya terus dengan hal yang tak jelas.
"Kita tunggu dulu Naila, mungkin dia masih di jalanan." Al berharap jika Naila, sedang di perjalanan menuju bandara.
"Ya sudah, kita tunggu dulu sampai dua puluh menit lagi." Ucap Monalisa, ia sengaja menggandeng lengan Al terus menerus tanpa memberi kesempatan Al untuk dekat Naila nanti nya.
Tetapi, jam penerbangan sudah tinggal sepuluh menit lagi, Naila tak kunjung datang. Al, merasa cemas dengan Naila. Ia takut terjadi apa-apa dengan Naila.
Rossa pun ikutan kesal dengan Naila. "Nomor nya ngak aktif. Ya sudah lah kalian masuk aja ke dalam. Ngak usah tunggui dia. Paling ngak datang juga. Dasar mantu kurang ajar, ngak tau diri." Rossa mengumpat kesal.
"Bentar lagi, mah."
"Mas, ayo kita masuk. Bentar lagi pesawat nya landing." Ujar Monalisa sembari menarik kecil lengan Al.
Mau tak mau, Al pun masuk ke dalam pesawat. Sebelum memasuki pintu pesawat, Al menengok ke belakang berharap sudah ada Naila di sana. Tetapi masih saja sama, tak ada sedikit pun kelihatan bayangan Naila. Hanya ada Rossa dan juga sang supir yang menunggu. Rossa pun melambaikan tangan pada Al, dan juga Monalisa. Sebelum akhir nya, Al menghilang dari balik pintu pesawat.
**
Di tempat lain, Naila yang sudah berada di rumah peninggalan orang tua nya itu menatap sendu foto kedua orang tua nya.
Di tatap foto yang ia ambil di album foto.
"Mah, pah, aku rindu kalian." Di dekap nya foto itu dengan linangan air mata.
"Nak, nanti kalo dedek sudah besar, sudah dewasa, dedek harus bisa mandiri ya. Bunda tidak ingin dedek menjadi orang yang cengeng dan lemah. Dedek harus kuat dengan kehidupan dedek nanti nya."
Naila teringat dengan ucapan sang bunda. Sebelum kejadian yang membuat nya trauma, bunda nya pernah berpesan seperti itu. Dan pada kahir nya harus menerima kenyataan hidup yang pahit.
Awal diri nya berada di panti sangatlah susah untuk berinteraksi dengan yang lain nya. Dan setelah memasuki sekolah menengah pertama, ia sudah bekerja serabutan untuk membantu ibu Siti.
Sebelum ada nya saluran donasi ke panti, Naila sangat lah bersusah payah mencari uang demi membantu adik-adik nya.
Ucapan Bunda nya itu baru di sadari sejak ini. Mungkin itu sebagai pertanda akan berpisah nya dia dengan bunda nya.
Tok... Tok... Tok...
Naila terkejut saat mendengar suara ketukan pintu. Cepat-cepat ia menghapus air mata nya.
"Masuk." Ucap nya
"Permisi non, tuan Vian menyuruh saya untuk meminta nona ke ruangan kerja nya." Kata mbok Cei dengan lembut.
"Sebentar bik."
"Ya sudah, saya permisi dulu non." Mbok Cei pergi melanjutkan kembali tugas nya.
Tak lama, Naila pun pergi menemui Vian di ruang kerja nya.
"Permisi babang, ada apa manggil dedek?" kata Naila, yang sedikit terlihat lesu
Vian menatap sang adik dengan heran. "Dedek sakit? Kita ke dokter ya.." bujuk nya agar Naila mau berobat
"Ngak usah Bang, dedek cuman merasa sedikit lelah aja." Elak nya Naila
"Ada apa babang manggil ke sini." Sengaja Naila mengalih kan agar Vian tidak memaksa nya ke dokter.
"Emmm,, apa dedek siap mengelolah perusahaan Ayah? Babang tetap pantau dedek kok. Soal nya Babang mau fokus dulu ke usaha yang babang buat." Vian berkata dengan wajah yang serius.
