HALAMAN DUA
West telah mengeluarkan diri bersama Erton Smith, sahabatnya.
Dua anak laki-laki mengenakan baju hijau dan celana panjang hijau gelap, dengan masing-masing tas hitam, tampaknya diselimuti oleh warga-warga yang melintas.
Lapangan hijau menjadi acara pertunjukan sekumpulan anak muda yang dikumpulkan menjadi satu. Saling bertatap satu sama lain.
Para penjaga atribut lengkap, merapikan pembludakan orang-orang yang melihat kami ini.
"Mau apa disini, astaga." Erton mengelus kening. "Pak walikota juga tidak ada. Pasti dibohongi."
"Sudahlah, pak walikota akan sampai sebentar lagi."
"Kau itu terlalu mudah percaya dengan perkataan kemarin. Aku bahkan tidak bisa kabur dari sini."
"Sudahlah, diam saja." West menepis pembicaraan Erton.
Erton penasaran dengan para penjaga disana apabila ada salah satu anak muda disini, ketahuan mencobloskan dirinya, untuk berusaha berbaur dengan warga lainnya.
West menjadi lebih kebingungan ketika setengah jam berlalu, tetap belum ditemukan pak walikota kesini.
Sejam berlalu agak lama dengan anak-anak lainnya yang mulai membenci keadaan sekarang. Mereka bertekuk lutut, tertawa dengan suara melengking, dan sisanya hanya sibuk melambaikan tangan seperti para fans sendiri.
"Aku sudah bosan semuanya. Kau jangan ikuti aku, West." Erton berkata setelah dia akan mencoba sesuatu yang baru.
"Kau jangan bertindak aneh-aneh, Er." West memperingatkan.
Anak itu tidak mau memasang kedua kupingnya baik-baik. Sangat menjengkelkan apabila dia tidak mendengarkan yang kusuruh.
Erton mengencangkan sepatu boots, merapikan rambut putih, dan bersiap lari. Sementara itu, West juga memperhatikan sikap sahabatnya.
"Satu, dua, go!" rintihan suara tercipta dari Erton.
Anak berambut putih, berlari yang dia bisa. Kecepatan berlari diperhatikan bagi West selama menonton sahabatnya. Ketika sudah hampir mendekati gerombolan manusia di kejauhan, Erton bersikap layaknya orang-orang disana. Menunduk kepala seakan tidak memperhatikan segalanya.
Tapi, dia tetap ditangkap setelahnya. Warna rambut putih yang mencolok, menjadi perhatian bagi dua penjaga yang melintas.
Anak itu tetap ditangkap seperti perempuan tadi. Tidak ada perbedaan diantara mereka berdua dengan sikap itu.
Erton ditempatkan disampingku lagi.
"Bagaimana? Sudah lepas?"
"Jangan tanya."
"Kau pun sudah aneh, Er. Penjaga saja sudah tau dengan rambutmu. Lagipula warga disini tidak pernah memiliki rambut putih. Hanya ada satu anak dan itu kau sendiri. Petugas juga sudah mengenali semua daftar anak-anak yang gabung disini. Kau tidak akan pernah lolos, Er."
Erton menunjukkan wajah kesal. Anak itu merengut sejak penjelasan dariku. Dia tidak mau berbicara denganku setelah ini.
Sampai satu setengah jam terlewati cukup lama, bunyi bising akhirnya terdengar cukup jelas.
Rel-rel kereta seperti muncul begitu saja pada belakang kami semuanya. Secara otomatis. Menandakan bahwa kendaraan kali ini adalah kereta.
Suara roda-roda kereta akhirnya kelihatan dari jarak jauh—West menonton melalui dua matanya. Cukup jelas, cekatan.
Kereta besar berhenti didepan kami semuanya. Pak walikota, bersama lima penjaga di belakangnya, berbaris dan berjalan mengikutinya.
Pak walikota berjalan lebih depan, disusul lima petugas pada sisi tubuhnya.
"Silahkan berkumpul semuanya. Langsung saja untuk mengucapkan selamat tinggal. Waktu kalian hanya lima menit."
Beberapa orang tua dari enam anak-anak mereka, turut masuk ke tengah lapangan. Satu pelukan diiringi tangis isak.
West mengikuti langkah mereka.
"Sayang, berhati-hatilah di sana, ya." Bu Lily melihat bergantian, antara West dan Erton, dan memeluk tubuh dua anak remaja. "Ibu akan selalu berdoa agar kalian berdua selamat di sana." Mengecup kening kami.
Erton tidak bersuara selama dipeluk tubuhnya oleh ibu kami. Sudah seperti ibu kandung bagi Erton Smith.
Walaupun anak berambut putih itu tidak suka berbasa-basi dan melakukan sesuatu menjijikkan, tetap saja luluh kepada pelukan ibu.
Anak laki-laki selalu dekat dengan ibunya.
Timer waktu sengaja ditunjukkan secara hologram kepada kami—pelukan terakhir dengan orang tua masing-masing.
"Kamu memiliki kekuatan melempar yang bagus, West. Mirip dengan ayahmu. Gunakan dengan bijak. Ibu tau kamu kuat dan pasti bisa di sana." Bu lily merangkul tubuh West, sampai anak itu tidak bisa bergerak sebentar.
Akhir dari semuanya, ibu menangis air mata. Basah, mata berkaca-kaca, susah menerima apa yang terjadi sekarang.
Semakin di penghujung waktu, tersisa tiga puluh detik lagi.
Ikatan kencang antara anak-anak dengan orang tuanya sulit dilepaskan ketika masing-masing penjaga meraih tubuh anak-anaknya.
"Kami akan kembali, bu." West membuat senyuman dan memegang pundak West.
Setidaknya membuat ibu agak tenang.
Begitu juga dalam satu detik, tangkapan tangan dua petugas berhasil memegang seluruh tubuh West dan Erton. Kedua anak remaja tadi telah ditarik oleh tangan-tangan petugas. Berjalan menjauhi kedua orang tuanya.
"Ayo pergi," satu petugas menangkap lenganku.
"Cepat bergerak." Satunya lagi menyuruh anak berambut putih menggeret tubuhnya.
West dan Erton berjalan mundur bersama dua petugas yang membawanya, sembari melihat ibunya untuk terakhir kali.
"Jaga dirimu, bu."
West menonton wajah ibunya untuk terakhir kalinya.
Goncangan badan selalu berusaha melepas, tapi cengkraman penjaga jauh lebih kuat dan besar daripada usahanya.
West bergabung dengan kumpulan anak-anak lain yang seumuran dengannya. Menonton mereka saja membuatnya bosan lagi.
"Baik, sudah semuanya." Pak walikota mengecek dalam daftar hologram canggih. "Oke, baiklah. Sekarang silahkan masuk."
West berdiri paling depan, dekat dengan pintu keretam
Pintu belakang dibuka lebar secara otomatis. Dua gerbong disatukan, bersamaan berjalannya mereka didepan. Anak tangga diraih oleh kedua kaki West, mengikuti arah jalan.
Hawa dingin seperti menusuk masuk ke pori-pori kulit. Mengggigil. Kursi-kursi sengaja diposisikan menepi, dengan jarak-jarak agak menjauh. Dua petugas medis ber-jas putih, sengaja berdiri di dalam.
"Ya ampun, yang benar saja." Erton mengomel setelah dirinya dipaksa duduk oleh petugas. Pada sampingku.
Ia tidak mau melihat siapapun selain kekesalan yang diluapkan tadi. Melihat West saja, dia tidak mau, juga deretan anak-anak lain, bersebrangan dengan deretan kami.
Pak walikota berdiri dihadapan kami semuanya, sebelum pintu menutup. Ia merapikan bajunya, sepatu, rambutnya. Kumis tetap dielus tiga kali sebelum mengatakan apapun.
"Selamat berjuang, anak-anak. Hanya ini saja yang bapak bisa berikan sekarang. Tidak banyak, ini sederhana saja."
Setelah menyelesaikan seringkas kalimat tadi, pak walikota menuruni tangga kecil kereta.
Pintu menutup segera, terkecuali rombongan ini. Duduk dan tidak bisa kabur.
Dua petugas berjas putih menyuruh sisa petugas berseragam untuk menurunkan alat semacam penahan tubuh. Seperti rangka tempat duduk yang biasanya dipakai agar orang itu tidak jatuh.
"Aku tidak bisa bergerak." West berkata dengan dirinya.
Bergitu juga dengan penglihatanku, anak muda lainnya, mencoba melepaskan dengan sesuatu yang dia pikir bisa. Erton melakukan hal yang sama.
Dia diam untuk beberapa waktu yang diperlukan.
Kereta bergerak sesuai prosedur masinis. Semua orang berdesak-desakan melambai tangan kepada kami. Terutama ayah dan ibu, menangis kepadaku—West tersenyum kecil.
Dua gerbong kereta bergerak cepat ketika mesin tadi telah dinyalakan.
Begitu juga dengan masing-masing petugas, berdiri di sisi celah kosong, sebagai pengawas ruang dalam, gerbong ini.
Tegang dan dingin, menyelimuti Dua gerbong kereta sejak kereta bergerak pergi, menjauhi kota Dispath. Terlihat kecil ketika orang-orang kami tadi, berkerumun disana. Layaknya gerombolan semut-semut kecil.
Sorot sinar matahari menembus sampai ke bagian dalam gerbong kami. Jendela-jendela ini tidak diberi pelapis untuk menutup apa yang masuk kedalam.
Perasaan cemas, justru datang kembali kepada diri West Bromwich. Dia dijaga ketat dan tidak bisa bergerak.
Disisi lain, aku terus mempertanyakan tentang jantung pusat diantara lima kota ini.
"Seberapa canggih kota itu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments