BAB 7

“Sayang, kamu kok engga ngabarin mama, kalo kamu sakit? Kalo Tante Mira engga nelpon mama, kamu pasti diam aja, kan?! Mami kan udah selalu bilang jangan telat makan, kami masih juga bandel!” ujar Cendana saat menghubungi Jemima yang masih berada di rumah sakit.

“Iya maaf, Ma. Soalnya masuk rumah sakitnya juga baru tadi malam. Sekarang Mima udah gapapa kok,” jelas Jemima dengan nada suara yang masih lemah.

Jemima meminta kedua orang tuanya untuk tidak khawatir karena Miranti sudah merawat dirinya dengan baik. Ia berbicara cukup lama dengan keluarganya, saat mendengar suara ayah dan ibunya sebenarnya ia ingin menangis tetapi ia berusaha keras menahannya karena tak ingin membuat kedua orang yang paling disayanginya itu khawatir.

Jemima juga tidak enak hati bila harus menangis di depan Miranti dan Hannah yang sejak tadi memperhatikan dirinya.

“Selamat pagi, gimana perasaannya sekarang Mba Jemima?” tanya dokter yang merawat dirinya.

“Ka…, kamu?” ujar Jemima yang merasa pernah melihat sang dokter sebelumnya.

“Saya dokter Oscar, semalam kamu di bawa ke sini sama Pak Arion,” jelas dokter muda itu. Jemima hanya mengangguk sembari berusaha mengingat dimana ia pernah bertemu dengan lelaki itu.

“Bandara…, dokter yang ngasih saya tisu di bandara, bukan ya?”

Akhirnya Jemima mengingat kejadian memalukan yang ia alami saat di bandara beberapa waktu lalu.

“Baguslah, Mba Jemima masih ingat sama saya. Saya kira udah lupa! Ehmm, novelnya udah engga dibaca kebalik lagi, kan?” goda sang dokter yang membuat Jemima malu dan memanyunkan bibirnya.

Oscar memeriksa Jemima sambil mengajak gadis itu mengobrol untuk membuat gadis itu menjadi lebih rileks. Miranti dan Hannah juga bergabung dan mengobrol dengan sang dokter.

“Hari ini, Mba Jemima sudah bisa pulang! Tetapi harus istirahat dengan baik di rumah ya. Jangan telat makan dan stres, nanti susah sembuhnya,” jelas Oscar sebelum meninggalkan ruangan dimana Jemima dirawat.

Miranti langsung memutuskan untuk mengajak Jemima pulang ke kediaman mereka. Awalnya Jemima menolak, tetapi Miranti berkeras. Ia tak ingin lagi gadis yang sudah seperti putrinya itu menolak bantuan dari mereka. Pada akhirnya, Jemima mengalah. Ia tidak ingin menyakiti hati Miranti dan Hannah, walau sebenarnya ia terganggu dengan keberadaan Arion.

***

Jemima sudah berbaring di ranjang, di kamar tamu yang sudah disediakan oleh Miranti. Ia menghela nafas panjang, kala mengingat wajah datar Arion yang seolah tidak senang dengan keputusan yang diambil oleh Miranti, walau lelaki itu memang tidak mengatakan apa pun.

Sejak di rumah sakit Jemima beberapa kali melirik ke arah Arion, yang terlihat acuh. Ia bahkan sama sekali tidak menanyakan kondisi Jemima. Setelah Miranti membereskan barang-barang milik Jemima, Arion mengangkat tas yang berisi barang Jemima dan menunggu mereka di mobil.

Begitu pun, setelah tiba di kediaman mereka, Arion hanya meletakkan barang milik Jemima di kamar tamu dan segera berlalu dari ruangan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata. Jemima merasa Arion pasti sang membenci dirinya, yang sudah menyusahkan keluarga lelaki itu. Jemima mengelus dadanya yang kembali terasa nyeri dan setitik bening mengalir dari sudut mata gadis itu.

Jemima memilih menghabiskan waktunya di kamar. Ia hanya keluar saat jam makan tiba. Ia tidak ingin melihat Arion lagi, sehingga sebisa mungkin ia menghindari untuk berada dalam waktu yang lama diluar kamar yang ia tempati.

“Sayang, kamu gapapa, kan? Apa ada yang sakit lagi? Kenapa kamu terus berkurung di kamar?” tanya Miranti saat makan malam bersama hari itu.

“Oh, engga kok, Tan. Aku cuma mau mengistirahatkan badan aja supaya Senin udah fit lagi waktu masuk kantor,” jelas Jemima sambil tersenyum malu ke arah Miranti.

“Senin kamu engga perlu masuk kalo kondisi kamu belum baikan!” ujar Arion secara tiba-tiba yang membuat Jemima terkejut. Itu adalah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Arion sejak Arion meninggalkan Jemima di rumah sakit malam itu.

“Ohh, aku udah kuat kok kerja hari Senin. Oh iya, Tante, Om, Arion sama Hannah makasih ya udah ngebiarin Mima nginap di sini selama sakit. Besok Mima ijin pulang, karena kondisi Mima udah baikan.” Perkataan Jemima langsung mendapat penolakan dari Miranti dan sang suami.