"Hmmmm.... Gimana ya bang, dedek kan masih berstatus sebagai istri. Nanti dedek tanya dulu sama, mas Al." Kata nya dengan ragu-ragu.
"Tidak perlu kamu menceritakan pada suami mu itu tentang masalah ini. Buat apa kamu minta pendapat nya? Belum tentu kamu mendapat izin dari dia." Papar Vian
Naila menghela nafas, memijit pelipis nya dengan jari telunjuk dan jempol.
"Biar saja kamu diam-diam mengelolah perusahaan Ayah. Itu buat berjaga-jaga, mana tau kalo istri nya hamil kamu di ceraikan. Atau kamu sudah tidak tahan lagi dengan pernikahan konyol mu itu, kamu milih pisah." Vian sengaja menyindir sedikit agar pikiran Naila terbuka.
Menurut Vian, adik nya itu terlalu bodoh soal cinta.
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian, dedek percaya saja dengan kata-kata babang ini. Suatu saat pasti akan berguna buat masa depan mu. Babang akan selalu ada di belakang dedek." Ujar Vian meyakinkan
"Baik lah. Dedek mau"
Vian tersenyum semringah mendengar jawaban Naila.
"Tapi dengan syarat!" Seketika wajah Vian menjadi pias, sang adik harus memakai embel-embel persyaratan.
"Kata kan," dengan menyender di kursi kerja nya lalu tangan yang terlipat di depan dada Vian berucap.
"Emmm,, jika di dalam perkejaan aku mau memakai nama '**Hilda**'. Tapi, jika sudah di luar dari pekerjaan aku tetape menjadi '**Naila**'."
Sontak saja Vian langsung meng-iya kan.
"Okeee....! Besok kamu sudah mulai bisa ke kantor. Babang akan merahasiakan identitas kamu."
"Baik, aku cuman mau jadi staf biasa saja."
Vian melotot kan kedua bola mata nya, "apa kamu bilang? Kenapa harus jadi staf biasa. Padahal kamu lah pemilik nya." Ujar Vian memprotes.
"Kan aku lagi menyembunyikan identitasku, bang! Gimana kalo ada yang tau aku ini, Naila saat masuk kantor dan itu tembus di kuping mertua aku? Pasti banyak drama lagi bang." Sungut nya kesal
"Oke, oke.... Babang paham. Ya sudah terserah dedek saja nyaman nya gimana." Vian melemah.
\*\*\*
Di Eropa, Al tengah kesal dengan Monalisa yang selalu mengajak nya ketempat liburan yang lagi trend. Padahal, Al sudah berkali-kali menolak nya. Tetapi masih saja Monalisa, memaksa nya. Sehingga, Al sudah berada di puncak kesabaran.
"Mas, ayo kita pergi. Aku ngak mau ya kita ke sini itu sia-sia saja. Apa kamu mau aku stres dan kita pulang tidak membawa kabar baik untuk mamah." Sengaja Monalisa membawa mertua nya agar Al, meluluh hati nya.
"Jika kamu ingin pergi, pergi lah sana sendiri. Kamu juga bisa senang-senang tanpa aku. Sudah berapa kali aku kata kan pada mu, AKU MAU DI SINI SAJA,! " Hardik nya dengan suara yang tinggi.
Tetapi Monalisa tidak kehabisan akal, ia langsung mengeluarkan drama air mata. Dan mogok untuk makan.
Al, semakin kesal dengan sikap ke kanak-kanakan nya Monalisa. Mau tidak mau, Al menuruti keinginan Monalisa. Lagi dan lagi untuk kesekian kali nya, Al tidak bisa menolak lantaran takut jika Monalisa mengaduh dengan mamah nya dan mamah nya menjadi sakit karena kepikiran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Utayiresna🌷
Al, kamu ini ... mama mu terus kamu takutin .
2024-07-17
0
Kak Dsh 14
Al begonal bego ga tau malu
2024-07-11
0
Atha Diyuta
btul tuh kata Vian jadi istri harus mandiri jdi swktu' pisah atau dtinggal punya pnghsilan
2024-07-11
1