"Selamat pagi," sapa Quinley yang ramah ke salah satu maid yang sedang membersihkan lantai sambil menutup pintu kamar tamu.
"Selamat pagi Non, ada yang bisa dibantu?" balas orang itu dengan sopan sambil menghentikan kegiatannya.
"Kalau dapur di penthouse ini berada di mana ya?"
"Dari sini Nona turun tangga, lurus aja, nanti ada pertigaan lorong, belok kiri, terus lurus aj, lewati ruang makan. Belakang ruang makan."
"Terima kasih ya," ucap Quinley.
Kemudian Quinley berjalan mengikuti arahan dari maid tersebut. Dia menyusuri koridor lantai 2 penthouse milik Albern. Menuruni semua anak tangga. Menyusuri ruang keluarga, lorong dan ruang makan. Quinley menatap takjub karena kagum dengan desain interior klasik romawi dan beberapa lukisan yang dipajang di ruang makan. Dia memasuki wilayah dapur yang luas dan melihat dua orang maid yang sedang bekerja di dapur.
"Selamat pagi semuanya," sapa Quinley ramah sambil berjalan menghampiri kedua maid tersebut.
"Selamat pagi Nona," balas mereka kompak dengan sopan sambil menoleh ke Jane.
Lia, kepala pelayan di mansion milik Albern menghentikan kegiatannya, lalu berucap dengan sopan, "Ada yang bisa dibantu Nona?"
"Tidak ada, saya mau menyiapkan sarapan untuk Tuan Albern," ucap Quinley sambil mengambil pisau.
"Tidak perlu Nona, di sini udah ada pelayan yang sudah menyiapkannya," jawab Lia.
"Bisa saya bantu menyiapkan sarapan?" tanya Quinley sopan
"Anda bukan pelayan di sini Nona, tapi anda tamu spesial Tuan Albern."
"Jangan panggil aku Nona, panggil aja Quinley" ujar Quinley sambil mengulurkan tangan kanannya. "Sepertinya aku telat sedikit mengenalkan diri. Aku mohon, biarkan aku bantu kalian. Kalian tidak usah sungkan."
"Tidak apa - apa Nona, saya Lia, saya ketua pelayan di sini, baik Nona jika anda memaksa," ucap Lia sambil membalas uluran tangannya Jane.
"Panggil saja saya Quinley ya," ucap Quinley dengan sopan.
"Baik Quinley."
"Tuan Albern biasanya minum apa ketika sarapan? Soalnya aku mau membuat minuman untuk dirinya," ujar Quinley.
"Tuan suka minum susu pada pagi hari dan air putih."
"Ooo, baiklah. Susunya di mana?"
"Di dalam wadah itu," jawab Lia sambil menunjuk wadah berwarna biru.
"Tante Lia, menu sarapan hari ini apa?" ucap Quinley sambil berjalan ke wadah yang tadi ditunjuk oleh Lia.
"Pizza dan salad sayuran," ucap Lia sambil menyiapkan bahan - bahan untuk membuat mayones.
"Pizzanya udah diolah?" tanya Quinley sambil mengambil gelas.
"Udah. Sekarang lagi dioven."
"Susunya berapa sendok makan?"
"Tiga."
Kemudian Quinley mengambil sendok makan di rak sendok. Membuka wadah susu, lalu memasuki susu tiga sendok makan dan menyeduh susu dengan air panas. Kemudian diberi air biasa sedikit. Setelah Quinley membuat susu, dia menutup wadah susu hingga ketutup rapat. Berjalan ke tempat cuci piring sambil membawa sendok. Menaruh sendok di wadah cuci piring. Lalu dia melanjutkan langkah kakinya menghampiri Lia yang sedang membuat mayones.
"Apa lagi yang belum?" tanya Quinley.
"Quinley mau minum apa?"
"Kalau saya gampang, biasanya saya kalau sarapan minum air putih aja sama roti."
"Quinley mau dibuatkan roti?"
"Tidak usah, udah ada pizza sama salad sayur."
"Tante Lia, lagi bikin mayones?"
"Iya."
"Tante Lia udah lama kerja di sini?"
"Belum, saya awalnya kerja di mansion utama milik Tuan Besar Samuel. Sejak Bibi Rachel meninggal, saya dioper ke sini. Kalau Quinley temannya Tuan?"
"Saya salah satu karyawan Tuan Albern dan anak tunggal dari Nyonya Quinza."
"Ooo, ternyata kamu anak dari Nyonya Quinza dan Tuan Farnley?"
"Kok Tante Lia tahu nama ayahku?"
"Tahulah, beliau kan dulu tangan kanannya Tuan Samuel dan Nyonya Quinza adalah mantan kekasihnya Tuan Samuel," ucap Lia yang membuat Quinley terkejut.
"Hah!? Bukannya mereka sahabatan? Sejauh mana Tante Lia tahu tentang mereka?" rentetan pertanyaan Quinley yang penasaran.