Mereka masih ingin Jemima menginap di kediaman mereka, karena mereka tahu kondisi Jemima belum pulih benar. Namun, Jemima berkeras sehingga mereka tidak bisa lagi menahan gadis itu.

“Kamu nginap di sini sampai kamu sembuh. Jangan keras kepala!”

***

Malam semakin larut, tetapi Jemima tidak bisa memejamkan matanya. Kata-kata Arion saat di meja makan tadi masih terngiang-ngiang dengan jelas di telinganya.

‘Kenapa dia malah nahan aku di sini? Bukannya dia benci sama aku! Apa dia engga mau disalahkan karena udah nyuruh aku kerja rodi di kantor?! Dasar cowok labil!’

Jemima juga masih mengingat wajah Miranti yang terlihat sangat senang saat mendengar perkataan sang putra. Miranti langsung menatap Jemima dengan penuh harap yang membuat Jemima kembali merasa tidak tega untuk menolak. Jemima pada akhirnya memilih mengalah dan menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Jemima keluar dari kamar tamu, dan menuju ke halaman belakang kediaman keluarga Bagaskara itu. Ia duduk dalam diam, dan matanya tertuju ke arah langit yang malam itu dipenuhi dengan bintang. Ia memeluk tubuhnya kala udara dingin menyapa kulit gadis itu. Ia menghela nafas panjang selama beberapa kali untuk menghilangkan rasa sesak yang terkadang masih ia rasakan.

“Kamu mau sakit lagi, malam-malam malah duduk di luar?”

Suara yang mengganggu lamunannya itu membuat Jemima terkejut. Ia mengelus dadanya sembari menatap Arion dengan sinis.

“Kamu bisa engga, engga usah ngejutin?! Kamu mau aku mati muda ya?” seru Jemima kesal.

“Ahhh, udah bisa ngelawan, berarti beneran udah sembuh ya!” balas Arion sembari mencibir seolah sedang mengejek gadis yang masih memandangnya dengan kesal itu.

Arion memilih duduk di sebelah Jemima yang membuat gadis itu menggeser tubuhnya hingga ke ujung kursi malas yang sedang ia duduki. Mereka berdiam cukup lama dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya Arion memutuskan untuk memecah keheningan.

“Kenapa kamu bisa mutusin untuk pindah ke Bali? Bukannya kamu udah nyaman kerja bareng Bang Michael?”

“Ehmmm, pastinya karena posisi barunya sih! Tapi…, kalo aku tau kamu yang jadi bos aku, aku pasti nolak!” tegas Jemima yang membuat Arion menatapnya.

“Lah, emang dari awal kamu engga tau atasan kamu di sini siapa?” tanya Arion bingung. Jemima tertawa miris sebelum menjawab pertanyaan dari atasannya itu.

“Hehehe, kagak! Aku lupa nanya. Udah liat muka kamu di kantor, baru aku tau! Yah, nasi udah jadi bubur, mau digimanain lagi!”

Jemima memanyunkan bibir sambil menggerak-gerakkan kakinya, seperti anak kecil. Mereka kembali terdiam sembari menatap langit.

“Kamu tau engga, Yon?! Waktu hari pertama masu kantor dan ketemu kamu, aku hampir minta dipindahkan balik ke Jakarta, cuma omongan kamu yang ngeremehin aku ngebuat aku tertantang. Walau di satu sisi, aku masih mau megang janji aku ke kamu! Maaf banget aku engga tepat janji!” cicit Jemima yang tengah merutuki dirinya karena merasa ia akan kembali menangis.

Jemima benci menangis di depan lawannya. Ia tidak ingin melihat Arion memandang dirinya sebagai pribadi yang lemah. Ia menatap ke langit, sembari mengatur emosinya. Ia menghela nafas panjang, kemudian menatap Arion dengan lekat.

“Rion, ehm, aku punya permintaan…, apa bisa kamu rekomendasikan aku supaya bisa balik ke Jakarta lagi? Kayaknya aku engga cocok di sini. Aku engga enak kalo terus nyusahin  kamu dan keluarga. Ini satu permintaan aku untuk terakhir kali, sebagai tanda kita pernah jadi sahabat! Aku pengen nepatin janji buat jauhin kamu! 10 tahun aku udah berhasil, aku mau selamanya bisa berhasil!”

Arion menatap tajam ke arah Jemima yang sedang menunduk. Ia masih dalam mode diam, sampai Jemima balas menatap dirinya. Arion bisa melihat, mata Jemima yang sudah berkaca-kaca.

“Selesaikan kontrak setahun kamu di sini! Kamu pikir kerja itu bisa pindah seenak perut kamu?! Profesional dong, Mima! Pisahkan urusan kantor sama urusan pribadi kamu, dan belajar jaga diri kamu sendiri, biar engga nyusahin orang lain!” tegas Arion yang langsung meninggalkan Jemima yang tertegun saat mendengar perkataan tajam dari atasannya itu.

Jemima kembali menitikkan air mata, ia tak bisa lagi menghitung berapa kali ia sudah menangis karena perbuatan atau perkataan dari Arion. Ia tahu sejak kecil Arion memang bermulut pedas, tetapi ternyata semakin dewasa tingkat kepedasan mulut lelaki itu semakin tinggi.

‘Ahhh, kenapa selalu berakhir kayak gini?’

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!