"Sahabatan dan sepasang kekasih, tapi sangat disayangkan, hubungan mereka tidak mendapatkan restu dari mendiang Tuan Besar Sammy dan mendiang Nyonya Besar Sandra. Tuan Besar Samuel dijodohkan sama Nyonya Besar Anastasia sehingga mereka menikah dan memiliki dua jagoan yang sangat tampan. Nyonya Quinza mengalah untuk kebaikan Tuan Besar Samuel dan akhirnya dia menikah dengan Tuan Farnley. Setelah mereka menikah, mereka pindah dari kota London. Dulu saya ikut bekerja di sini sama bibi saya setelah ibu saya meninggal dunia. Tuan Besar Samuel suka bercerita kepada saya, begitu juga sebaliknya."
"Ekhm," deheman seorang pria yang mengagetkan mereka.
Sontak mereka membalikkan badannya. Ternyata orang itu adalah Maxim. Maxim melebarkan matanya ketika melihat sosoknya Quinley karena terkejut. Desiran lembut menyelusup di relung hatinya Maxim. Lia langsung menundukkan kepalanya. Berjalan pelan menuju ke westafel. Maxim melangkahkan kakinya menghampiri Quinley yang sedang membalikkan badannya untuk melanjutkan kegiatan Lia.
"Siapa nama kamu?" tanya Maxim serius sambil menyandarkan kakinya di meja kitchen set di sebelah kanannya Quinley sehingga dia bisa melihat wajahnya Quinley.
Quinley menoleh ke Maxim, lalu berucap, "Quinley."
Maxim melebarkan matanya setelah mendengar jawaban dari Quinley karena terkejut. Maxim mengalihkan pandangannya dari wajahnya Quinley. Dia merasakan luka sayatan kecil di hatinya karena kecewa dengan kenyataan. Maxim menegakkan tubuhnya. Menaruh telapak tangannya di saku celana. Berjalan menuju ke ruang makan. Maxim menghentikan langkah kakinya ketika dihadang oleh Lia.
"Permisi Tuan Maxim, ini kopinya," ucap Lia sambil memberikan secangkir kopi ke Maxim.
Maxim menerima kopi itu dengan ekspresi wajah yang datar dan dingin. Melengos pergi dari area dapur. Lia menghela nafas panjang, lalu berjalan menghampiri Quinley. Lia menepuk pundak kanannya Quinley dengan pelan sehingga Quinley menghentikan kegiatannya dan menoleh ke Lia. Lia tersenyum sopan melihat wajahnya Quinley yang penuh tanda tanya.
"Sebaiknya Non ke ruang makan," saran Lia.
"Kenapa saya harus ke sana?" tanya Quinley bingung.
"Karena ada tamu Tuan Albern."
"Maksud kamu orang yang tadi ke sini itu tamunya Tuan Albern?"
"Iya."
"Kok penampilannya bukan seperti tamu?"
"Tuan Maxim memang seperti itu kalau ke sini."
"Aku kira dia salah satu penghuni di sini," ujar Quinley.
"Sebaiknya kamu temani dulu Tuan Maxim di ruang makan. Terima kasih atas bantuannya," ucap Lia sopan.
"Sama-sama, baiklah."
Tak lama kemudian meletakkan pengaduk mayones, lalu membalikkan tubuhnya. Melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan. Menyusuri dapur, masuk ke ruang makan. Quinley tersenyum sopan ketika Maxim menatap intens ke dirinya dengan raut wajah yang datar. Quinley berjalan menghampiri Maxim. Menarik sebuah kursi yang berhadapan dengan Maxim. Quinley tersenyum sopan nan manis ke Maxim sambil menduduki tubuhnya.
"Kamu sudah sampai aja," ujar Albern sambil berjalan menghampiri mereka.
"Hai Dud!" sapa Maxim ramah sambil menoleh ke Albern.
"Kita sarapan dulu, setelah itu tolong kerjakan tugas kamu Bro," ujar Albern sambil menarik sebuah kursi di ujung meja yang berdekatan dengan Maxim dan Quinley. "Kamu sudah berkenalan dengan Quinley," sambung Albern sambil menduduki tubuhnya di kursi itu.
"Sip, aku sudah berkenalan dengannya," ucap Maxim sambil menoleh ke Albern.
"Dia calon istriku," ujar Albern basa-basi sambil menoleh ke Maxim.
"Iya, aku juga tahu. Bagaimana bisnis kamu di Oxford?"
"Berhasil, aku menang tender proyek itu," jawab Albern senang.
"Permisi Tuan-tuan dan Nyonya," ujar Lia sambil menghentikan langkah kakinya.
"Wow ... Pizza buatan Bi Lia sudah matang!" pekik Maxim senang ketika Lia mengambil satu loyang pizza dari troli makanan. "Sudah lama sekali aku tidak makan pizza buatan Bi Lia yang sangat lezat," sambung Maxim.
"Terima kasih Tuan Maxim, sekarang anda sudah bisa menikmati pizza-nya," ucap Lia sambil menaruh loyang pizza itu di atas meja makan.
"Quinley, nanti kita pergi ke kantornya bareng," ujar Albern.
"Iya Tuan Albern," ucap Quinley lembut.
"Quinley sudah tinggal bersamamu di apartemen ini?" tanya Maxim.
"Iya, kami sudah tinggal bersama di apartemen ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments